TITIK AKHIR XLI

27.2K 5.1K 583
                                    

Aku meletakkan buah-buahan yang baru selesai dicuci di atas meja makan, lalu mulai mengambil buah pir sebagai buah pertama yang akan menghuni wadah buah yang telah kupersiapkan.

"Tante, beneran nggak mau ikut?" Pertanyaan itu terlontar dari Taksa yang telah mengeluarkan kalimat serupa sebanyak enam kali.

Aku menatap bocah yang mengenakan piyama berwarna biru bergambar Superman yang kini meneguk susu hangat yang dibuatkan Bi Maryam untukknya.

"Nggak, Sayang. Tante di rumah aja." Mama menjawab dengan senyum tertahan lalu meletakkan satu loyang cake di atas meja makan.

"Tapi Tante sendirian di rumah." Ternyata Taksa masih belum rela atas penolakan mama.

"Kan ada Bi Maryam."

"Tapi Tante nggak bisa seru-seruan... kata teman Aksa dulu di sekolah Aksa yang lama lho, ke pantai itu enak. Bisa main air, bisa buat istana pasir, bisa beli es krim, bisa banyak lho, Tante. Main bola juga bisa."

Taksa menjelaskan dengan nada persuasif, seolah mama sama sepertinya, manusia yang tidak pernah melihat pantai seumur hidup sampai hari ini. Andai bocah itu tahu, bahwa dulu saat papa masih hidup, hampir satu kali dalam sebulan papa mengajakku dan mama untuk berwisata ke pantai. Namun tentu saja aku tidak akan mengungkapkan kebenaran itu yang mampu membuat Taksa menyadari, bahwa sebagai anak, betapa tidak beruntungnya ia.

"Tante nggak bisa main bola, Sayang." Mama menjawab sambil lalu, karena kini mama terfokus pada cake dengan potongan buah strwberry  di atas tumpukkan creamnya. Mama hendak memotong cake itu menjadi beberapa bagian sebagai salah satu bekal Taksa untuk piknik hari ini.

"Kan yang main bola Kak Naka sama Aksa, Tante. Tante nonton aja, kalo bosen bisa berenang. Kata teman Aksa juga, di laut banyak ikan, lho."

"Memang banyak kok, Sayang, tapi biasanya ikannya itu berenang di bagian laut yang lebih dalam."

"Jadi nggak bisa berenang bareng kita?"

"Ada beberapa ikan kecil yang bisa berenang  dengan kita, tapi itu jarang dan kadang kita nggak tahu."

"Ikan hiu?"

"Kenapa dengan ikan hiu?" Kali ini aku tidak bisa menahan mulutku bertanya saat Taksa tak hentinya berbicara sambil  sesekali meneguk susunya sedikit demi sedikit.

"Gini lho, Kak Hira. Kata temen Aksa yang di sekolah lama sama sekolah yang tempet Aksa sekolah sekarang, yang ada Kak Hira ngajar itu. Ikan Hiu hidup di laut."

"Iya memang hidup di laut, Sayang." Mama menimpali dengan senyum gelinya.

"Iya tapi kata temen Aksa yang namanya Faris, yang badannya gede itu lho, Kak Hira. Ikan hiu bisa berenang sama manusia."

Aku mengangguk, membenarkan ucapan Taksa. Ada beberapa peneliti yang memang melakukan kontak dengan ikan hiu guna penelitian, aku sering menontonnya di salah satu stasiun tivi luar negeri. Bahkan ada jenis wisata ekstrem yang menawarkan berenang dengan hiu, meski memang ukuran hiunya tidak terlalu besar, dan wisatawan berada dalam perlindungan tingkat tinggi.

"Iya, tapi tidak semua manusia bisa melakukan kontak langsung dengan ikan hiu. Itu berbahaya," jelasku.

"Tapi kata Faris dia berenang sama ikan hiu pas ke pantai, Faris juga naek di punggng ikannya. Faris diajak nyelem sama ikan ke dalem air, terus ketemu sama raja ikan hiu."

Yes, anak-anak dan dunia imajinasinya yang menakjubkan!

"Faris nggak dimakan, Den?" Pertanyaan itu terlontar dari Bi Maryam yang kini menuyusun kotak bekal berisi  sandwich ke dalam keranjang piknik.

Titik AkhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang