Bagian Sembilanbelas

1.2K 92 5
                                    

Hafsa merasakan ada hembusan napas seseorang. Ia dengan malas membuka matanya, untuk melihat hembusan napas siapa.

Oh kak Daffa. Batin Hafsa, saat melihat Daffa yang berada di depannya yang tengah terlelap. Ia pun kemudian menutup matanya kembali.

Sedetik. Dua detik. Tiga detik.

Hah! Kak Daffa? Hafsa langsung membelalakan kedua matanya.

"Haaaaaaaa!!" tanpa sadar Hafsa menjerit saat menyadari jika ada Daffa di hadapannya.

Mendengar jeritan Hafsa sontak, membuat Daffa membuka kedua matanya. Pupil matanya membesar melihat dihadapannya sudah ada Hafsa.

Ia tak kalah kagetnya dengan Hafsa. Apalagi ia melirik tangannya dengan erat memeluk pinggang ramping Hafsa. Ia pun segera melepaskan.

"Eh anu, maaf … Hafsa," Daffa meminta maaf. "Tapi, bisakah kau lepaskan tanganmu dari leherku?" pinta Daffa.

Kedua bola mata Hafsa langsung melebar, saat ia baru tersadar, tangannya masih melingkar di leher Hafsa. Dengan segera ia melepaskan tangannya dari leher Daffa, dan dengan tanpa rasa berdosa ia langsung mendorong tubuh Daffa, agar menjauh darinya.

Mungkin karena terlalu kuat Hafsa mendorong tubuh lelaki itu atau posisi lelaki itu yang terlalu di pinggir kasur, membuat Daffa langsung terjatuh ke lantai.

"Duh!" erang Daffa yang kesakitan.

Di atas kasur, Hafsa melongo ke bawah. Hendak melihat keadaan Daffa. Hafsa melihat wajah Daffa yang menahan kesakitan serta kantuk.

"Ka-kak gak apa-apa?" karena takut kepada Daffa, Hafsa sampai terbata-bata bertanya kepada lelaki itu.

Daffa mengusap-ngusap kepalanya. Dengan mata merah ia menatap tajam Hafsa. "Gak apa-apa. Biasa aja."

Hafsa menelan salivanya. "Maaf ya kak. Saya kaget, saking kagetnya tanpa sadar mendorong tubuh kakak. Maaf yah," ucap Hafsa meminta maaf.

"Hem." Daffa langsung bangkit dari lantai.

"Lagian. Kakak kok bisa tidur di sebelahku?" Daffa langsung menatap lurus ke arah Hafsa. Hafsa menangkap ada seberkas keraguan di bola mata lelaki itu.

"Ouh, ng  … anu," Daffa memejamkan matanya. "Ini salahku," dengan berat hati ia mengakui kesalahannya.

Hafsa mengerutkan dahinya, bingung. "Salah kakak?"

"Iya," jawab Daffa. Ia mengembuskan napasnya dengan kasar dahulu, sebelum menjawab kebingungan Hafsa. "Aku takut,"

Membuat Hafsa semakin bingung. "Takut apa Kak?"

"Makanya di dengeri dulu orang ngomong. Jangan dipotong!" omel Daffa yang kesal.

"Maaf kak," cicit Hafsa ketakutan.

Daffa hanya membuang napasnya dengan kasar. "Tadi malam mati lampu. Aku paling takut mati lampu. Aku tanpa berpikir panjang langsung lari dari kamar. Masuk ke kamar Zahra. Dan loncat di kasurnya. Mungkin karena gelap dan takut. Aku gak tahu kalo kamu juga tidur di kamar Zahra. Aku pikir kamu Zahra. Jadi aku langsung tidur di sebelahmu. Maaf," beritahu Daffa dengan menahan rasa malu yang amat dalam.

Hafsa hanya membulatkan bibirnya saja. "Kakak takut mati lampu?" ulang Hafsa lagi.

"Hem! Aku takut kegelapan!" Daffa menjawab dengan wajah merah, menahan malu. "Dan kamu ngapain tidur di kamar Zahra?" kini giliran Daffa yang bertanya kepada Hafsa.

"Oh, Zahra minta ditemeni tidur kak," beritahu Hafsa.

"Oh, ya sudah, aku balik ke kamarku dulu!" tanpa menunggu jawaban Hafsa, lelaki itu langsung pergi begitu saja dari kamar Zahra.

Hafsa ingin terkikik geli, setelah mengetahui ketakutan lelaki itu. Lelaki muka datar dan memiliki sifat cuek itu ternyata takut akan kegelapan.

Tiba-tiba wajahnya Hafsa  memanas, ketika mengingat wajahnya tadi berhadap-hadapan dengan wajah Daffa, dengan jarak yang sangat dekat. Apalagi tadi lelaki itu melingkarkan tangan di pinggangnya. Hafsa memegang pinggangnya dengan kedua sudut bibir yang terus naik ke atas.

Ia akan selalu mengingat kejadian malam ini, disepanjang hidupnya.

🍃🍃

Hafsa menyodorkan sebuah gelas berisi jus jeruk di hadapan Daffa, yang tengah membaca koran.

Lalu ia meletakkan piring yang berisi dua lembar roti bakar, dengan selai kacang.

Setelah memberikan sarapan untuk Daffa, Hafsa dengan masih menggunakan celemek berjalan ke arah lemari gantung. Ia membuka pintu lemari itu, mengambil sereal coklat.

Ketika sereal coklat itu sudah ditangannya, ia segera mengeluarkan dari kotak dan ja tuangkan ke dalam mangkuk berwarna biru.

Lantas ia pun menuangkan susu ke dalam sereal itu. Lalu wanita itu membawa sereal coklat itu ke meja makan. Dan diberikan kepada Zahra.

Beres.

Sarapan kedua insan itu sudah ia siapkan. Kemarin, saat ia pertama kali mengganti sosok Jihan, ia memasak nasi goreng buat sarapan. Dan Hafsa juga membuatkan Daffa kopi.

Namun, lelaki itu menolak. Ia tidak suka minum kopi. Dan juga tidak terbiasa makan nasi di pagi hari. Ia memakan roti bakar dengan selai kacang.

Tak hanya Daffa yang protes dengan masakan Hafsa, pagi itu. Zahra juga, enggan makan nasi goreng. Gadis itu lebih memilih makan sereal coklat.
Hafsa saat itu hanya bisa menghelus dadanya. Wanita itu mencoba untuk bersabar menghadapi tingkah kedua hamba Allah itu.

"Kok roti?" Daffa menatap roti yang ada dihadapannya. "Kok kamu makannya nasi goreng? Aku kok roti?" mata Daffa terus menatap nasi goreng yang berada di hadapan Hafsa.

Hafsa menyeritkan dahinya, mendengar ucapan Daffa. "Ini lagi, kok jus jeruk? Gak ada kopi?" Daffa protes.

Hafsa menghelakan napasnya. "Tapi, kakak ndak mau makan nasi goreng, dan ndak mau minum kopi," kata Hafsa dengan lembut.

Daffa berdecak kesal. "Bukan gak mau, gak terbiasa Hafsa," jawab Daffa membela dirinya. "Tiap hari makan roti bosan tahu!"

Hafsa hanya tersenyum tipis mendengarkan perkataan Daffa.

"Ya sudah, sini nasi goreng kamu. Untuk aku!" pinta Daffa dengan tanpa rasa sungkan.

Hafsa terperangah tak percaya, melihat Daffa yang meminta nasi gorengnya.

"Tapi kak, saya makan apa dong. Saya masak untuk diri saya," beritahu Hafsa.

"Kamu makan roti aku," Daffa menyodorkan piring yang berisi roti ke arah Hafsa. Tanpa permisi, ia mengambil piring Hafsa yang berisi nasi goreng.

Ia membaca do'a sebelum makan terlebih dahulu. Lalu dengan lahap ia memakan nasi goreng Hafsa. Melihat suaminya yang tengah lahap memakan nasi gorengnya, membuat Hafsa tersenyum, ia merasa senang.

Ia perlahan memakan roti milik Daffa. Ia menguyah roti itu, dengan sesekali melirik suaminya.

"Lain kali, kalo masak nasi goreng pakai mentega. Jangan minyak goreng,"

Hafsa hanya menganggukkan kepalanya mendengarkan ucapan suaminya, seraya mengangkat piring Daffa yang sudah kosong. Daffa memakan nasi goreng miliknya, tanpa meninggalkan sisa sebutir nasi pun.

Dan, hal itu sudah cukup membuat Hafsa senang tak terkira. Tanpa wanita itu sadari, bibirnya melengkung ke atas. Membuat wajahnya sangat manis pagi ini.

Dan tanpa ia sadari juga, diam-diam Daffa melihat senyuman Hafsa, dan menikmati senyuman manis istrinya itu.

🍃🍃

Takdir Cinta [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang