Bagian tujuh

1.3K 96 15
                                    

Hafsa mengembuskan napasnya lega. Melihat Zahra yang tidak dijemput oleh Jihan ataupun Daffa. Anak kecil itu diajak pulang dengan tetangganya. Yang kebetulan teman sekelasnya.

Jujur saja, ia enggan menemui kedua orang tua anak itu. Terutama Jihan. Karena, ia belum menyiapkan kata-kata untuk menolak secara halus lamaran Jihan. Ia tak mau kata-katanya melukai hati wanita itu.

Dan Daffa, rasa itu sudah hilang dihatinya. Namun, ia masih enggan jumpa lelaki itu. Hatinya menolak. Apakah artinya ia belum move on?
Entahlah, kadang Hafsa tak mengerti dengan dirinya sendiri.

Melihat sekolah yang sudah sunyi. Tak ada lagi murid yang menunggu jemputan orang tua, Hafsa pun bergegas pulang.

Sesampai di rumah, ia disambut Ayah dan Ibu Farhan yang tengah duduk di teras.

"Assalamualaikum," Hafsa memberikan salam. Tak lupa ia langsung mencium punggung tangan kedua orang tua itu.

"Waalaikumsalam," kedua orang tua Farhan membalas salam Hafsa.

"Cah ayu. Uda pulang," Ibu Farhan tersenyum sambil mengelus kepala Hafsa.

Hafsa mengangguk. "Ibu, Bapak kok di luar?" tanya Hafsa dengan lembut.

"Gak apa-apa. Bosan di dalam. Mau lihat anak-anak yang sedang bermain," jawab Ayah Farhan sambil menunjuk beberapa orang anak yang tengah asik bermain.

Hafsa hanya menganggukkan kepalanya. "Ouh begitu. Ya sudah, kalau begitu Hafsa ke dalam dulu yah." Kepala kedua orang tua Farhan mengangguk saja. Lalu, wanita muda itu masuk ke dalam rumah.

Dahi Hafsah bergelombang. Karena ia sedari tadi tak menemukan Farhan. Sampai ia di depan pintu dapur, ia hanya melihat Naya saja. Biasanya, kalau pulang, Farhan selalu membantu Naya di dapur.

"Cari siapa? Farhan?" tegur Naya saat melihat Hafsa di ambang pintu.

Hafsa tersenyum. "Iya," jujurnya. "Kemana dia mbak?"

"Ke rumah temannya," jawab Naya yang langsung fokus kepada wajannya, yang tengah menumis kacang panjang, untuk menu makan siang.

"Ouh, ada yang bisa Hafsa bantu kak?" Hafsa menawarkan diri. Biasanya dia tak menawarkan diri. Langsung terjun ke dapur membantu Naya. Namun, hari ini Hafsa lihat, Naya sedikit berbeda. Naya hari ini terkesan cuek kepadanya. Apakah karena ia belum memberikan jawaban kepada Farhan. Atau hanya perasaannya saja.

"Hm, ndak usah. Uda selesai kok!" kata Naya yang memindahkan masakannya ke dalam mangkuk kaca.

"Ouh, oke kak. Hafsa ke kamar dulu kalau begitu!" pamit Hafsa yang hanya direspon dengan suara deheman dari Naya.

Hafsa di kamar duduk di meja belajar sambil bertompang dagu. Sesekali ia menghela napasnya dengan berat.

Ia sudah sangat dekat dengan keluarga Farhan. Bahkan ia sangat menyayangi keluarga Farhan. Begitu pula keluarga Farhan. Mereka sangat menyayangi dirinya. Namun, sedekat dan sesayang ia dengan keluarga Farhan, tak mampu meluluhkan hati Hafsa, untuk menerima lamaran pemuda itu.
Ia tak bisa memaksa hatinya, memasukkan nama Farhan di sana.

Bangun Cinta.

Hafsa teringat ucapan Cahaya, yang memberikan saran kepadanya.

"Apakah aku bisa membangun cinta buat kak Farhan?" ia bertanya kepada dirinya sendiri. Ia tak yakin, ia bisa membangun cinta untuk lelaki. Namun, bukannya ia harus mencoba? Mencoba membangun cinta itu? Kalau tak dicoba ia tak akan pernah tahu.

Namun, soal rasa, sesungguhnya ia tak ingin coba-coba.

"Arrgh!" Hafsa mengerang frustasi. "Kenapa Farhan yang melamarku. Kenapa tidak Daffa?!"

Takdir Cinta [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang