TITIK AKHIR XXXV

27.9K 4.9K 409
                                    

Ciee yang nyoblos besok pagi.... horayyy jangan golput ya gaes, Karena GOLPUT itu.... NGGAK KEREN!

tapi inget... besok itu pesta demokrasi yaaa... harus seneng donk, siapapun yang menang tetep... kita itu satu... INDONESIA! 💪💪💪💪❤❤❤❤❤❤

Nggak boleh ribut, nggak boleh rusuh, malu sama umur!😉😉😉

NYOOK DAH KETEMU TUAN PUTRI DULU💜💜💜💜

"Mau duduk?" Aku bertanya pada Taksa yang kini mendongakkan kepala ke arahku, menunjukkan sebuah bangku yang disediakan untuk pelanggan. Namun, bocah itu menggelang, lebih memilih kembali memusatkan pandangannya pada  penjual yang sedang menyiapkan pesanan kami.

Kami sedang berada di sebuah gerai corndog, tidak jauh dari lokasi sekolahku. Berada dekat  perempatan jalan, membuat gerai berwarna kuning dengan gambar beraneka macam corndog ini tampak mencolok. Aku  membeli beberapa buah sebagai cemilan di rumah nanti. Aku berencana akan menemani Taksa belajar, dan menu pesanan kami bukanlah pilihan buruk sebagai makanan pendamping.

Aku membawa mobil hari ini, mobil milik papa. Memberanikan diri untuk menggunakan kendaran yang begitu banyak kenangan ini. Tentu saja semua itu kulakukan karena Taksa. Jarak rumahku yang cukup jauh dengn sekolah, tidak memungkinkan membawa Taksa dengan sepeda motor pagi-pagi. Mama akan sangat cerewet jika sampai Taksa masuk angin karenanya.

Kami mengantri bersama beberapa orang pembeli lainnya. Ada sebuah keluarga yang mengantri tiga antrian di belakang kami dengan dua orang anak kembar yang terus bertengkar, bahkan anak perempuan yan lebih kecil mulai merengek dalam gendongan sang ayah, mungkin karena tak sabaran.

Taksa beberapa kali menoleh ke belakang, lalu senyum terkembang di bibirnya, tipis. Entah apa yang sedang dipikirkan bocah itu. Taksa kembali menoleh, bahkan saat aku sudah menerima pesanan dari penjual.

Aku menyerahkan kantung kartun berisi corndog sosis dan mozarella pada Taksa. Bocah itu menerima lalu mengucapkan terima kasih padaku. Kamu lalu menyingkir, memberikan kesempatan pada pelanggan yang mengantri di belakang kami, sementara aku mulai memasukkan uang kembalian ke dalam dompetku.

" Kak Hira, boleh nggak Aksa kasi corndog Aksa ke Adek yang itu?"

Aku menoleh ke arah keluarga dengan dua anak kembar itu. Sang ibu tampak sedikit malu karena putrinya yang menarik perhatian pengunjung karena merengek terus menerus. "Terus Taksa mau makan apa?" tanyaku pada Taksa kemudian.

"Kan banyak ini, Kak Hira. Aksa bisa bagi satu-satu buat Adek cewek sama cowok itu."

Aku memang membeli enam buah corndog, masing-masing tiga untuk isian sosis ayam dan keju mozarella. "Bukannya Taksa mau bagi ke Tante Amira juga?" Aku tidak sedang berusaha bersikap perhitungan apalagi mengajarkan Taksa untuk pelit. Hanya saja, kepekaan bocah ini membuatku tergelitik. Kebaikan yang ia tunjukkan cukup mengejutkan.

"Kan cukup, Kak Hira. Aksa satu, Kak Hira satu, Tante Amira satu, Bi Yam kasi satu... itu empat lho, Kak Hira. Sisa dua buat Adek cowok sama cewek ini." Taksa menunjukkan enam jarinya.

"Nanti kalau Taksa mau nambah gimana?"

"Corndog-nya gede, Kak Hira. Aksa liat lho tadi, perut Aksa kecil, nanti kalo makan yang besar-besar dan banyak, gendut."

"Tapi katanya mau makan yang rasa keju dan sosis. Kalau Taksa bagi, nanti cuma bisa cicip satu rasa, lho." Ternyata melakukan percakapan ini dengan Taksa cukup menyenangkan, bahkan aku tidak merasa terganggu saat interaksi kami menarik perhatian pengunjung lainnya.

"Nggak apa-apa. Aksa cicip satu aja, nanti kalau pengen yang lain, Aksa nunggu Kak Naka pulang."

"Kenapa tunggu Kak Naka?"

Titik AkhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang