Bagian Tigabelas

1.2K 92 15
                                    

Hafsa merasakan kemarau di tenggorokannya, setelah membaca surat dari Jihan. Ia segera melipat surat itu, dan ia masukkan lagi ke dalam amplop. Lantas ia meletakkan amplop itu di atas nakas.

Hafsa pun langsung keluar dari kamarnya, menuju dapur. Saat kakinya sudah menyentuh lantai satu, ia sempat melirik Ayah dan anak yang sedang asik di depan televisi. Hafsa hanya melirik, tak ada niatan bergabung.

Ia kemudian melangkahkan kakinya menuju dapur. Dan ketika kakinya sudah memijak dapur, Hafsa buru-buru melangkah ke arah kulkas raksasa milik keluarga Daffa. Ia membuka pintu kulkas dan kedua matanya langsung berbinar. Melihat banyak jenis minuman yang tersedia di sana. Mulai dari teh botol, susu, soft drink, hingga air mineral. Semua ada disitu.

Hafsa mengulurkan tangannya ke dalam kulkas, ia mengambil sebotol air mineral saja untuk membasahi tenggorokannya, lalu menutup kembali pintu kulkasnya.

Wanita itu  membuka tutup botol yang masih disegel. Cukup sekali putar, tutup botol sudah terbuka.

Tak lupa, ia mengucap basmalah dahulu, sebelum meminum air mineralnya.

"Alhamdulillah!" ucap Hafsa setelah ia meminum air mineral itu. Ia merasa lega, sebab rasa hausnya sudah hilang.

Walaupun rasa hausnya sudah hilang, wanita itu tak langsung beranjak pergi dari tempatnya. Hafsa masih diam di tempatnya, tepatnya di depan kulkas.dan terdengar helaan napas yang amat berat darinya.

Hafsa, wanita itu tak pernah habis pikir dengan sosok Daffa, yang tidak mencintai istrinya. Istrinya sendiri. Catat itu. Hafsa sungguh heran dengan laki-laki itu, bisa-bisanya tak mencintai sosok Jihan? Padahal, mereka sudah hampir lima tahun bersama.

Apakah lelaki itu gay. Terka Hafsa, yang menuduh Daffa memiliki kelain seksual. Masa ia tak cinta sama mbak Jihan. Padahal mbak Jihan itu wanita yang mendekati kata sempurna. Cantik, baik, sholeha, pintar, kaya lagi. Lelaki normal, pasti langsung jatuh hati padanya. Langsung memberikan hati dan cinta mereka untuk mbak Hafsa, secara sukarela. Fiks, pasti kak Daffa gay! Hafsa semakin berprasangka buruk terhadap Daffa.

Namun, sedetik kemudian, Hafsa memukul pelan kepalanya.

Mana mungkin dia gay! Dia mah dari dulu sholeh. Mesti uda tau mana yang dilarang Allah. Sesuka sama jenis itukan dilarang. Bodoh Hafsa!

Hafsa langsung menghapus prasangka buruknya kepada Daffa. Tapi apa yah, yang membuat kak Daffa begitu? Hafsa menjadi penasaran.

Kalau selama ini, kak Daffa ndak suka sama mbak Jihan. Bagaimana caranya Jihan mempertahankan rumah tangganya. Bagaimana keadaan hati Jihan? Hidup dengan orang yang tak mencintai dirinya? Hafsa menggeleng tak percaya. Betapa kuat hati wanita itu. Puji Hafsa.

Desahan keresahan hatinya, tanpa Hafsa sadari keluar dari bibirnya. Apa bisa wanita biasa sepertiku ini mampu meluluhkan hati Daffa? Ya Rabb bantulah hambamu ini. Hafsa merasa tak percaya diri.

Tak mau berlama-lama meluapkan kegelisahan hati di depan kulkas, Hafsa memutuskan untuk kembali ke kamarnya. Untuk melanjutkan kegelisahan dan kegalauan hatinya.

Ia membalikkan tubuhnya, tapi alangkah terkejutnya saat melihat Daffa sudah berada di depannya.

Sejak kapan hamba Allah satu ini berada di belakangku!

Hafsa mendongakkan wajahnya, ia dapat melihat wajah Daffa tanpa ekspresi menatap dirinya. Dan ia pun menatap wajah Daffa tak kalah datar.

"Ngapain diam berdiri di situ?" tanya Daffa tak senang. "Minggir!" titahnya galak.

Hafsa pun mangkir dari depan kulkas. Ia menatap dengan tajam Daffa, yang rasanya tak pernah berubah.

Niat awalnya, Hafsa khendak meninggalkan dapur. Namun, baru beberapa langkah, ia menghentikan langkah kakinya. Memutarkan tubuhnya, menatap Daffa yang tengah meminum teh botol.

"Kelewatan banget!" ucap Hafsa dengan sinis.

Mendengar suara Hafsa, Daffa langsung melirik ke arah Hafsa, yang tengah berkacak pinggang.

"Siapa?" Daffa bertanya seraya menutup teh botolnya.

"Kakak!" dengan ketus Hafsa menjawab.

Daffa menyeritkan dahinya. "Kenapa aku?"

Hafsa mendengus kesal mendengar pertanyaan Daffa itu. "Kok bisa-bisanya kakak tidak bisa mencintai mbak Jihan!"

Daffa dengan wajah datarnya, menatap lurus ke arah Hafsa. Namun, wanita itu tidak takut dengan tatapan suaminya itu.

"Kenapa heh?" cecar Hafsa.

"Bukan urusanmu!" jawab Daffa, membuat Hafsa jengkel.

"Iya bukan urusan saya. Tapi, saya cuma penasaran? Apa yang membuat kakak, tidak bisa mencintai mbak Jihan, yang notabene istri kakak sendiri. Padahal, mbak Jihan wanita yang nyaris sempurna lho!" Hafsa mulai tidak bisa mengendalikan diri sendiri untuk mencari tahu alasan lelaki itu. Dan lelaki itu hanya menatap Hafsa, tanpa memberikan jawaban.

"Atau, jangan-jangan. Kakak sudah menempatkan seseorang dihati kakak, sehingga kakak tidak bisa mencintai mbak Jihan. Kakak mencintai orang lain?"

Daffa tercengang dengan kata-kata yang dilontarkan Hafsa. Ia sampai membulatkan kedua matanya. Ia menatap Hafsa dengan rasa tak percaya.

Bisa-bisanya wanita ini tahu, jika aku menyimpan cintaku untuk wanita lain.

Melihat reaksi Daffa sekarang, sudah menjawab pertanyaan. Hafsa mengangguk-anggukan kepalanya.

"Kalau kakak tidak mencintai mbak Jihan. Dan mencintai wanita lain, kenapa kakak menikah dengan mbak Jihan? Mengapa tidak dengan wanita yang kakak cintai." Hafsa sudah kelewatan batas, jika ia merasa penasaran.

"Kan sudah kubilang. Bukan uru-san-mu!" Hafsa mencebikkan bibirnya kesal, mendengar perkataan Daffa yang penuh penekan disetiap kalimatnya.

"Saya hanya penasaran kak. Buat apa kakak menikahi orang yang tidak kakak cintai, sedangkan dihati kakak ada yang lain. Gak kebayang sih rasa sakit mbak Jihan. Gak dicint--"

Kedua bola mata Hafsa membola saat bibirnya dibungkam dengan sepotong roti, yang dimasukkan oleh Daffa.

"Jangan bawel!" bisik Daffa tepat di telinganya Hafsa. Membuat kedua pipi Hafsa merona merah seketika. 

"Kamu paham itu? J" tanya Daffa seraya menyentil dahi Hafsa. Entah mengapa wanita dengan mulut berisi roti itu, menganggukkan kepalanya menurut.

Daffa tersenyum miring, lalu meninggalkan Hafsa sendirian di dapur.

Setelah kepergian Daffa, ia buru-buru mengambil roti dari mulutnya. Wajahnya memanas menahan malu. Ia seperti anak kucing, yang mematuhi perkataan tuannya.

Ahh! Jerit Hafsa dari dalam hati, karena menanggung malu.

Jika ia penasaran, sifat bawelnya akan timbul sendiri. Salah satu kejelekan Hafsa, yang coba ia hilangkan sedari dulu.

Dan berhasil, tapi sayang kini sifat itu muncul kembali. Di depan Daffa!

Hafsa hanya bisa menatap sepotong roti berisi krim keju, sambil mengusap jidatnya yang disentil Daffa dengan hati yang masih dilingkupi perasaan malu.


Takdir Cinta [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang