Langkahku terhenti dan langsung terpaku saat melihat pemandangan di depanku. Di sana, di tengah-tengah dapur, mama sedang terduduk di lantai dengan Taksa yang berdiri di depannya. Bocah lelaki itu dengan telaten memasangkan sebuah plaster luka di jari mama yang masih menitikkan darah, meniup-niup perlahan mungkin mengira dengan melakukan hal itu nyeri yang dirasakan Mama akan berkurang, dan hal terakhir yang dilakukan bocah itu adalah mencium plaster di jari mama lalu tersenyum lebar, membuat perutku terasa teraduk serta napas yang terasa sesak melihat pemadangan itu.
"Sebentar lagi pasti bakal nggak apa-apa, Tante. Jangan nangis ya."
"Kenapa Taksa mencium plaster lukanya?"
"Kata Bunda, sakitnya bisa lebih cepet sembuh kalo dicium."
"Oh begitu ya?"
"Itu kata Bunda, sebenarnya Aksa nggak percaya, tapi pas Bunda senyum kalo udah pakein Aksa plaster lalu dicium, Aksa seneng terus agak lupa sakitnya."
Aku melihat mama tertegun sebelum mengangguk pelan.
"Terima kasih, Nak."
"Sama-sama, Tante."
Taksa menautkan tangannya kebelakang, sebuah gestur yang membuatku menatapnya tak percaya. Itu gesture yang selalu dilakukan papa saat mengira sudah membereskan suatu masalah. Bocah itu, mengapa tingkahnya semakin mirip Papa?
"Hira sudah pulang?" Aku sedikit tergagap saat mama dan Taksa menoleh ke arahku. Melihat adegan barusan membuatku bertambah canggung dan bingung bagaimana harus bersikap. Seolah di sini akulah yang salah tempat. Memelihara kemarahan sepihak.
Aku melangkah menuju mama, mencium tangan beliau. Mama mengusap kepalaku penuh kasih sayang, hal yang ternyata tidak luput dari pengamatan Taksa. Aku melirik bocah yang kini mendongak ke arahku dan mama yang telah berdiri dan yang tidak kusangka bahwa bocah itu meraih tanganku tiba-tiba lalu menciumnya takzim persis seperti yang tadi kulakukan.
"Selamat datang, Kakak."
Aku menggaruk belakang telingaku dan memberi senyum setangah yang sangat kaku pada Taksa, hal yang langsung membuat bocah itu tampak girang.
"Kamu mau makan? Mama akan minta Bi Maryam membawakan ke kamar jika mau."
Aku menatap mama dan menggelang pelan. Sepertinya mama belum mengetahui bahwa aku dan anak tirinya pernah sarapan bersama tadi pagi.
"Nanti saja."
"Apa itu berarti Kakak mau makan bareng Aksa sama Tante Amira?" Suara Taksa terdengar begitu nyaring saat bertanya dan aku kembali menggaruk belakang telingaku karena tak tahu harus menjawab apa.
"Kak Hira mungkin lelah dan ingin istirahat. Biar kita makan duluan ya Nak?"
Diam-diam aku bernapas lega saat mendengar jawaban mama untuk Taksa. Melirik bocah itu aku mengira akan ada kekecewaan di wajahnya, tapi sekali lagi aku dikejutkan, bocah itu hanya mengangguk dan tersenyum tipis seolah paham.
"Iya, Tante."
"Hira, jika kamu lelah istirahatlah dulu."
Aku tak menjawab lebih lanjut, hanya mengangguk dan selanjutnya berjalan menuju tangga.
"Jadi Taksa masih mau Tante buatkan nasi goreng?" Suara mama kembali terdengar.
"Nggak usah, Tante."
"Lho kenapa? Bukannya tadi Taksa mau makan nasi goreng."
"Aksa makan apa yang ada aja, asal jari Tante nggak kena pisau kayak tadi."
Sayup-sayup percakapan antara Mama dan Taksa mengiringi langkahku dan membuat bibirku tertarik secara tak sadar.
*****
"Minumlah, melamun pun nyatanya membutuhkan tenaga."
Aku menatap mug berisi cairan coklat panas yang kini diletakkan di atas meja di depanku. Tidak perlu menebak siapa orang 'iseng' yang kini menganggu ketentramanku. Dengan perlahan aku menurunkan kaki yang sejak tadi kunaikkan di atas kursi. Memilih masih menatap mug itu tanpa berusaha menoleh ke arah Bayanaka yang kini mengambil tempat duduk di salah satu bangku yang kosong.
Di lantai dua rumahku terdapat balkon luas yang sedari dulu sering menjadi tempat favoritku dan papa. Sehabis makan malam kami akan berlama-lama duduk berdua, mengobrol tentang segala hal sebelum kemudian mama datang dan meminta kami untuk tidur karena hampir larut, dan kini setelah papa tidak ada, tempat ini pun ternyata masih menyajikan kenyaman yang sama untukku.
"Sama-sama, Hira." Suara Bayanaka kembali terdengar, itu jelas sindiran karena aku enggan mengucapkan terima kasih untuknya. Sikap Bayanaka adalah sesuatu yang baru dan mengejutkan. Lelaki ini tahu bagaimana aku membenci bundanya dan merasa terganggu dengan keberadaanya di rumahku. Namun, tak sekali pun ia berusaha membentang jarak atau memasang sikap siaga dan penuh permusuhan padaku.
"Apa yang kamu lihat dari tadi? Apakah papamu sekarang menjadi salah satu bintang di atas sana? Tunjukkan padaku yang mana papamu."
Aku ikut mendongak, menatap bintang yang tak terhitung kini berkelip indah di langit sebelum berdecih pelan. "Aku bukan bocah yang akan mempercayai hal konyol seperti itu."
Bayanaka menolehkan kepalanya, menatapku lama dengan sudut bibir yang berkedut mungkin tak menyangka bahwa aku akan menjawab pertanyaannya. "Tapi kamu pernah menjadi bocah bukan dan saat itu ada kalanya kita lebih mempercayai hal konyol seperti itu."
"Tidak. Sejak kecil aku sudah mempercayai bahwa ketika manusia mati dia akan kembali pada Tuhan bukan menjadi bintang."
"Wow... jika begini bagiamana aku bisa tidak kagum padamu, Hira? Tapi tunggu, bolehkah aku tahu dari mana kepercayan itu?"
"Aku belajar agama dari kecil."
Suara kekehan Bayanaka membuatku menatap lelaki itu malas. "Oh, bukankah agama juga adalah sebuah kepercayaan mengandung hal-hal yang bahkan tidak pernah kamu lihat sendiri?"
"Apa kamu tidak beragama?" Aku bertanya sengit pada Bayanaka yang kini menggigit bibir bawahnya. Alih-alih marah aku malah menangkap sorot bahagia di matanya yang kini menatapku.
"Sebentar aku cari tahu, " Bayanaka bangun dari duduknya lalu meraih dompet kulit di saku belakang celananya. Lelaki itu masih meggunakan seragamnya lengkap pertanda bahwa ia baru saja pulang bekerja dan belum sempat membersihkan diri.
Aku memicingkan mata saat Bayana meraih KTP-nya, pura membaca lalu menunjukkannya padaku dengan ekspresi terkejut berlebihan. "Oh... Tarammm... ternyata di sini tertulis agamaku Islam. Jadi yah aku makhluk beragama, tentu saja."
Aku melengos dan memilih kembali menatap langit. Kembali membiarkan diri meladeni ucapan Bayanaka bukanlah pilihan bagus. Semua yang ia katakan tadi jelas hanya untuk memancing reaksiku.
"Jadi papamu tidak berakhir menjadi salah satu bintang? Sayang sekali padahal beliau adalah orang baik."
"Itu gunanya kamu membaca buku agar tidak mudah dikibuli, Bayanaka."
"Ulangi lagi."
"Apa?"
"Sebut namaku dengan bibirmu."
Aku menoleh cepat dan begitu menyesal saat mengetahui Bayanaka sedang menatapku lekat. Untuk beberapa saat aku seolah tenggelam pada pijar yang telah kehilangan sorot jenakanya itu.
Butuh usaha besar untuk kembali berpaling. Aku memilih mengambil mug yang tadi diletakkan Bayanaka dan langsung menyesap coklat panas di dalamnya.
Tidak ada yang bicara setelahnya. Baik aku dan Bayanaka kembali menatap langit.
"Ini memang perandaian konyol, tapi jika papamu benar-benar bisa menjelma menjadi bintang, maka beliau kini pasti melihat kita dengan senyum lebar."
Tbc
Love,
Rami
Ada yg kangen akoh eh kangen Bayanaka?😆😆😆

KAMU SEDANG MEMBACA
Titik Akhir
Romantizm(Sedang dalam Proses Penerbitan dan sebagian part sudah dihapus). Pemenang Wattys2019 kategori Romansa. Sinopsis Aarunya Hira Mahawira selalu merasa hidupnya sempurna. Ia dikelilingi cinta yang melimpah tanpa batas. Tertanam jelas di kepala bahwa ia...