Aku termangu, ada rambatan pedih di hatiku saat melihat seorang gadis kini bergelanyut manja pada lelaki paruh baya yang melingkarkan tangannya di punggung gadis itu. Ingatanku menjelajah kenangan masa lalu, beratus hari yang telah meninggalkanku. Masih terekam jelas saat aku berada di posisi gadis itu, setidaknya di mata sebagian orang.
Hari itu, aku baru saja menyelesaikan satu mata kuliah saat papa datang menjemput. Tentu aku bahagia, sangat. Terlebih papa mengajakku ke sebuah pusat perbelanjaan. Sore itu kami menghabiskan waktu berdua, tanpa mama. Papa menyebutnya sebagai quality time untuk putrinya tersayang, karena selama ini selalu sibuk dan mama yang sering cerewet, tidak dibutuhkan di sana.
Semuanya berjalan sempurna, hingga ada suatu kejadian yang tidak bisa kulupakan sampai sekarang. Bukan karena kejadian ini tidak mengenakkan, bahkan bagiku ini salah satu kenangan lucu antara diriku dan papa. Waktu itu papa mengajakku ke salah satu toko boneka, karena tahu aku sangat menyukai boneka. Aku memilih sebuah boneka beruang besar yang tingginya hampir mencapai daguku. Boneka berwarna coklat muda yang sangat meggemaskan, anggaplah aku kenakan karena menyukai boneka diumur yang bisa dibilang dewasa, tapi sungguh. Aku tak peduli.
Sejak memasuki toko itu sebenarnya aku sudah menyadari tatapan risih dan cibiran tak kentara dari para pengunjung, tapi aku baru tahu dengan jelas alasannya saat aku dan papa menuju kasir untuk melakukan pembayaran. Si kasir jelas-jelas tidak suka melihatku, pandangan matanya tampak menuduh, membuat papa yang memang sangat protektif padaku geram sendiri hingga langsung menegur si kasir itu.
"Kenapa Anda menatap putri saya seperti itu?"
"Putri?" tanya si kasir dengan raut terkejut.
"Iya, anak perempuan saya. Ada yang salah dengan dia sehingga muka tidak ramah Anda itu terpampang jelas dan sangat menganggu?" Suara papa tenang, tapi raut tidak suka dalam wajah gagahnya yang perlahan dimakan usia jelas membuat ciut nyali si kasir.
"Maaf, Pak, tadi saya kira... putri Bapak... mmm.. anu... mmm... putri Bapak...."
"Wanita muda yang jalan dengan om-om? Atau apa istilahnya sekarang... pelakor?" tembak papa langsung.
"Maaf, Pak, saya...."
"Lain kali sebelum mengambil sikap, telitilah terlebih dahulu sesuatu. Jangan sembarangan menarik kesimpulan. Lagi pula bos Anda memperkerjakan Anda di sini bukan untuk menilai kehidupan orang lain, tapi melayani. Paham?!"
"Sekali lagi saya minta maaf, Pak."
"Iya saya maafkan, tapi jangan ulangi lagi. Bagaimana jika ada customer yang melaporkan ketidak nyamanan ini pada atasan Anda. Kasihan Anda mencari rizki susah payah dan menjadi sia-sia karena memilih menjadi manusia yang merasa paling benar dan terlalu cepat menghakimi orang lain."
Jadi jika ada yang bertanya dari mana mulut tajamku, dengan senang hati aku akan mengatakan itu kuwarisi langsung dari papa. Hari itu aku pulang dengan boneka beruang besar berwarna coklat dan senyum lebar, mengabaikan muka masam papa karena ada beberapa gelintir manusia yang salah menilaiku.
"Ini karena kamu terlalu cepat dewasa," ucap papa putus asa, menyuarakan kekesalannya.
"Kok jadi Hira yang salah, Pa?" tanyaku heran, aku menoleh pada papa karena semenjak tadi sibuk dengan sekotak coklat di pangkuanku. Kami sedang dalam perjalanan pulang.
"Jika kamu masih kecil, tidak ada orang yang akan berpikir seperti si kasir tadi, dan papa bebas membawamu kemana-mana."
Aku terkekeh kecil saat mendengar penjelasan papa." Jika Hira selalu kecil dan Papa juga Mama bertambah tua, siapa yang akan merawat kalian? Lagian itu bertentangan dengan hukum alam, juga kodrat manusia yang ditentukan Tuhan."

KAMU SEDANG MEMBACA
Titik Akhir
Romance(Sedang dalam Proses Penerbitan dan sebagian part sudah dihapus). Pemenang Wattys2019 kategori Romansa. Sinopsis Aarunya Hira Mahawira selalu merasa hidupnya sempurna. Ia dikelilingi cinta yang melimpah tanpa batas. Tertanam jelas di kepala bahwa ia...