TITIK AKHIR XV

32.7K 5.2K 649
                                    

Selamat datang di puncak konflik pertama 😊😊

Nyok, dibaca

😁😁😁😁😁😁

Aku berjalan masuk diiringi tiga orang yang membantu mengangkat kardus snack box ke dalam rumah. Pintu belakang rumah yang terhubung dengan dapur sangat membantu di saat seperti ini. Sudah hampir jam delapan malam dan suara alunan ayat suci yang berkumandang di bagian ruang tamu dan halaman depan yang telah di atur sedemikian rupa, menandakan bahwa acara sudah dimulai cukup lama.

"Aku akan langsung ke atas agar bisa ikut segera bergabung untuk zikiran," terang Bayanaka yang kini sudah berdiri di depanku, setelah meletakkan satu kardus di lantai dekat meja makan.

Aku tidak memberi jawaban dan sepertinya Bayanaka paham, bahwa percuma mengharap respon positif dariku. Hanya gelengan kecil dengan senyum geli yang terukir di bibirnya, sebelum melangkah keluar dapur dan menuju lantai atas tempat kamarnya berada.

"Untung Mbak Hira tepat waktu. Saya tidak bisa membayangkan bagaimaa malunya Ibu jika Mbak Hira telat datang," bisik Bi Maryam yang kini mulai duduk di lantai depan kardus, untuk mulai menata snack box yang akan menjadi buah tangan para tamu yang datang.

"Itu cukup kan, Bi?" Tidak ada 'tamu dadakan' yang tiba-tiba datang lagi bukan?"

Pertanyaanku membuat bi Maryam terkekeh geli, sebelum wanita di awal lima puluh tahun itu celingak-celinguk kemudian menjawab. "Untuk saat ini, belum, Mbak. Tapi mudah-mudahan tidak bertambah, kasihan Ibu yang harus pusing karena perbuatan orang lain."

Aku mengulum senyum melihat Bi Maryam yang tampak takut-takut berbicara.

"Sudah siap semuanya?" Aku memejamkan mata ketika suara tante Pia yang baru memasuki ruangan terdengar begitu arogan. Memilih untuk tidak menjawab dan tetap memfokuskan pandangan pada Bi Maryam yang kini mulai membuka kardus kedua. "Duh, kenapa lama sekali pulangnya? Tante sudah khawatir kamu tidak bisa menyiapkan jamuan yang pantas untuk tambahan tamu yang datang."

Aku membuang nafas sedikit keras. Benar-benar tak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. Wanita ini! Benar-benar 'lucu' seperti istilah yang digunakan Bayanaka.

"Seharusnya jika Tante begitu khawatir, Tante sudah menyiapkan terlebih dahulu jamuannya."

"Lho, bukankah itu tugasmu dan Amira sebagai tuan rumah?"

"Benar, tapi itu jika tamu yang datang adalah tamu yang kami undang sendiri." Jawabanku membuat Tante Pia yang sedang duduk dan memeriksa isi salah satu snack box, langsung melotot tak suka.

"Jadi menurutmu Tante tidak berhak mengundang orang lain selain tamu mamamu? Jangan lupa, Hira, Tante adalah Kakak dari papamu!"

"Memang benar bahwa Tante Pia adalah kakak papa saya, tapi seperti yang Tante ucapakan, di sini, saya dan mama lah yang menjadi tuan rumah. Jadi jika Tante merasa sebagai keluarga dekat yang baik, tentu Tante memahami betul adab mengundang tamu saat sebenarnya kita juga merupakan 'tamu secara tidak langsung'."

"Kamu-"

"Saya belum selesai bicara, Tante. Jangan biasakan diri suka memotong ucapan orang lain, itu tidak sopan kan? Jadi, jika Tante ingin mengundang tamu diluar tamu undangan yang telah ditetapkan Mama, setidaknya beritahu Mama atau saya terlebih dahulu, agar Tante tidak perlu khawatir atas kemampuan kami untuk bisa menjamu semua tamu yang datang ke rumah kami."

Tante Pian tidak memblas ucapanku, tapi mukanya memerah dengan gigi bergemeletuk, menandakan jelas seberapa murka dirinya. Mungkin ini adalah tindakan kurang ajar, melawan orang yang lebih tua, hanya saja aku tidak bisa membiarkan ada seseorang yang berlaku seenaknya pada mamaku terlebih di rumahku. Lagi pula, tante Pian perlu disadarkan bahwa tidak selamanya orang yang lebih tua selalu benar.

Titik AkhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang