Bagian Sembilan

1.3K 102 22
                                    

Hafsa sangat tidak mengerti dengan apa yang ia alami. Disaat, ia mencoba membuka hati, dan memberi Farhan tempat dihatinya.

Namun, lelaki itu tiba-tiba, menarik niatannya untuk menjadikan Hafsa, istrinya.

Oh sungguh malang sekali nasib wanita itu.

Hafsa tak menangisi nasibnya, yang malang. Setelah bergulat semalam suntuk dengan pikiran dan hati. Menyakini dirinya sendiri, untuk menerima Farhan menjadi imamnya. Nyatanya, hasilnya sangat mengecewakan dirinya. Sungguh, sangat sia-sia rasanya ia sampai begulat dengan perasaan dirinya.

Hafsa menghela napasnya. Sore itu ia habiskan dengan rasa kekecewaan yang amat dalam.

Padahal, ia susah payah membuka hatinya yang telah lama ia tutup rapat-rapat. Dan, hasilnya tidak sesuai dengan harapannya.

Ataukah ini  salah dirinya sendiri? Pikir Hafsa.

Yang terlalu lama memberi jawaban kepada lelaki itu. Sehingga membuat lelaki itu menemukan wanita lain?

Hafsa rasa, ini memang salahnya. Ini semua akibat darinya, yang terlalu lama menutup pintu hatinya. Dan tak membiarkan seseorang dengan mudah membukanya? Kecuali, dengan keinginannya sendiri.

"Ya Rabb, kenapa urusan hati bisa serumit ini sih?" Hafsa bertanya kepada Sang Pencipta, yang tak tahan dengan rasa kekecewaan yang sering dialami hatinya.

"Kenapa lagi-lagi hatiku harus merasakan kekecewaan? Dulu dengan Kak Daffa, cinta pertamaku yang tak bisa kugenggam hatinya. Yang membuat hatiku patah dan terluka. Kini, Farhan pula! Hahh, Yah Allah, padahal aku tak banyak pinta. Jodohkan aku, yang membuatku semakin dekat dengan-Mu. Itu saja!" Hafsa akhirnya menitikan air mata. Ia sangka, ia sanggup untuk tidak menangisi nasibnya. Namun, nyatanya tidak. Ia salah. Urusan hati, membuatnya terus mengeluarkan air mata.

🍂🍂🍂

Selesai sholat magrib, Hafsa langsung beranjak ke dapur. Menyiapkan makan malam untuk kedua orang tua Farhan. Biasanya, tepat azan magrib berkumandang, pasturi itu sudah pulang. Namun, hari ini mungkin mereka akan terlambat.

Disela-sela menyiapkan makan malam, tersengar suara bell rumah. Hafsa langsung tergopoh-gopoh ke depan. Untuk membukakan pintu.

Hafsa menyerit bingung, melihat sosok Jihan dengan wajah yang pucat, berdiri di depan pintu rumah Farhan.

"Assalamualaikum Hafsah," dengan suara yang amat pelan ia memberikan salam kepada Hafsa.

"Waalaikumsalam Bu, Ibu ngapain ke sini?" Hafsa sangat bingung sekali dengan tindakan Jihan.

"Boleh saya duduk?" pintanya.

Hafsa segera tersadar. "Oh boleh, mari duduk di sini bu!" Hafsa mengajak Jihan duduk di bangku yang berada di teras rumahnya Farhan.

"Ada apa yah bu? Sampai malam-malam, Ibu cari saya?" Hafsa sangat penasaran.

"Kamu masih ada rasakan sama Daffa?" lagi-lagi Jihan bertanya untuk mencoba menggoyahkan keteguhan hati Hafsa, yang sudah susah payah menghilangkan rasa untuk Daffa.

"Maaf Bu?" Hafsa tak mengerti dengan pertanyaan wanita itu.

Jihan mencoba tersenyum. "Kalau kamu masih ada rasa untuk Daffa, tak apa Hafsa. Aku tahu, rasa itu sangat sulit dihilangkan Hafsa," Jihan terdiam sesaat, mengambil napas dalam-dalam sebelum melanjutkan ucapannya. "Hafsa, dengar. Aku akan memulangkan Daffa kepadamu!"

Hafsa langsung menatap wajah Jihan. Keteguhan hatinya goyang. Apakah imannya selemah ini? Pikir Hafsa, yang langsung tergoda. Namun, ia segera tersadar. Ia menggelengkan kepalanya dengan keras.

"Gak Bu. Pak Daffa, milik Ibu. Bukan milik saya!"

Jihan tiba-tiba menggenggam tangan Hafsa dengan erat. "Dia akan jadi milikmu. Jika kamu mau menikah dengan Daffa. Hafsa, menikahlah dengan Daffa. Aku mohon!"

Hafsa langsung menarik tangannya dari genggaman tangan Jihan. "Ibu. Kenapa sih? Menyuruh saya untuk menikahi suami Ibu sendiri? Ibu apa tidak waras?"

Jihan menggelengkan kepalanya. "Aku masih waras, tapi aku sekarat. Ada kanker yang sudah menyebar ke seluruh tubuhku. Kanker itu merebut semua kebahagiaanku. Dan mempercepat kematianku!"

Lagi-lagi Hafsa dibuat terkejut oleh perkataan Jihan.
Dengan bercucuran air mata, Jihan kembali menggenggam erat tangan Hafsa. "Aku mohon. Menikahlah dengan Daffa, untuk menjadi pendampingnya. Dan menjadi Ibunya Zahra! Demi Allah, aku mohon!"

Hafsa hanya terdiam. Tak tahu harus bereaksi apa. Ia menatapi tangannya yang basah terkena air mata Jihan. Jujur, ia kasihan dengan nasib Jihan. Ternyata, nasibnya Jihan lebih parah darinya.

"Hafsa, Zahra sudah kehilangan Ibunya. Dan ia akan kehilangan Ibunya lagi. Aku tak mau ia tumbuh tanpa kasih sayang seorang Ibu. Seorang Ibu yang akan mendidiknya menjadi wanita sholeha!"

"Kamu mau yah Hafsa, menjadi istri Daffa dan Ibunya Zahra?" dengan sangat berharap Jihan meminta Hafsa untuk menjadi istri suaminya.

Hafsa masih tetap diam. Namun, hati dan pikirannya sudah berkecamuk. Mencari jawaban, atas permintaan Jihan.

"Hafsa, kamu adalah wanita sholeha, wanita yang pantas mendampingi Daffa. Mendidik Zahra. Dan mungkin, bisa memberikan Daffa seorang anak! Aku sungguh memohon kepadamu Hafsa. Agar aku bisa tenang disana, jika aku tiba-tiba meninggalkan mereka untuk selamanya!"

Dengan raut wajah memelas, Jihan terus memohon. Tentu saja membuat hati Hafsah goyah.

"Kamu mau yah?" bujuk Jihan lagi. "Kamu ndak kasihan, sama Zahra dan juga Daffa?"

Hafsa hanya diam saja. Membuat Jihan harus menelan kekecewa. Dengan diamnya Hafsa, sudah memberikan Jihan sebuah jawaban. Wanita itu hanya bisa mengembuskan napasnya dengan berat. Pupus sudah harapannya.

"Baiklah Hafsah, jika kamu tidak mau menjadi istri Daffa!" Jihan langsung berdiri dari kursi.

"Aku permisi yah Hafsa, maaf sudah mengganggu kamu. Assalamualaikum!" Jihan mengucapkan salam.

Hafsa mengangkat wajahnya. Menahan Jihan yang hendak pergi dari sana, dengan memegang tangan Jihan. "Mbak Jihan, saya mau jadi istri Kak Daffa!"

Jihan langsung memeluk erat tubuh Hafsa dengan rasa bahagia yang menyelimuti dada. "Makasi Hafsa! Makasih!"

Hafsa hanya diam saja, tak menanggapi perkataan Jihan.

🍂🍂🍂

"Kamu darimana saja?" serang Daffa kepada istrinya yang baru tiba di rumah. "Kamu itu ndak boleh keluyuran!" omel Daffa lagi.

Jihan tersenyum. "Aku sudah mendapatkan istri untuk kamu. Aku yakin, dia wanita yang tepat untuk menggantikan posisi aku, kalu aku sudah tiada!"

"Jihan! Apa yang kamu lakukan?" Daffa sangat tak mengerti dengan tingkah istrinya.

"Aku melakukan semua ini demi kamu dan Zahra!" Daffa hanya bisa memijit pelipisnya tak percaya.

****

Jangan lupa tinggalkan jejak
Vote and koment.
Lalu share. Oke oke

❤❤

Takdir Cinta [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang