Bagian Tiga

2.2K 157 13
                                    

Melupakanmu dengan cara mengikhlaskan.

***

Bell pulang sekolah telah berbunyi. Murid-murid RA Ramadhani bersorak gembira mendengar bell itu. Senyum polos tanda kebahagian, terukir di bibir-bibir kecil milik mereka. Senyum ikhlas tanpa paksaan. Dengan mengikuti intrupsi guru, murid-murid itu menyimpan buku mereka ke dalam tas. Sebelum pulang, mereka berdo'a.

Dengan semangat mereka, membaca do'a sebelum pulang. Hafsa, yang memimpin do'a kelas TK Nol kecil begitu gemas, melihat murid-muridnya, dengan suara cedal membaca do'a. Selesai membaca do'a, satu per satu murid keluar dari kelas dan tak lupa manyalami telapak tangannya.

"Umi Hafcaa... Zahla pulang duyu, assalamualaikum," pamit Zahra salah satu muridnya setelah mencium punggung tangannya.

"Waalaikumsalam sayang. Jangan lupa kerjain pr-nya yah," balas Hafsa dengan lembut. Zahra mengangguk-anggukkan kepalanya. Lantas ia berlari menghambur keluar kelas dengan girangnya.

Setelah semua murid keluar kelas, Hafsa membersihkan ruangan kelasnya. Menyusun bangku, merapikan meja lalu menyapu. Ia sengaja tidak keluar dahulu. Melihat murid-muridnya pulang dijemput oleh ayah atau ibu mereka. Karena sejatinya, ia menghindari orang tua Zahra. Terlebih ayahnya. Yang akhir-akhir ini sering menjemput anaknya daripada ibunya.

Hafsa mencoba melupakannya dengan cara mengikhlaskan. Mengikhlaskan bahwa Daffa bukanlah untuknya. Melainkan untuk Jihan, wanita yang dipilihnya sebagi istri. Ikhlas membuat Hafsa perlahan melupakan Daffa yang pernah ia sebut namanya disetiap do'a.

"Umi Hafsa," tegur seseorang dengan suara lembut. Hafsa terkejut. Ia menoleh ke arah sumber suara. Semakin membuatnya terkejut.

"Ya?" sahut Hafsa. Hafsa melihat Jihan berjalan mendekatinya yang sedang memegang sapu.

"Umi sudah selesai menyapu?" tanya Jihan dengan ramah. Hafsa menggeleng.

"Hum, kalau sudah selesai. Apakah umi Hafsa ada waktu sebentar?"

Hafsa diam tak langsung menjawab pertanyaan Jihan.

"Umi Hafsa bisa tidak? Kalau bisa saya tunggu di taman belakang sekolah. Ada yang ingin saya sampaikan." Hafsa menganggukkan kepalanya tanda mengerti.

Jihan dengan jilbab abu-abunya merasa senang atas jawaban dari Hafsa, walau hanya sekedar anggukan saja. Jihan pergi meninggalkan Hafsa yang dirundung pertanyaan.

Apa yang ingin kak Jihan sampaikan? Pikir Hafsa sambil menyapu. Apa dia marah karena aku pernah suka sama suaminya? Hafsa menggelengkan kepalanya, karena telah berpikiran jauh. Ia pun terus menyapu.

Hafsa menepati janjinya. Setelah selesai membersihkan kelas dan pamit kepada kepala sekolah, ia menghampiri Jihan yang sedang memerhatikan Zahra bermain.

"Assalamualaikum," sapa Hafsa kepada Jihan.

Jihan mendongakkan wajahnya. Kedua sudut bibirnya terangkat. "Waalaikusalam, sini duduk umi Hafsa," ajak Jihan sambil menepuk bangku. Hafsa mengangguk dan duduk di sebelah Jihan. Kedua mata wanita itu menatap Zahra yang bermain sendirian di taman.

"Hmm, ibu ada apa yah?" Hafsa membuka percakapan dengan bertanya maksud hati Jihan.

"Lihat Zahra, dulu begitu kecil dan ringkih. Sekarang ia begitu lincah dan cantik. Hmm, sudah empat tahun aku mengasuhnya. Aku sangat menyayanginya. Walau ia bukan berasal dari rahimku,"

Mata Hafsa membulat. Jadi kabar itu benar, kalau kak Daffa dan kak Jihan mengadopsi anak. Batin Hafsa menatap Zahra yang sedang memutik bunga.

"Ibu dan ayahnya meninggal saat Zahra berumur satu bulan. Akibat kecelakaan lalu lintas, syukur pada saat itu Zahra dititipkan kepada ibuku. Namun, sayangnya, ibuku dipanggil Allah karena penyakitnya. Zahra yang malang, dia kehilangan kedua orang tua serta neneknya,"

Takdir Cinta [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang