Bagian Duapuluh Lima

1.4K 92 1
                                    

"Kakak gak minta maaf sama Zahra?" tanpa menoleh ke arah Daffa, ia bertanya kepada suaminya.

"Iya nanti," jawab Daffa. "Zahra juga lagi tidur," kata Daffa yang melirik Zahra tidur dipangkuan Hafsah.

"Kak Daffa percaya jika Zahra yang mendorong Nanda?" Hafsa bertanya lagi seraya mengelus kepala Zahra. Dan kali ini, telinga Hafsa mendengar dengusan dari Daffa.

"Sama anak sendiri kok gak percaya," ledek Hafsa, merasa heran.

"Iya, aku salah," akui Daffa dengan nada penuh penekanan.

Satu sudut bibir Hafsa naik ke atas. "Lain kali, cobalah lebih bijak, menyikapi masalah. Apalagi sama anak-anak. Kasian Zahra, dibentak dan dimarahi orang dewasa," mendengar perkataan Hafsa, membuat Daffa semakin bersalah.

"Jika anak-anak yang bersalah, jangan dimarahi atau dibentak-bentak seperti tadi. Kita ini sudah dewasa, seharusnya mampu mengontrol emosi kita. Seharusnya, kita memberikan contoh yang baik kepada mereka. Rendamlah amarah, tanyalah dengan lemah lemb--"

"Kamu nyindir keluargaku?" potong Daffa.

"Kakak merasa?" bukannya menjawab, ia malah bertanya kepada Daffa.

"Gak semua manusia, punya sikap kayak kamu. Yang lemah-lembut dan juga sabar. Mungkin Mbak Fifi panik tadi. Makanya marah-marah sama Zahra," Daffa membela Fifi.

Hafsa tersenyum tipis. "Saya juga dulu begitu. Tidak sabaran, tidak lembut. Tapi, saya mau belajar. Untuk memelihara rasa sabar dihati. Memaksakan diri saya untuk bersikap lemah lembut. Dan lama kelamaan, alhamdulillah saya bisa. Begitu pula, dengan saudari kakak, kalo mereka mau belajar, pasti bisa,"

Daffa mencengkram setir mobilnya. "Kamu gak suka sama saudari aku?" tuduh Daffa.

Hafsa terhenyak mendengar tuduhan yang dilontarkan oleh Daffa. "Gak suka? Kenapa saya harus gak suka sama saudari Kakak?" tanya Hafsa yang tak paham.

Daffa menarik napasnya. "Kamu marah sama keluargaku atas kelakuan mereka terhadapmu?" bukannya menjawab pertanyaan Hafsa, lelaki itu malah melemparkan pertanyaan lain kepadanya.

"Kok kakak nanyanya begitu?" Hafsa merasa heran. Daffa hendak membuka bibirnya, untuk menjawab pertanyaan Hafsa. Namun, Hafsa langsung membuka suaranya.

"Jika dipikir pakai logika. Siapa yang ndak marah dengan tingkah Mama kakak," Hafsa tertawa getir. "Saudaramu juga, terkikik bahagia melihat saya dipermalukan. Namun, asal kakak tahu. Saya ndak menyimpan amarah itu di dalam dada saya. Saya ndak mau mengendapkan amarah, yang nantinya akan berubah menjadi dendam. Saya ndak mau. Amarah itu, sudah saya buang. Saya mencoba menjadi manusia pemaaf. Tidak mau jadi pendendam, agar hidup saya tenang," Hafsa terdiam sesaat. "Saya menyuruh saudari kakak belajar, hanya ingin menjadi manusia yang lebih baik lagi. Agar mampu mendidik anak-anaknya menjadi anak yang sholeha. Bukan tak suka kak," tambah Hafsa lagi.Daffa hanya bisa terdiam mendengar perkataan yang diucapkan Hafsa. Ia terus menyetir mobilnya, tanpa mengeluarkan suara. Sedangkan Hafsa, terus mengelus-elus rambut Zahra selama perjalan pulang ke rumah.

🍃🍃

"Tunggu! Jangan keluar dulu!" perintah Daffa, sesaat mobil mereka sudah sampai di rumah.

"Kenapa?" Hafsa bingung.

"Biar aku bukakan pintu untukmu. Dan aku akan menggendong Zahra ke dalam rumah," Daffa menjawab kebingungan istrinya. Dan Hafsa hanya mengangguki jawaban Daffa.

Melalui bola matanya, ia melihat Daffa yang turun. Dan sedikit berlari memutari mobilnya. Dan kepala Hafsa menoleh, saat Daffa membukakan pintu mobilnya. Lelaki itu menundukan badannya, dan dengan hati-hati ia menggendong Zahra yang tengah terlelap dipangkuan Hafsa.

Takdir Cinta [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang