TITIK AKHIR XLII

27.3K 5K 588
                                    




"Kamu terlihat sangat cantik hari ini, Tuan Putri, dan aku suka."

Untuk beberapa saat keheningan terbentang diantara kami, hingga aku memilih mendengkus sebagai usaha untuk menutupi kegugupan atas ucapan Bayanaka. "Aku memang selalu cantik, dan aku tidak peduli kamu suka atau tidak."

Bayanaka menghela napas, terlihat seolah menanggung perih teramat sangat karena ucapanku, yang dimana aku tahu bahwa itu hanya akting belaka. "Dek, dengar Kakak." Bayanaka beralih pada Taksa yang kini dalam gendongannya, membuat bocah itu memandang Bayanaka dengan penasaran ketika melihat ekspresi serius yang dipasang sang kakak. "Jika kamu dewasa nanti, usahakan untuk jatuh cinta pada perempuan yang bisa menekan ego dan jujur pada perasaanya, selain itu pilihlah yang tidak bermulut tajam. Karena jatuh cinta pada perempuan bermulut pedas itu berat, Dek."

Lelaki ini! Benar-benar....

"Jatuh hati, ego, sama mulut pedas itu apa, Kak Naka? Bukannya yang pedas itu cabe ya?"

Aku menatap Bayanaka dengan pandangan menusuk mendengar pertanyaan Taksa, sedangkan lelaki itu menggigit bibir salah tingkah. Setelah mengalihkan pandangan dari Taksa dan diriku berulang-ulang, Bayanaka mendesah lalu menatapku penuh rasa bersalah. "Bisa bantu jelaskan tidak, Kak Hira yang cantik?"

"Kenapa harus aku yang menjelaskan? Bukankah itu pesan sakral  seorang kakak untuk adiknya yang kamu sampaikan pada Taksa? Aku tidak dalam kapasitas untuk terlibat dalam percakapan antar lelaki ini tentang wanita yang harus diusahkan di masa depan," jawabku dengan nada mencibir yang terdengar jelas.

"Ck... tapi wanita yang membuatku menyampaikan pesan sakral itu kamu, Tuan Putri."

"Lalu?"

"Apa?"

"Lalu apa hubungannya hingga aku harus turut campur? Ketika mengangkat pembahasan dengan bahasa yang jelas belum bisa diserap oleh Taksa itu, harusnya kamu sudah memikirkan kosekuensinya. Taksa adalah anak yang penuh rasa ingin tahu, jadi kamu tidak boleh sembarangan mengucapkan sesuatu."

"Aku tahu dan aku minta maaf, itu adalah tindakan implusif karena menerima kata sambutan yang mengiris hati dari kekasihku."

"Hei Pahlawan Tanpa Topeng, aku bukan kekasihmu!"

"Belum, tapi akan dan segera menjadi kekasihku."

"Kekasih itu apa? Terus sakral itu juga apa?" Pertanyaan dari Taksa kembali menghentikan perdebatanku dan Bayanaka.

"Ayolah bu guru Aarunya Hira Mahawira yang jelita, bantu aku menjelaskan pembendaharaan kata '15 tahun ke atas' ini pada adik kita. Bukankah kamu seorang guru yang berdedikasi pada muridmu? Sudah semestinya kamu memberikan pengetahuan baru pada Taksa, dia termasuk salah satu murid di sekolahmu bukan?"

"Dedikasiku malah akan tercoreng jika sampai memberikan pengetahuan yang belum pantas diterima anak seusianya."

"Lalu apa yang harus kita lakukan sekarang?"

"Kamu pikirkan saja solusinya sendiri," jawabku tak peduli.

"Kamu mau meninggalkanku? Dalam keadaan seperti ini? Kenapa kamu begitu kejam."

Dengan sebelah tangan aku memijit pangkal hidung berusaha mengurai pening karena ucapan Bayanaka. Lelaki ini datang-datang kenapa semakin berdrama saja?

"Jangan berlebihan, kamu kira kita sedang terlibat masalah apa hingga kamu memasang sikap mendramatisir seperti ini?"

"Ck... justru karena ini masalah yang krusial, kamu tahu anak seusia Taksa ini masih merupakan usia dimana manusia memiliki daya serap terbaik."

Titik AkhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang