TITIK AKHIR XXXIV

27.8K 5.1K 492
                                    

Apa kalian gk capek sama cerita ini?

Jujur aku udah capek banget nulisnya😂... karena itu aku akan usahakan selesai secepatnya.


.
Aku menghembuskan napas lega, benar-benar merasa bahwa salah satu bebanku terangkat. Melihat Taksa bisa berinteraksi dengan teman sebayanya di sekolah, membuatku kekhawatiranku selama ini sedikit berkurang. Bocah itu, meski lebih pendiam, tapi bisa membaur dengan baik. Bahkan saat pertama kali memasuki gerbang sekolah dan menjadi pusat perhatian beberapa wali murid dan siswa, Taksa sama sekali tidak terlihat malu.

Begitu pula ketika ia harus berpisah denganku dan masuk ke dalam kelas junior. Taksa tidak rewel atau pun meminta agar ditemani. Bocah itu meminta izin sopan padaku, mencium tanganku sebelum masuk ke dalam kelas bersama teman-temannya yang lain. Tindakan yang membuat dewan guru dan wali murid yang melihatnya kagum dan tak segan mengeluarkan pujian.

Yang paling kusyukuri adalah bahwa teman-teman dewan guruku cukup bisa menahan rasa penasaran mereka sehingga tidak usil bertanya tentang Taksa padaku. Aku memang sudah menjelaskan bahwa Taksa adalah adikku, anak dari mantan istri papa. Bocah yang mulai saat ini akan tinggal bersamaku. Penjelasan yang tidak mendetail itu tidak menjadi permasalahan dan bahan gosip yang mengangguku dan Taksa. Setidaknya tidak di depanku.

Jujur saja aku adalah manusia yang tidak terlalu ambil pusing pandangan negatif orang lain. Karena itu, jika pun keberadaan Taksa menjadi bahan gosip bagi teman-teman guruku atau wali murid, tidak akan kupermasalahkan asal tidak diungkapkan langsung dan membuat bocah itu tertekan. Manusia selalu merasa memiliki hak berbicara bukan? Dan meski itu membicarakan orang lain yang bukan merupakan urusan mereka, tapi siapa yang bisa melarang? Jadi dari pada aku pusing memikirkan mulut orang, aku lebih suka memikirkan bagaimana cara menghadapi kehidupanku sendiri.

Suara Faris yang merupakan salah satu anak yang dicap paling nakal di seantero sekolah ini membuatku mengembangkan senyum. Bahkan bocah bertubuh besar yang kadang ditakuti temannya itu bisa berteman dengan Taksa.  Semenjak tadi, aku yang duduk di bangku pinggir lapangan bermain bisa melihat bagaimana Faris terus mengekori Taksa. Taksa adalah anak yang tidak memilih teman, dan aku sangat bersyukur atas itu. Meski Taksa tidak banyak bicara, tapi sosoknya seolah mampu membuat teman sebayanya tertarik dan mau mengikutinya.

Aku ingat tadi pagi, setelah menyiapkan kelas dan berdoa dengan anak-anak. Saat memberi tugas untuk para siswaku, aku sempat menyelinap keluar kelas karena penasaran dengan bagaimana cara Taksa berinteraski di dalam kelas. Dan aku cukup terkejut saat melihat Taksa dengan begitu tenang berdiri di depan kelas, memperkenalkan diri dan meladeni pertanyaan teman-temannya, dia tidak tampak malu, canggung atau risih.

Dan setelah keluar main, aku menyempatkan diri bertanya pada wali kelasnya tentang bagaimana Taksa di hari pertama.  Dan aku cukup puas saat mendengar rentetan pujian tentang bocah itu. Taksa yang pintar, sudah bisa membaca dan menulis, pandai berhitung, cepat berteman, tidak malu-malu, berani menjawab pertanyaan tanpa ditunjuk terlebih dahulu dan berbagai pujian lainnya. Iya, setidaknya meski belum menikah dan berpengalaman, mengurus bocah itu tidak akan terlalu sulit.

Suara dering ponsel di dalam saku kemejaku, membuatku mengalihkan tatapan dari Taksa yang sedang membagi coklat miliknya untuk Faris. Keningku sedikit berkerut saat melihat nomer asing tertera di layar ponselku. Namun, sebelum panggilan itu berakhir aku segera menggeser tanda hijau di layarnya.

"Hallo...."

'Hallo, Tuan Putri. Tidak perlu bertanya siapa aku, karena kamu jelas tahu siapa lelaki yang sedang menghubungimu ini.'

DEG

Aku mengulum bibir berusaha menetralkan detak jantungku. Rasanya aneh menerima panggilan dari Bayanaka.

Titik AkhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang