terima kasih sudah berkomentar dengan sopan😊😊😊
Aku mengambil napas dalam lalu menghembuskannya dengan keras. Menatap langit-langit kamarku dengan pandangan kosong. Sekali lagi, otakku terasa penuh dan sejak tiga puluh menit yang lalu, aku hanya tidur terlentang di atas ranjang, tanpa melakukan apa pun. Menyedihkan bukan?
Ini semua karena ucapan Bayanaka lima hari lalu, ketika kami berada di rumah makan tradisional. Aku tahu bahwa tidak seharusnya aku membenci Bayanaka, bagaimanapun dia tetaplah hanya seorang anak. Sedewasa dan semapan apa pun dia, sama sepertiku, sebagai anak kadang tidak memiliki hak untuk melampaui batas, mengatur pilihan hidup orang tua.
Rasanya benar-benar lucu, ketika aku putus asa memikirkan cara agar mama bersedia mengatakan sebenarnya, dan di satu sisi, mungkin Bayanaka telah melawati hal serupa, menghentikan laju takdir yang ingin dipilih sang bunda. Aku tidak bodoh untuk menyadari, bahwa di mata Bayanaka pun, hubungan yang terjalin antara papaku dan bundanya tidak membuat ia bahagia. Namun, sebagai lelaki, aku rasa ia telah berhasil mengatasi sisi emosional berlebihan dan mengemukakan logika.
Iya ... iya, terlalu terlambat memang untuk berusaha mengerti posisi Bayanaka. Sebagai seorang wanita dewasa, memiliki nalar dan sudah saatnya berhenti bersikap labil, tetap saja kejutan di penghujung usia papa yang diberikan padaku, mampu melukai dan membutakan akal sehat, meski sekejap.
Aku akhirnya memilih bangkit, berjalan ke arah meja belajar dan membuka laci teratas. Ada potret papa dalam bingkai dari kayu, di sana papa sedang tersenyum lebar dengan aku yang mencium pipinya di sisi kiri dan mama di sisi kanan. Potret sempurna. Terlalu sempurna! Kami tidak terlihat membutuhkan kebahagiaan yang lain, termasuk dalam bentuk anak lelaki yang didambakan keluarga papa.
Aku kembali menghela napas, mengulum bibirku hingga terasa sakit, berusaha menahan gejolak perih. Jemariku yang hendak menyentuh potret itu terhenti. Aku tidak sanggup karena membiarkan kulitku menyentuh kaca bening bingkai itu, sama saja dengan menampar diri sendiri agar tersadar, bahwa mungkin senyum papa itu bukanlah kebahagiaan yang sebenarnya.
Akhirnya aku menutup laci dengan tangan gemetar. Memilih meraih laptop di atas meja belajar lalu berjalan keluar. Aku butuh pengalihan dan mengerjakan tugas sekolah adalah salah satu alternatif terbaik membunuh waktu.
****
"Jadi anaknya tinggal di sini? Kenapa dibiarkan?" nada heran bercampur cemoohan itu terlontar dari salah satu wanita, yang kini duduk berkelompok dekat area tangga. Mereka sedang mengupas kacang tanah yang merupakan bahan pembuatan kue kacang. Kue yang nantinya akan digunakan sebagai salah satu buah tangan untuk tamu dalam acara zikiran empat puluh hari meninggalnya papa.
"Iya, aku juga tidak mengerti jalan pikirannya," timpal salah seorang wanita bertubuh gempal yang kutahu merupakan sepupu jauh mama.
"Jika aku adalah Amira, maka anak itu sudah kuserahkan ke panti asuhan. Gila saja jika aku harus mengurus anak dari wanita perebut suamiku!" Tanggapan berapi-api itu dilontarkan oleh wanita berjilbab ungu yang kini menggeleng tak habis pikir.
Rasa-rasanya aku ingin mengurungkan niat untuk mengambil minuman dan cemilan sebagai teman mengerjakan tugas sekolah. Mendengar celotehan wanita-wanita ini bahkan langsung membuatku kehilangan minat untuk melakukan apa pun.
Kelompok wanita pengupas kacang yang masih merupakan kerabatku itu, datang ke rumah untuk membantu persiapan acara empat puluh hari papa yang akan diadakan tiga hari lagi. Kini mereka sedang menatap ke arah sofa ruang tamu, dimana duduk mama bersama beberapa orang keluarga dari pihak papa yang datang bertamu, Taksa duduk di sudut sofa agak jauh dari mama dengan kepala tertunduk.

KAMU SEDANG MEMBACA
Titik Akhir
Romance(Sedang dalam Proses Penerbitan dan sebagian part sudah dihapus). Pemenang Wattys2019 kategori Romansa. Sinopsis Aarunya Hira Mahawira selalu merasa hidupnya sempurna. Ia dikelilingi cinta yang melimpah tanpa batas. Tertanam jelas di kepala bahwa ia...