Bagian Duapuluh Dua

1.1K 86 9
                                    

Jangan lupa tinggalkan jejak.
Vote and koment

Makacih  😘

🍃🍃🍃

Daffa merasa ada getaran di dada kanannya. Ia meraba dadanya, dan mengeluarkan ponsel yang berada di saku kemejanya.

Ia melihat yang ada yang mengirimi ia pesan melalui aplikasi whatsapp nya. Ia mendapatkan pesan dari nomor yang tak ia kenal. Ia langsung membuka pesan itu.

+628 2371093125

Assalamualaikum kak.
Kakak makan siang di kantor atau di rumah?

Begitu ia membaca isi pesan, barulah ia tahu, jika itu nomor istri keduanya, Hafsa. Baru ia ingat, wanita itu semalam meminta nomor handphonenya.

Waalaikumsalam. Di kantin kantor.
Zahra sudah makan?

Hanya menunggu beberapa detik saja, Hafsa langsung membalas pesannya.

+628 2371093125

Alhamdulillah. Sudah.

Daffa hanya membaca pesan dari Hafsa. Tanpa ada niatan untuk membalas ataupun menyimpan nomor wanita itu. Ia langsung keluar dari aplikasi whatsappnya. Dan menyimpan lagi ponselnya ke dalam saku kemejanya.

"Daffa!" Daffa terlonjak kaget, mendengar Daffi yang tiba-tiba muncul di ambang pintu. Daffi dengan tergesa gesa berjalan menghampiri Daffa.

"Ada apa Mas?" Daffa berusaha untuk tetap tenang.

"Kau!" tunjuk Daffi dengan dada naik turun menahan amarah. "Penghianat!" ucapnya pada Daffa dengan geram. Daffa langsung mengerti maksud ucapan saudarnya itu.

Daffa menarik napasnya dalam-dalam, lalu membuangnya. "Mas. Bukan aku yang meminta Papa untuk memberikan motor itu. Tapi Papalah yang memberikan padaku," Daffa berusaha menjelaskan kepada Daffi.

"Kau tolak dong!" kata Daffi dengan suara tinggi.

"Sudah kak. Tapi Papa tetap bersikeras, dengan keputusannya itu. Aku gak bisa meno--"

"Halla, bullshit kau Daffa. Gak mungkin kau gak bisa nolaknya. Ini sudah kau rencanakan'kan. Kau bilang samaku, kau gak mau motor cb100 Papa. Nyatanya, kau merayu Papa, agar motor itu jatuh ke tanganmu. Licik kau Daffa," tuduh Daffi dengan berapi-api.

"Astagfirullah, aku tidak seperti yang Mas pikirkan! Demi Allah, aku gak pernah merayu Papa, agar motor itu untuk aku. Aku sudah menolak keputusannya. Tapi, Papa gak terima kak," Daffa terdiam sejenak, untuk mengatur napasnya. "Mas juga salah. Mas sudah pernah diberi motor sport sama Papa. Tapi Masnya gak bisa ngerawatnya dengan baik. Sampai motor itu Mas abaikan, dan akhirnya diambil Papa lagi. Jadi, mungkin sekarang Papa lagi belajar dari pengalamannya,"

Wajah Daffi semakin merah, karena marah setelah mendengar kata-kata Daffa. "Udah deh Daf. Kau menyalah-nyalahi aku, untuk menutupkan kelicikanmu," Daffi menarik napasnya. Untuk menenangkan dirinya. "Jadi intinya, memang kau ingin motor itukan? Hahaha Munafik kau Daff. Munafik. Malah nyalahi aku! Lihat aja yah Daf, pembalasanku atas kelakuanmu ini! Kau lihat!" setelah berkata begitu, Daffi pergi dari ruangan Daffa.

"Mas, Mas," Daffa memanggil sang kakak. Namun, tak dihiraukan oleh Daffi. Lelaki yang memakai kemeja putih itu terus berjalan keluar dari ruangan sang adik dengan amarah yang membara. Sedangkan Daffa terus beristigfar saja melihat sang kakak.

🍃🍃🍃

"Fi, mana Mama?" tanya Daffi kepada adik pertamanya itu.

"Itu di dapur," tunjuk Fifi menggunakan dagunya. Sebab ia sedang memberi makan anaknya. Daffi langsung ke arah dapur. Ia melihat Mamanya sedang mengaduk adonan kue.

"Mam," panggilnya.

Mamanya menoleh, wanita itu langsung memasang senyuman. "Hai sayang," sapa Mamanya.

Daffi duduk di sebelah Mamanya dengan wajah ditekuk dalam-dalam.

"Kenapa sayang, mukanya ditekuk gitu?" tanya Mamanya dengan lembut.

Daffi mendesah panjang. "Papa Ma,"

"Kenapa Papa?"

"Gak adil," ucapnya.

Dahi wanita itu bergelombang mendengar ucapan anak sulungnya. "Gak adil gimana Fi?" Mamanya penasaran.

"Masa Ma, motor CB100 punya Papa, jatuh ke tangan Daffa. Kan gak adil! Daffi dari jauh-jauh sudah meminta motor itu Ma sama Papa. Eh, malah diberikan ke Daffa," beritahu Daffi dengan kesal.

"Daffa mau nerima motor itu?"

Daffi mengangguk. "Mau Ma,"

"Masa?" Mamanya tak percaya. "Setahu Mama, dia gak mau tuh,"

Daffi membuang napasnya dengan kesal. "Daffa juga bilang begitu Ma, sama Daffi. Tapi kenyataan Ma, dia menusuk Daffi dari belakang. Dia diam-diam merayu Papa, agar motornya itu jatuh ke tangannya. Busuk hatinya Ma,"

Mamanya sejenak terdiam. Meresapi perkataan Daffi. Benarkah anak bungsunya seperti yang dikatakan Daffi.

"Eng, kamu beli motor sendiri kalau begitu Daffi," usul sang Mama. Untuk mencari jalan tengah.

Daffi menggeleng. "Gak mau Ma. Daffi maunya motor itu!" rengek Daffi kepada Mamanya. Kepala wanita itu mendadak pusing, dengan permintaan anak sulungnya.

"Papa sama Mama memang gak pernah adil. Semuanya untuk Daffa," ucapnya dengan sinis. "Daffa, Daffa, Daffa terus yang dipikirkan. Daffi cuma minta motor itu, tapi gak dikasih. Kelewatan. Daffi kecewa!" ucap Daffi dengan berlebihan.

"Kamu kok gitu sih ngomongnya sayang. Kasih sayang Mama dan Papa itu rata untuk kalian," sangkal sang Mama.

"Buktinya mana?" Daffi memojokkan Mamanya sendiri

Wanita menghela napas panjang. "Mama akan bujuk Papa kamu. Agar motor itu untuk kamu sayang,"

"Bener Ma?" tanya Daffi ragu.

"Iya sayang, kamu tenang saja. Kamu yang akan mendapatkan motor itu," kata sang Mama menyakinankan Daffi.

Daffi menganggukkan kepalanya. Wajahnya masih memapangkan wajah lesuh dan frustasi, tapi di dalam hatinya, lelaki itu bersorak gembira.

"Makasih Ma. Daffi sayang Mama," ucap lelaki itu lalu mengangkat kedua sudut bibirnya.

"Sama-sama sayang," balas Mamanya.

"Ada apa ini? Kok sayang-sayangan?" tanya Fifi yang baru bergabung dengan mereka.

"Kepo lu!" jawab Daffi jutek.

"Ih, sirik aja lo!" balas Fifi tak kalah jutek. "Eh Ma," pandangan Fifi teralih ke arah Mamanya.

"Hem," Mamanya menyahuti panggilannya.

"Jam berapa besok acaranya?"

"Abis ashar. Kenapa?" Mamanya bertanya tanpa mengalihkan pandangan dari wadah berisi adonan kue.

"Penasaran Ma. Sama pelakor itu," beritahu Fifi. "Heran deh Fifi, sholeh tapi mudah tergoda wanita lain," komentar Fifi dengan sinisnya.

"Hahaha, sholeh luarnya aja. Dalamnya busuk!" timpal Daffi.

"Kalian ini, bukan Daffa yang tergoda. Dasar wanita itu yang mampu menipu Daffa," tegur sang Mama. Daffi dan Fifi hanya saling pandang saja mendengar ucapan Mamanya, yang membela Daffa.

"Eh lu tahu Fi, pelakor itu sepupunya mama tiri Maura," beritahu Daffi.

"Hah? What? Gimana-gimana gak paham gue Mas,"

Daffi memutar manik matanya secara hiperbola. "Binik kedua Daffa itu, sepupunya binik kedua Papa Maura,"

Mata Fifi seketika membola mendengar perkataan Daffi. "OMG. Pasti bakal seru besok. Hahaha, jadi gak sabar nunggu besok. Pasti bakal seru." Daffi menganggukan kepalanya mendengar ucapan sang adik. Lantas ketiganya saling tukar pandang, dan ketiganya langsung menyeringai.


Takdir Cinta [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang