Bagian Duapuluh Satu

1.2K 89 5
                                    

Daffa meletakkan tasnya di atas meja kerjanya. Ia langsung menghempas tubuhnya di atas kursi kebesarannya.

Lelaki itu lalu membuang napas dengan kasar. Lantas ia memijit pelipisnya. Heran. Lelaki itu benar-benar heran dengan tingkahnya sendiri. Bisa-bisanya ia mencium kening Hafsa.

"Apa yang akan dia pikirkan tentangku nanti? Nanti dia pikir aku itu pria mesum! Huh!" Daffa langsung mundur, untuk bersandaran. Ia menatap plafon ruangannya. "Akibat kebiasaan cium kening Jihan, aku jadi cium keningnya Hafsa."

Lagi-lagi ia membuang napasnya dengan kasar. Sungguh kesal rasanya. Rasanya, imagenya sudah rusak di depan Hafsa. "Ah!" ia sampai ingin menjambak rambutnya sendiri, sebagai bentuk rasa kekesalan. Namun saat tangannya sudah berada di atas kepala, seseorang menegurnya.

"Hei, kamu kenapa?" Daffa terkesiap mendengar teguran itu. Ia pun langsung menarik tangannya dari atas kepala. Dan ia membetulkan posisi duduknya.

"Gak kenapa-kenapa Pa," ucapnya kepada lelaki paruh baya yang berdiri di depan mejanya.

Lelaki paruh baya itu menggeleng tak percaya. Ia pun menarik kursi, lalu mendudukinya.

"Ada apa Pa, datang kemari?" tanya Daffa tak senang.

"Gimana dengan istri barumu?"

Daffa mengibaskan tangannya, mendengar pertanyaan sang Papanya. "Apa maksud pertanyaan Papa itu?"

"Mm, yah Papa cuma mau tahu saja. Hubungan kamu sama dia. Karena Papa harap hubungan kalian langgeng, dan kalian jadi pasangan yang harmonis. Dengan gitu, kamu bisa memberikan Papa seorang cucu,"

Daffa langsung mendengus kesal. "Papa'kan uda punya banyak cucu? Masa mau minta lagi?"

Papanya menatap intens Daffa. "Cucu laki-laki. Papa mau cucu laki-laki Daffa. Kakak iparmu dan Mbakmu, cuma bisa ngasih cucu perempuan. Kakak iparmu, tidak bisa punya anak lagi. Mbakmu, tidak mau punya anak lagi," beritahu Papanya dengan tegas.

"Laki-laki ataupun perempuan sama saja Pa!" kata Daffa.

Kepala lelaki itu menggeleng. "Bedalah Daf. Perempuan tidak akan tertarik dengan dunia otomatif. Kalo lelaki, Papa yakin, bakal suka dengan dunia otomatif!"

"Pa!" Daffa sungguh heran dengan alasan yang dilontarkan oleh Papanya itu.

"Apa sih Daff. Cuma kamulah harapan Papa. Papa kepengen cucu laki-laki," ucap lelaki itu dengan wajah memelas. Daffa hanya mengembuskan napasnya dengan berat. Mendengar kata-kata sang Papa.

"Oh yah Daf, selain minta cucu lelaki. Papa mau memberi kamu sesuatu,"

Daffa memandang curiga sang Papa. "Apa itu Pa?"

"Mukanya biasa aja Daf, bukan aneh-aneh kok," tegur Papanya sesaat lelaki itu melihat wajah anaknya. Papanya. "Kamu tahu, honda CB100 milik Papa?"

"Tau, kenapa Pa?"

"Itu untuk kamu," beritahunya dengan raut wajah bahagia.

Daffa membulatkan matanya tak percaya. "Bagaimana dengan Mas Daffi?"

Papanya mengerutkan dahi. "Kenapa dengan Daffi?"

Daffa menghelakan napasnya. "Pa, Mas Daffi itu,  Mas Daffi mau motor Papa. Ia berharap kalo motor itu jatuh ke tangan dia!" beritahu Daffa dengan nada frustasi.

Papanya mengibaskan tangannya mendengar perkataan Daffa. "Daffa, Daffi itu orangnya yang gak bisa merawat barang. Contohnya motor sport yang Papa beri ke dia. Lihat sekarang? Tidak dirawat dengan benar. Diabaikannya, ya Papa ambil lagi. Trus Papa jual. Kesel Papa," Papanya diam sejenak. "Lagian nih yah Daf, nanti kalo dia uda tua, untuk siapa motornya. Anak dia perempuan semuanya. Pasti mereka gak mau pakai dan merawatnya. Jadi, untuk kamu saja. Kamukan masih berpeluang punya anak laki-laki," Papanya lalu tersenyum menggoda sang anak.

Daffa meraup wajahnya, setelah mendengarkan penjelasan yang agak nyeleneh sang Papa. Ia menatap wajah Papanya yang sudah banyak kerutan. "Pa, iya kalo Daffa dikaruniai anak laki-laki. Papa ini," Daffa berusaha menahan kekesalan. "Daffa juga gak minat sama motor Papa. Kasih ke Mas Daffi aja deh," suruh Daffa.

Papanya menggeleng. Ia tetap tidak ingin memberi motor kesayangannya kepada anak sulungnya. "Itu untuk kamu. Kalo kamu gak mau pakai, di simpan aja dulu, untuk anak laki-lakimu,"

"Pa, anak laki-laki? Aku gak punya anak laki-laki Pa," kata Daffa dengan kesal.

"Yah buat dong. Mikir dong Daff," Daffa menepuk jidatnya sendiri mendengar kata-kata lelaki yang di depannya. Syukur itu adalah lelaki yang paling ia sayangi di dunia. Kalau tidak, sudah Daffa damprat dan ia seret dari kantornya.

"Daff, tolong jangan tolak pemberian Papa. Jangan jadi anak durhaka yah!" ancam Papanya, membuat Daffa menatap lurus sang Papa.

"Menolak menerima motor bisa jadi anak durhaka?" dengan datar, ia bertanya kepada Papanya.

Papanya mengangkat kedua bahunya. "Mungkin," jawab lelaki paruh baya itu.

Jujur, ia tak mau menolak pemberian sang Papa. Ia mau menerima motor kesayangan Papanya itu. Merawat motor yang usianya lebih tua dari usianya. Namun, kakaknya juga menginginkan motor itu. Dan ia pernah bilang kepada kakaknya, ia tidak tertarik kepada motor itu. Dan tidak akan mau memilikinya.

Ia berkata seperti itu, karena tak ingin rebutan dengan saudara kandungnya. Jadi, ia memilih untuk mengalah.

"Daffa," tegur Papanya lagi. "Kamu melamun?" tanyanya. Daffa menggeleng. "Jadi kamu mau'kan?" Daffa hanya diam tak menjawab pertanyaan Papanya. "Mau gak mau, yah harus mau Daf!" putus Papanya. "Ini keputusan sudah bulat. Tidak bisa diganggu gugat!" tambahnya lagi dengan nada tegas, membuat Daffa hanya bisa mengembuskan napasnya dengan berat.

Lelaki itu pun bangkit dari duduk. "Ya sudah, Papa ke sini cuma mau bilang itu,"

"Pa," panggil Daffa.

"Apalagi sih Daff. Sudah deh. Kamu gak usah mikiri Mas kamu. Dia aja gak pernah mikiri kamu," ucap Papanya. "Satu lagi, jangan lupa. Papa minta cucu laki-laki," lelaki itu mengingatkan Daffa.

"Sudah yah, Papa permisi dulu. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam." Setelah mendengar salamnya dijawab, lelaki paruh baya itu pun, dengan gagahnya keluar dari ruangan anaknya. Sedangkan anaknya  pusing tujuh keliling dengan permintaan lelaki itu.

🍃

Takdir Cinta [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang