Bagian Duapuluhdelapan

1.2K 87 3
                                    

"Kak, saya permisi ke tempat kursus," Hafsa pamit kepada Daffa yang tengah menonton televisi.

"Hmm," hanya itu respon Daffa sambil menatap lurus layar televisi.

Hafsa tersenyum getir melihat respon lelaki itu. Semenjak kejadian Zahra ditabrak mobil, sikap Daffa menjadi dingin kembali kepadanya.

"Assalamualaikum,"

"Waalaikumsalam," Daffa membalas salam Hafsa dengan suara rendah, sangat rendah nyaris tak terdengar.

Hafsa pun langsung pergi meninggalkan Daffa. Ia mengehela napasnya, saat sudah berada di luar rumah, menunggu ojek onlinenya. Mengingat sikap Daffa akhir-akhir ini, membuat dirinya sungguh sedih. Ia menggigit bibirnya bawahnya yang diolesi lipstik berwarna pink.

Padahal kak Daffa sudah bersikap sedikit hangat kepadaku. Tapi, semenjak kejadian Zahra, setelah pulang dari puskesmas. Sikapnya dingin dan acuh tak acuh padaku. Mungkin karena ia kecewa karena aku sudah lalai menjaga Zahra? Kalau begini terus, bagaimana bisa aku merengkuh cintanya? Sedangkan dia, menjaga jarak denganku. Sepertinya aku tidak bisa meluluhkan hati lelaki itu. Karena ia sangat dingin kepada diri ini. Oh yah Rab, bagaimana ini? Apa aku terus mencoba membuat ia jatuh cinta, atau aku menyerah?

Tinn.

Hafsa langsung tersadar dari lamunannya, saat ia mendengar suara klakson motor.

"Mbak Hafsa yah?" driver ojek online itu bertanya untuk memastikan.

"Ya saya mbak," ia menjawab pertanyaan sang driver ojol. Mbak driver ojol itu mengangguk. Wanita yang lebih tua dari Hafsa itu tersenyum seraya memberi Hafsa helm. Hafsa pun memakai helm itu dikepalanya.

"Sudah mbak?" driver ojol itu kembali bertanya, saat Hafsa sudah duduk di atas motornya.

"Sudah mbak,"

"Oke, kita jalan yah. Bismillah," sang driver ojol pun perlahan menjalankan motornya, meninggalkan rumah Daffa.

🍃🍃🍃

"Hafsa," Andin menahan lengan Hafsa yang hendak keluat dari kelas.

Hafsa menoleh, menatap bingung Andin, tutor menjahitnya. "Ada apa bu?" tanya Hafsa dengan sopan.

Andin melepaskan tangannya dari lengan Hafsah. "Panggil mbak aja Hafsa,"

"Baiklah bu. Ada apa mbak?" Hafsa mengulangi pertanyaannya.

"Ng, Hafsa. Gue ada perlu sama lo,"

Dahi Hafsa langsung bergelombang mendengar perkataan Andin. "Perlu? Ada perlu apa yah mbak?"

Andin melihat kanan kiri. Lalu senyum manis ia terbitkan. Dan tiba-tiba ia merangkul bahu Hafsa. "Gak bisa gue bilang di sini Hafsa," ia memberitahukan dengan sedikit berbisik.

"Ng, terus dimana mbak? Kalo ndak di sini?"

"Di Cafe Bikin Ganteng,"

"Harus yah mbak?" Hafsa merasa sedikit keberatan.

Andin mengangguk mantap. "Iya, Hafsa. Bahaya kalo di sini. Gimana? Mau yah? Please!" Andin membujuk Hafsa.

"Ng, baiklah. Tapi saya sholat ashar dulu yah mbak,"

"Oke!" Andin memberikan satu jempol ke arah Hafsa.

🍃🍃🍃

Hafsa dan Andin memasuki cafe milik Eke. Di tempat biasa, sudut cafe Eke, Sandra, Gendis, dan Andra sudah menunggunya.

Andin membawa Hafsa ke sudut cafe, dimana teman-temannya sudah tak sabar dengan sosok bidadari Eke.

"Itu Andin," celetuk Andra. Eke langsung mengalihakan pandangannya dari ponsel. Ia menoleh ke arah pintu.

Takdir Cinta [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang