TITIK AKHIR III

43.7K 5.2K 266
                                    

Jangan melompati bagian prolog gaes, prolog cerita ini tu bukan sinopsis. Dia awal rangkaian dari keseluruhan cerita. Baca deh, biar gk pusing😂😂😂😂

😁😁😁😁😁😁😁😁

"Hira, bisakah ekspresi wajahmu dikondisikan? Sumpah kamu membuat semua orang takut di ruangan ini."

Aku mengabaikan bisikan Osha, mataku terlalu fokus menatap Taksa yang kini mendongak ke arah dinding ruang tamu tempat bingkai besar berisi potretku, mama dan papa terpajang. Entah apa yang dipikran bocah lelaki itu. Di tengah riuhnya lantunan ayat Al-Qur'an yang dibaca jama'ah pengajian untuk mendoakan almarhum papa, tak membuatnya tampak terganggu. Sudah sekitar lima belas menit ia di sana, sendiri seolah berada di dunia yang sepi.

"Aku serius. Jika kamu tetap membatu seperti ini, maka jama'ah pengajian akan pulang. Mereka tidak bisa berdo'a dengan tenang saat tuan rumah tampak seperti mayat hidup. Kamu boleh menangis jika memang tidak bisa memasang tampang  ramah pada yang datang, bukan malah menatap adikmu dengan pandangan menakutkan seperti itu."

Menghela napas aku memindahkan al-qur'an kecil di tanganku ke tangan Osha, gadis manis yang menjadi sahabatku sejak taman kanak-kanak dan juga tak lain adalah sepupuku dari pihak mama memandangku tak mengerti.

"Dari pada kamu sibuk mengomentariku, lebih baik bacalah doa untuk papaku."

"Hei... lalu kamu mau ke mana?"

"Melakukan sesuatu yang tidak bisa kamu komentari lagi."

Tanpa menunggu jawaban Osha, aku melintasi ruangan  mengabaikan tatapan beberapa orang yang kini teralih padaku. Tadinya langkahku mantap, tapi saat akhirnya aku berdiri di samping bocah yang menyadari kehadiranku dan tidak mau menengok ke arahku itu, aku langsung disergap sesal.

"Dia papaku."

Baiklah ini permulaan yang konyol. Aku adalah wanita yang jelas dewasa memilih mendatangi bocah lima tahun hanya untuk mengumumkan bahwa potret lelaki berwajah teduh itu adalah papaku, milikku? Yang benar saja! Apa untungnya memprovokasi bocah yang bahkan belum masuk SD? Ya Tuhan, belum lima menit berdiri di sampingnya, penyesalanku berubah menjadi cemooh kekesalan pada diri sendiri.

"Kakak keliatan cantik di sana."

Jawaban dari Taksa membuatku terkejut. Dari segala kemungkinan yang mungkin ia keluarkan maka pujian tidak ada disalah satu bayanganku.

"Kenapa kamu memanggilku 'kakak'?"

Harusnya aku menahan mulut. Pertanyaan ini jelas bisa mengembang ke arah yang lebih buruk bagi emosiku. Namun  sedikit bermain dengan bocah ini mungkin bisa mengurangi sakit di dadaku. Pikiran konyol hanya agar aku tak semakin mengasihani tindakan implusif ini. Apakah sekarang aku terdengar jahat? Baiklah mendatatangi bocah ini tanpa rencana hanya untuk mengukur reaksinya jelas tindakan  tolol. Bukan jahat. Terserahlah, pembelaan diri sudah tidak terlalu penting untukku.

"Karena Bunda ngasi tahu kalo ada orang yang lebih tua sedikit dari Aksa berarti dia dipanggil 'kakak'."

"Aku tidak lebih tua sedikit, aku lebih tua banyak."

Dan kenapa aku terus melakukan percakapan bodoh ini?

"Tapi Kakak tidak setua Bunda dan Papa dan tante Amira."

"Benar, tapi tidak semua orang yang lebih tua darimu bisa kamu panggil kakak. Ada beberapa manusia di dunia ini yang bahkan tidak pernah sudi menjadi kakak."

"Tapi Kak Hira kakaku, Papa bilang begitu."

Aku kehilangan suara dan hanya mampu menatap Taksa dalam diam. Rasa pedih mengoyakku dari dalam. Fakta bahwa bocah ini mengetahui keberadaanku dan siapa aku terasa begitu menyakitkan. Papa membagi cerita tentangku padanya, tapi merahasiakan keberadaan Taksa padaku. Keberadaan bocah ini seperti sebuah lelucon konyol  yang berubah menjadi menjadi kenyataan yang harus aku telan mentah-mentah.

Titik AkhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang