Aku melirik pada Taksa yang kini sibuk dengan pensil warna dan selembar kertas HVS yang barusan kuberikan padanya. Kami sedang berada di balkon rumah, tempat 'kramat' milikku dan papa. Beralaskan karpet bulu berwarna coklat tua, meja dan kursi duduk yang ada telah kusingkirkan terlebih dahulu ke pojok sebelah kiri.
Lantai atas menjadi teritori kekuasaanku kini, atau tepatnya daerah aman untuk menyingkir dari persinggungan dengan manusia-manusia yang tengah sibuk di lantai bawah. Lantai atas rumahku sendiri terdiri dari dua kamar tidur lengkap dengan kamar mandi di dalamnya, kamarku dan kamar tamu yang diberikan mama untuk ditempati Bayanaka.
Selain itu terdapat gudang penyimpanan di sisi timur, ruang menonton televisi dengan sofa panjang, di mana pada bagian tembok ruangan, bersandar rak-rak buku. Aku dan papa memiliki hobi yang sama, melahap tumpukan kertas berisi berbagai pengetahuan. Meski papa memiliki ruang kerja sekaligus perpustakaan mini sendiri di lantai bawah, tapi ia lebih suka menghabiskan sesi membacanya bersamaku. Dan terakhir tentu saja balkon ini, tempatku dan Taksa berada.
Kami sudah berada di sini hampir dua puluh menit lamanya, aku sibuk dengan laptop dan Taksa yang kini sedang menggambar. Aku meliriknya yang tiba-tiba menatap langit, mengerutkan alis sebelum kemudian kembali menunduk dan kembali berkutat dengan pensilnya.
Iya ... iya, setelah menjadi pahlawan kesiangan sekarang aku terjebak kecanggungan bersama Taksa. Ia tidak secerewet biasanya, bahkan ketika aku menyerahkan pensil dan kertas HVS sebagai pengganti buku gambar, Taksa hanya tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Tentu saja aku mengetahui penyebabnya, bocah ini terus mengekori mama dari pagi dan ia pasti telah bertemu banyak orang, tidak akan sulit untuk menebak bahwa Taksa pasti telah mendengar kata-kata buruk tentang bundanya dari salah satu kerabat yang datang.
Aku memejamkan mata kesal, lalu berdecak tak suka. Rasanya aku ingin mengusir mereka semua. Susah payah aku menjaga mood agar membaik, mereka malah menambah ruyam dengan perkataan tak bertanggung jawab seperti yang kudengar barusan, di lantai bawah.
Aku meletakkan laptop yang sedari tadi bertengger di pangkuanku, lalu dengan canggung berusaha mengajak Taksa bicara. "Kamu sedang menggambar apa?" tanyaku pada Taksa yang langsung mengangkat wajahnya.
"Pemandangan." Taksa menjawab antusias dengan mata berbinar dan pipi memerah. Kenapa bocah ini terlihat gugup?
"Pemandangan apa?" lanjutku dengan kaku. 'Oke, Hira, kamu adalah seorang guru, biasa menghadapi muridmu dengan bebagai prilaku, dan sekarang kamu bertanya dengan gaya robot yang jika diterpakan di sekolah akan membuat wali murid langsung mengejukan petisi untuk memberhentikanmu.' Aku berusaha menahan ringisan saat suara di kepalaku muncul mencemooh.
"Laut," jawab Taksa sambil tersenyum malu-malu.
Aku memperhatikan kertas yang dijadikan kertas menggambar. Di sana Taksa menggambar sebuah gunung besar, laut dan sebuah daratan yang diwarnai coklat tua. Selanjutnya tidak ada apapun. Tidak ada gambar kerang, pohon kelapa, semak, atau sekedar perahu nelayan yang biasa kita temukan pada gambar anak-anak.
Secara objektif aku harus mengakui Taksa payah dalam menggambar, kenapa aku mengatakan payah? Karena dia adalah bocah cerdas. Dia baru lima tahun tapi aku pernah tak sengaja mendengar ia membacakan sebuah buku cerita untuk mama, lalu memberikan pendapat tentang tokoh dalam cerita itu dengan lugas. Hal yang sulit ditemukan pada anak sebayanya. Namun, dalam menggambar jelas ia menyedihkan.
Gunungnya berwarna biru tua, laut berwarna biru muda, daratan berwarna coklat tua, dan mataku langsung membelalak saat Taksa mengambil pensil berwarna hitam yang kemudian ia goreskan di di atas kertas di mana letak langit berada.
"Kenapa langitnya berwarna hitam?" Aku bersyukur tidak memekik saat mengeluarkan tanya. Ilmu psikologi pendidikan yang pernah kupelajari setidaknya memiliki andil sekarang. Aku tidak bisa serta merta menyalahkan Taksa saat memutuskan menggunakan warna hitam, karena menyalahkan anak dalam proses pembelajaran hanya akan membuat mental dan kepercayaan diri mereka menurun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Titik Akhir
Romance(Sedang dalam Proses Penerbitan dan sebagian part sudah dihapus). Pemenang Wattys2019 kategori Romansa. Sinopsis Aarunya Hira Mahawira selalu merasa hidupnya sempurna. Ia dikelilingi cinta yang melimpah tanpa batas. Tertanam jelas di kepala bahwa ia...