Bagian Dua

2.6K 205 11
                                    

-Sudah bersyukur hari ini? -

Surat Al-Kautsar Ayat 1

إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ

Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. (1)

***

Daffa sesekali melirik istrinya yang berada di sampingnya. Jihan. Daffa baru saja menjemput istrinya dari rumah sakit. Setelah beberapa hari dirawat di rumah sakit.

Jihan tersenyum menatap awan-awan yang bergerak bebas di langit. Bergerak ke sana ke mari dengan riangnya. Lepas tanpa beban. Mentari pun tersenyum ceria melihat arakan awan itu, dengan memancarkan sinarnya yang terang. 

"Andai saja aku seperti awan," gumam Jihan dengan murung. Gumaman kecil itu rupanya didengar oleh Daffa.

"Sudah bersyukur hari ini?" tegur Daffa sambil menyetir di sebelah Jihan.

Jihan menoleh. Ia memaksakan bibirnya untuk tersenyum. "Alhamdulillah, sudah. Aku bersyukur sudah diberi kenikmatan oleh Allah hari ini, yaitu umur yang panjang, walau...." Jihan tak menuntaskan ucapannya. Daffa mengusap bahu wanita itu, sekedar menguatkan saja.

Raut wajah Jihan berubah menjadi murung. Matanya tiba-tiba berkaca. Daffa yang melihatnya sekilas, hanya menghela napas. Selama perjalan mereka hanya diam. Bukan Daffa tidak perduli dengan sang istri, tapi ia fokus untuk menyetir mobilnya. Dan membiarkan, Jihan menguapkan kesedihannya dengan menurunkan air mata.

Akhirnya Daffa memberhentikan mobilnya tepat di depan sebuah rumah berwarna abu-abu. Daffa membuka seatbeltnya. Begitu pula dengan Jihan, tapi ia menghapus air matanya dahulu. Daffa membukakan pintu mobil untuk Jihan. Kaki Jihan memijak halaman rumahnya. Daffa merangkul Jihan, ia menuntun  istrinya itu, untuk memasuki rumah. Wangi mint menyeruak di indra penciuman Jihan, saat tubuh ringkihnya dirangkul sang suami.

Daffa merogoh kantungnya, ia mengambil kunci rumahnya. Namun, Jihan memutar ganggang pintu lalu mendorongnya. Daffa terkesiap melihat pintu rumah yang terbuka itu. Ia menggaruk kepalanya, menyadari kecerobohannya yang terulang kembali. Yaitu lupa mengunci pintu rumah.

"Maaf," sesalnya.

Jihan tersenyum. Ia mengusap pipi Daffa lembut. "Seharusnya aku yang meminta maaf, kamu pasti kelelahan mengurus semuanya," kata Jihan dengan rasa sesal yang besar.

"Tidak, aku hanya lupa. Maklum aku sudah tua," alibi Daffa untuk mengibur Jihan. Jihan mengangguk dan berjalan memasuki rumahnya. Jihan hanya memasang senyuman saja, melihat rumahnya yang berantakan. Apalagi bagian dapur. Jihan hanya menghela napasnya.

"Maaf sedikit berantakan,"

"Ini bukan sedikit, tapi banyak mas,"

"Aku akan membersihkannya," Jihan menggelengkan kepalanya. Ia tak yakin suaminya akan membersihkan rumahnya.

"Tak usa," cegah Jihan.

"Kenapa? Kau tak percaya?" Jihan hanya diam, akan tetapi dalam diamnya ia sedang berpikir. Lantas ia pun mengajak Daffa duduk di sofa panjang yang berada di ruang keluarga.
Jihan menatap sendu sang suami sambil mengusap punggung tangan Daffa.

"Apa apa?" Jihan tersenyum mendengar pertanyaan Daffa. Ia menggenggam erat telapak tangan Daffa dengan kedua tangannya. Semakin membuat Daffa tak tenang.

"Jangan membuat aku ambigu," Jihan lagi lagi tersenyum mendengar perkataan sang suami.

"Kamu pasti tahu Mas. Apa mauku. Tanpa aku beritahu," Daffa menghela napasnya.

"Aku tidak mau!"

Jihan melepaskan tangan Daffa dari genggamannya. "Kenapa? Sedangkan Baginda Nabi Rasullah SAW, memiliki lebih dari satu istri?"

Daffa mengusap kasar wajahnya dengan tangan kanannya, mendengar pertanyaan sang istri. "Sayang, dengar. Itu Nabi Muhammad. Manusia pilihan Allah. Toh, beliau memiliki istri banyak karena ada alasannya sayang. Aku apa?"

"Kalau ada alasannya, kamu mau menikah lagi?"

"Allah Akbar!" Daffa memijit pelipisnya. Salah bicara dia rupanya. "Bukan itu maksud aku Jihan,"

"Mas, kamu harus menikah lagi?"

"Untuk apa? Aku sudah ada kamu! Ada Zahra. Aku gak butuh siapa-siapa lagi Jihan!" kata Daffa, dengan nada penekan disetiap kalimatnya.

Jihan menggeleng. "Aku tak akan selalu berada di sampingmu, Mas. Aku akan pergi meninggalkan kamu. Cepat atau lambat,"

"Setiap manusia akan mening__"

"Tapi aku ingin meninggalkan kalian dengan tenang. Tanpa risau memikirkan kalian berdua!" tungkas Jihan.

"Jihan, kenapa kamu risau? Nikmat Allah mana yang kau dustakan?"

Jihan tertunduk lemas, ia menangis. Daffa merengkuh tubuh istrinya. Membawa ke dalam dekapannya. "Aku, tak ingin Zahra tumbuh tanpa seorang Ibu," ucap Jihan disela-sela tangisannya.
Daffa menepuk punggung Jihan. "Aku'kan ada?"

Jihan menggeleng. "Tidak akan bisa, seseorang melakonkan dua peran!" Daffa setuju dengan perkataan istrinya itu. Namun, berarti ia harus menikah kembali. Daffa hanya diam tak menanggapinya.

"Kamu maukan menikah lagi? Karena penyakitku ini akan merengut nyawaku kapan pun. Meninggalkan kalian, berdua. Pasti kamu sibuk mengurus semuanya sendiri,"

"Aku akan pakai pembantu, Jihan,"

Jihan menggeleng, ia melepaskan tubuhnya dari dekapan suaminya.

"Kamu butuh istri bukan pembantu! Untuk mengurus dirimu dan Zahra, dan juga...."

"Dan juga apa?"

"Memiliki anak. Darah dagingmu sendiri. Bukan anak angkat. Ayah kamu ingin seorang keturunan."

"Apa kau ikhlas dan rela, jika ada seorang wanita masuk ke dalam kisah kita?"

"Insyaallah Mas, aku ikhlas dan__"

"Tapi, seikhlasnya hatimu, serelanya dirimu. Hatimu akan hancur seperti gelas kaca yang pecah. Aku gak mau itu!"

"Tidak. Karena ini keinginanku,"

Daffa mengusap wajah Jihan. Ia mencium kening Jihan. "Aku pergi ke kantor dulu." Daffa pamit kepada sang istri. Jihan hanya menatap punggung sang suami yang meninggalkan dirinya dengan deraian air mata. Daffa berhenti berjalan, mendengar isakan tangis Jihan. Ia berbalik dan mendekatinya.

"Jihan, carilah wanita yang berakhlak baik dan tulus menyayangi Zahra." Jihan mengangkat kepalanya. Menatap lekat-lekat wajah tampan Daffa. Jihan mengangguk mantap. Ia menghapus air matanya. Dan memasang senyuman di wajah pucatnya. Daffa hanya menggeleng. Apakah ini benar? Batinnya.

●●●
BERSAMBUNG
ADA YANG MENUNGGU KISAH INI :)
Jangan lupa tinggalkan jejak vote dan koment

Takdir Cinta [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang