(Sedang dalam Proses Penerbitan dan sebagian part sudah dihapus).
Pemenang Wattys2019 kategori Romansa.
Sinopsis
Aarunya Hira Mahawira selalu merasa hidupnya sempurna. Ia dikelilingi cinta yang melimpah tanpa batas. Tertanam jelas di kepala bahwa ia...
Hollaaa... selamat pagi. Saya bawa kabar baik. Bahwa setelah ini, saya akan menetapkan update TITIK AKHIR DUA KALI SEMINGGU. Seperti dahulu kala 😅😅😅 bisa saja lebih jika saya sedang baik dan khilap😏😏😏
Jadi bisakah kalian tetap bersama saya?😶😶😶
Maaf untuk typo nya, bantu koreksi ya
🌸🌸🌸🌸
"Tanyakan jika ada yang mengganjal, tidak perlu melirikku terus."
Aku hampir mengumpat saat melihat bahwa Bayanaka kini menatapku melalui spion depan mobilnya. Tertangkap basah setelah melirik beberapa kali padanya terasa tidak lucu. Kami sedang berada dalam perjalanan menuju sekolah. Selesai sarapan tadi Bayanaka menawarkan diri untuk mengantarku. Aku, yang merasa kesempatan ini untuk meminta maaf tentu saja menyambut tawaran itu dengan baik.
Lelaki yang mengemudi dalam diam itu terlihat tenang. Sikap menyebalkannya jika dalam keadaan seperti ini seolah hilang, membuatku sungkan hendak membuka suara lebih awal. Beruntung dialah yang mengajukan tanya terlebih dahulu, meski itu karena menangkap basah diriku yang mencuri pandang karena resah ke arahnya.
"Tidak apa-apa." Aku menggigit lidah karena kesal. Ternyata harga diriku masih terlampau tinggi hanya untuk berkata tentang tujuanku hingga rela menumpangi mobilnya pada Bayanaka.
"Berbohong adalah keterampilan yang tidak bisa kamu kuasai, Tuan Putri."
Lelaki ini ternyata tidak sepenuhnya berhenti menyebalkan.
"Berbohong bukan keterampilan. Itu adalah sebuah tindakan dari keputusan yang diambil berdasarkan kondisi yang dihadapi. Bisa melalui pemikiran panjang, bisa juga secara spontan karena terdesak keadaan."
"Lalu bagaimana dengan pembohong? Bukankah untuk bisa menjadi pembohong butuh keterampilan berbohong?" timpal Bayanaka tenang.
"Itu berbeda kasus."
"Kasus?"
"Menjadi pembohong itu bisa karena kebiasaan, sesuatu yang dilakukan secara berulang. Tapi belum tentu orang yang sekali berbohong bisa dicap sebagai pembohong. Alasan orang melakukan kebohongan itu berbeda-beda, sesuai dengan tujuannya melakukan hal itu," tuturku panjang lebar.
"Tetap menurutku berbohong itu membutuhkan keterampilan. Dan kamu payah dalam mengasah keterampilan itu."
Aku baru saja akan kembali mendebat Bayakana saat menyadari bahwa kini lelaki itu sedang berusaha menahan senyum.
"Apa yang lucu?" tanyaku ketus.
"Semua ini, kamu, aku, situasi kita, perdebatan kita. Tidakkah kamu menyadari ini pertama kalinya kita berkomunikasi tanpa berusaha saling menyakiti? Meski kita memulainya dengan perdebatan dengan tema aneh seperti ini."
Ucapan Bayanaka membuatku terpaku. Ini memang pertama kalinya kami mengobrol, tanpa diriku yang berusaha menghindari atau menyerangnya habis-habisan.
"Ke mana kamu selama ini?" Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari bibirku.
"Jika tak melihat ekspresi datarmu, aku akan mengira kamu peduli, Tuan Putri." Bayanaka tertawa di akhir kalimatnya, tawa yang langsung reda saat ia kembali menoleh ke arahku." Astaga... jadi kamu benar-benar peduli?"
"Apa aku pernah mengatakan peduli? Jangan berasumsi sendiri."
"Keterampilanmu dalam berbohong masih payah, maaf aku tidak percaya."
"Iya... iya berasumsilah sesukamu, seolah kamu mengenalku saja," cibirku.
"Aku memang mengenalmu, dari dulu, kamu saja yang tak menyadari keberadaanku."
Aku memutar wajah, menoleh ke arah Bayanaka yang kini pandangnya fokus di jalan depan kami, seolah tidak baru mengeluarkan kata-kata yang membuatku terkejut.
"Apa maksudmu?"
"Aku ke rumah sakit, menemani bundaku." Aku tahu Bayanaka sedang berusaha mengalihkan pembicaraan dan sayangnya aku tak memiliki kemampuan untuk memaksanya.
Aku menatap Bayanaka cukup lama ketika akhirnya lelaki itu kembali bersuara. "Aku tahu, Tante Amira sudah menjelaskan semuanya padamu. Jangan merasa bersalah padaku. Ini bukan salahmu. Kita hanya berada dalam situasi yang terlalu tak masuk akal."
Alu tercengang mendengar ucapan Bayanaka yang seolah memahami kegelisahanku selama ini. "Kenapa kamu tidak benci padaku? Setidaknya marah?" tanyaki heran.
Aku masih menatap Bayanaka, menuntut jawaban dalam diam. Namun, lelaki itu sama sekali tak memberi apa yang kuinginkan. Ia malah menatapku dengan pandang melembut yang terlihat begitu asing. Seulas senyum terbentuk di bibirnya saat Bayanaka kembali menatap jalan di depannya. Menandakan bahwa pembicaraan kami selesai begitu saja.
Tbc
Love
RAMI
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.