Bagian Duapuluh

1.4K 87 25
                                    

"Tunggu apa lagi Pa?" tanya Zahra kepada Daffa yang belum juga menghidupkan mesin mobilnya. Padahal anggota keluarganya sudah duduk di dalam mobil. Ada Daffa, Hafsa dan Zahra. "Nanti Umi sama Zahla telat lo!" gadis itu mengomel.

"Bentar sayang," kata Daffa seraya mengeluarkan dompet dari saku celananya. Saat dompet sudah berada digenggaman tangannya, lelaki yang tengah memakai kemeja berwarna biru dongker itu membuka dompetnya, dan mengeluarkan beberapa lembar uang. Lalu ia serahkan kepada Hafsa yang berada di sebelahnya.

"Uang apa ini?" Hafsa bertanya dengan bingung.

Daffa menghela napasnya dulu, sebelum menjawab pertanyaan istrinya. Ia sedikit kesal,melihat Hafsa yang tidak peka."Uang belanja minggu ini," jawab Daffa. "Untuk keperluan rumah tangga. Aku tadi lupa mau kasih ke kamu," jelas Daffa.

"Satu juta cukup'kan untuk seminggu?" Daffa bertanya saat Hafsa mengambil uang dari tangannya.

Hafsa mengangkat wajahnya dan menatap Daffa. "Insyaallah cukup kak," jawab Hafsa dengan lembut. Ia pun menyimpan uang itu ke dalam dompetnya.

Namun detik selanjutnya, dahinya bergelombang. Melihat Daffa yang memberinya uang lagi. Dan Daffa dapat mengartikan raut wajah yang tengah dipampangkan oleh Hafsa.

"Ini uang ongkos taksi untuk seminggu. Aku tidak bisa menjemput kamu dan Zahra selepas pulang sekolah," Daffa menjawab kebingungan Hafsa. "Ambil!" suruh Daffa. Wanita itu menurut saja. Ia mengambil uang dari tangan Daffa, lalu menyimpan di dalam dompetnya.

"Sudah di simpan?" Daffa memastikan. Dan Hafsa hanya menjawab dengan menganggukkan kepalanya.

"Oke. Kita berangkat ke sekolah. Zahra duduk yang bener!" ucap Daffa kepada Zahra yang berada di belakang, melalui kaca spion.

"Uda Pa," beritahu Zahra. "Jangan lupa bismillah Pa," gadis itu mengingatkan Papanya.

"Iya bu ustazah," ucap Daffa membuat Zahra tersenyum lebar menampakkan gigi ompongnya.

Daffa langsung memutar kunci mobilnya. Terdengar suara  mesin mobil. Lelaki itu pun menginjak pedal gas mobilnya. Dan perlahan mobil bergerak maju meninggalkan perkarangan rumah.

Keheningan mengiringi perjalanan mereka menuju RA Ramadhani.

Sepanjang jalan, Daffa hanya mengunci rapat-rapat bibirnya. Pandangannya pun lurus ke jalan. Begitu pula dengan Hafsa. Sepanjang perjalanan ke tempat mengajarnya, ia hanya diam saja. Jujur, dari lubuk hati Hafsa yang paling dalam, ia ingin sekali berbicara atau berbincang kepada Daffa. Ia ingin lebih dekat dengan suaminya itu.

Namun, melihat Daffa yang hanya diam saja, ia jadi pun jadi ikutan diam juga. Jangan lupakan gadis kecil yang duduk di belakang. Gadis kecil yang biasanya bawel itu, entah kenapa memilih untuk diam sambil menatap keluar jendela.

Mobil berhenti di depan RA Ramadhani.

"Pa, Zahla pelgi cekolah duyu! Assalamualaikum," pamit Zahra lalu menyalami Daffa. Ia juga mencium punggung tangan lelaki itu.

"Waalaikumsalam. Belajar yang bener yah kak. Jangan kebanyakan main-main!" pesan Daffa, yang diangguki Zahra. Daffa mencium pipi kanan dan kiri Zahra. Lalu Zahra pun turun dari mobil. Gadis kecil itu langsung berlari masuk ke dalam sekolah.

Pandangan Daffa kini teralih kepada Hafsa.

"Bisa?" tanya Daffa yang menatap Hafsa yang kesulitan membuka sabuk pengaman.

"Gak. Macet ini kak!" beritahu Hafsa dengan sedikit kesal.

"Sini biar aku saja yang buka!" kata Daffa dengan entengnya. Membuat Hafsa kaget, dan menoleh ke arah Daffa. Manik matanya menatap Daffa yang mulai mendekati dirinya.

Wanita itu langsung menahan napasnya, ketika Daffa sudah berada di depannya, yang sedang membukakan sabuk pengamannya.
Jarak yang begitu dekat dan sangat intim bagi Hafsa. Membuat dada Hafsa terus berdebar tak karuan.

Klik.

"Sudah!" beritahu Daffa, yang langsung menjauh dari Hafsa. Barulah Hafsa mengembuskan napas lega.

"Saya mengajar dulu yah, kak," pamit Hafsa kepada Daffa. Ia dengan ragu-ragu mengulurkan tangannya ke arah Daffa. Ia takut, jika Daffa tak mau membalas uluran tangannya. Namun, nyatanya Daffa membalas uluran tangannya. Telapak tangan lelaki itu menggenggam telapak tangan Hafsa. Hafsa pun kemudian mencium punggung tangan lelaki itu.

Dan cup.

Seluruh tubuh Hafsa menengang. Kedua mata Hafsa langsung membola ketika dahinya dicium oleh Daffa. Setelah ia mencium punggung tangan lelaki itu, tiba-tiba Daffa mendaratkan ciuman di dahinya. Hafsa kaget luar biasa. Ia tak menyangka jika Daffa akan menciumnya.

Dan sepertinya bukan Hafsa saja yang kaget, tapi Daffa juga. Lelaki itu kaget dengan kelakuannya yang mencium Hafsa. Daffa langsung melepaskan tangan Hafsa, yang masih ia genggam.

Daffa mendehem, untuk menghilangkan rasa kagetnya. "Maaf Hafsa. Aku pikir tadi kamu itu Jihan," katanya merasa bersalah. Hafsa menganggukkan kepalanya saja. "Dengar yah Hafsa, aku beritahu. Jika aku hendak berpisah dengan Jihan, aku selalu mencium dahinya. Dia yang pinta. Dan itu seperti menjadi kebiasaanku. Dan aku terbawa suasana, saat kau mencium punggung tanganku," Daffa menjelaskan dengan panjang lebar kepada Hafsa.

"Sungguh, aku tidak ada niat apapun atau mencari kesempatan untuk menciummu," Daffa mencoba menyakinkan Hafsa, yang hanya diam saja dari tadi.

"Iya kak saya paham. Saya permisi dulu. Assalamualaikum,"

"Waalaikumsalam," ketika Daffa sudah membalas salamnya, barulah Hafsa keluar dari mobil dengan jantung yang terus berdetak tak karuan. Begitu ia sudah berada di luar mobil, dan menutup pintunya. Mobil Daffa langsung pergi meninggalkan dirinya.

Hafsa langsung mengembuskan napasnya. "Ya Allah," ia menyebut nama Allah sambil menepuk-nepuk dadanya sendiri, untuk menenangkan jantungnya, yang loncat-loncat tak tenang, akibat tindakan Daffa tadi.

Wanita pun mengambil napas, lalu membuangnya. Ia lakukan berulang kali. Hingga, alunan detak jantungnya normal kembali.

"Ya Allah, apa-apaan itu kak Daffa. Kelakuannya sangat tidak baik buat jantungku, huftt," gumamnya.

"Umi, ngapain masih di sini? Kok gak masuk ke sekolah?" tegur kepala sekolahnya yang menghampiri Hafsa.

"Heh Umi," sahut Hafsa menatap wajah sang kepala sekolah.

"Itu kenapa mukanya merah Umi?" sang kepala sekolah menunjuk wajah Hafsa.

Kedua mata Hafsa langsung membola. Ia meraba wajahnya. "Masa me-merah Umi?"

Sang kepala sekolah mengangguk. "Iya. Hayo? Abis ngapain?" goda sang kepala sekolah.

Kepala Hafsa langsung menggeleng dengan keras. "Gak ngapa-ngapain kok Umi," jawab Hafsa, tapi ia melihat raut wajah tidak percaya, di wajah sang kepala sekolah. "Serius Umi," Hafsa menyakinkan wanita yang ada di depannya.

"Hahaha," wanita yang membingkai matanya dengan kaca mata itu tertawa, melihat tingkah Hafsah. "Iya deh Hafsa, Umi percaya."

Hafsa hanya bisa mengkerucutkan bibirnya saja, kala ia digoda atasannya.

"Gemesi banget kamu," kata kepala sekolah itu sambil mencubit pipi Hafsa yang masih bersemu merah.

"Umi, issh jangan suka menggoda ah," rajuk Hafsa seperti anak kecil.

Lagi-lagi wanita itu terkekeh. "Yowes, yuk masuk. Bentar lagi bell!" Hafsa menganggukkan kepalanya saat diajak masuk ke sekolah. Namun, sesekali ia memegang wajahnya. Apakah wajahnya sudah normal kembali, berwarna putih? Atau masih bersemu merah? Hafsa rasanya hendak langsung berkaca saja. Namun, mengingat di sebelahnya ada kepala sekolah, ia jadi mengurungkan dulu niatannya itu. Untuk melihat wajahnya.

Takdir Cinta [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang