Bagian Duapuluh Enam

1.3K 82 2
                                    

Ciittttt. Mobil Daffa berdecit. Ia merem mendadak mobilnya, tepat di sekolah anaknya.

"Aduh Pa! Kok ngeremnya mendadak?" Zahra yang berada di belakang mengomel.

"Maaf, Papa melamun kak," sesal Daffa.

"Papa  … Papa, lain kali jangan melamun yah kalo bawa mobil. Bahaya," gadis itu mengingatkan Daffa.

"Maaf Zahra," Daffa menyesali sikapnya.

"Dimaafkan. Jangan diulangi yah Pa. Soalnya Zahla masih muda nih," kata Zahra dengan suara cemprengnya.

"Siap nyonya kecil," Daffa membalas ucapan Zahra.

Zahra terkekeh mendengar perkataan Daffa. Selain ganteng dan banyak duit, Papanya begitu lucu baginya. Mampu membuat ia tertawa selalu. Sepertinya gadis itu harus banyak-banyak mengucapkan syukur kepada Allah. Karena memiliki sosok Ayah dengan paket komplit.

"Ya udah turun yuk!" ajak Daffa kepada istri dan anaknya.

"Papa ngapain ikut tulun?" tanya Zahra.

"Gak boleh?" tanya Daffa dengan mimik wajah sedih.

Zahra menggeleng. "Boleh kok Pa,"

"Papa mau lihat kamu sampai masuk sekolah," beritahu Daffa. "Uda yuk turun!" ajaknya.

"Eh, itu sabuk pengaman kamu bisa dibuka?" tegur Daffa kepada Hafsa. Hafsa hanya menganggukkan kepala.

Dan turunlah ketiga insan manusia yang berbeda usia itu dari dalam mobil.

Zahra pun mengulurkan tangannya ke arah Daffa. Daff menerima uluran itu. Zahra pun mencium punggung tangan Daffa. "Pa, Zahla pelgi sekolah dulu. Assalamualaikum, Pa," pamit Zahra kepada Daffa.

"Waalaikumsalam, belajar yang rajin yah kak. Jangan main terus," pesan Daffa kepada Zahra.

Zahra mengangguk-anggukan kepalanya. "Siap bos!"

Daffa mengelus kepala Zahra dengan penuh kasih sayang. "Ya sudah sana masuk,"

"Dah Pa, Zahla sekolah dulu,"

"Dah sayang," Daffa melambaikan tangan ke arah Zahra. Ah, waktu cepat sekali berlalu. Rasanya baru kemarin anak itu masih bayi. Yang belum bisa apa-apa. Kini lihatlah, Zahra sudah tumbuh besar. Sudah bisa lari-lari dengan riangnya.

"Kak," Daffa tersentak mendengar suara yang memanggilnya. Ia menoleh, ia melupakan keberadaan wanita itu.

"Saya pergi ngajar dulu," Hafsa mengulurkan tangannya, untuk menyalami Daffa. Daffa langsung menyambut uluran tangan Hafsa. Ia menggenggam erat tangan wanita itu. Hafsa pun mencium punggung tangan sang suami.

"Hafsa tunggu,"

"Ada apa kak?"

"Saya eh aku, mau minta maaf," ucap Daffa dengan tulus.

"Minta maaf karena apa?"

Daffa mengembuskan napasnya. "Maaf atas kelakuan keluargaku terhadap kamu. Terutama Mama aku," lelaki itu menjawab rasa penasaran Hafsa.

Hafsa membulatkan bibirnya. "Oh, yah gak apa-apa kak. Aku uda maafi kok,"

"Sebelum orang itu minta maaf?" Hafsa mengganggukan kepalanya.

"Dan kamu benar. Seharusnya mbak Fifi dan mbak Maura belajar untuk lebih sabar dan lembut lagi," Senyum Hafsa mengembang mendengar ucapan Daffa. "Dan aku nanti akan menyampaikan hal itu sama mereka. Aku akan menyuruh saudariku untuk belajar, agar mereka menjadi manusia yang lebih baik lagi. Dan mampu mendidik anak-anaknya menjadi anak yang sholeha," tambah Daffa lagi.

"Iya kak. Ya sudah aku ngajar dulu,"

"Emh, iya Hafsa. Pergilah," suruh Daffa kepada istrinya. Namun, manik matanya melihat Hafsa masih tetap berdiri di depannya. "Kok belum pergi, nanti telat?"

"Anu kak. Tanganku belum kakak lepas," beritahu Hafsa. Sontak Daffa langsung melepaskan tangan Hafsa dari genggamannya.

"Eh, Hafsa, nganu," Daffa jadi gugup karena malu. "Saya eeh aku minta maaf Hafsa,"

"Gak apa-apa kak. Ya sudah saya permisi masuk sekolah. Assalamualaikum,"

"Waalaikumsalam," Daffa menjawab salam wanita itu.

"Lho kok kakak gak pergi?"

"Ouh, aku mau lihat kamu masuk ke sekolah," dahi Hafsa bergelombang. "Eh, gini aku mau mastikan, kalo kamu masuk ke sekolah dengan selamat, iyah begitu," Daffa mencoba memperjelas perkataannya. "Eh, ya udah silahkan masuk ke sekolah,"

Senyum Hafsa tak surut melihat tingkah suaminya pagi ini. Rasanya Daffa sangat manis sekali kepadanya.

"Baiklah," Hafsa pun melangkahkan kakinya, meninggalkan Daffa. Ia memasuki sekolah dengan hati riang, dan senyum yang terus mengembang. Hafsa harap, sikap Daffa akan terus begini setiap hari. Biar mereka jadi dekat. Jika ia sudah dekat dengan Daffa, maka ia akan mudah menggantikan wanita yang menguasi hati lelaki itu.

"Ecieeee," begitu Hafsa memijakkan kaki di kantor guru, ia langsung digoda oleh guru-guru lain.

Wajah putih Hafsa langsung memerah, digoda rekan kerjanya. "Apa sih? Cie? Cie?" Hafsa pura-pura tak tahu.

"Sweet banget sih sama suaminya," puji Anum, salah satu teman kerjanya.

"Iya nih. Kita yang jomlo, jadi mupeng deh," timpal Widia.

"Biasa aja lho," respon Hafsa dengan wajah masih memerah.

"Iya sih sweet, tapi hasil curian," semua orang langsung menoleh ke arah sumber suara. Dia adalah Tania. Salah satu guru RA Ramadhani yang judes.

Hafsa menghela napasnya, mendengar perkataan Tania. "Kan sudah saya jelasi, jika saya tidak mencuri atau menggoda Pak Daffa," Hafsa mengingatkan wanita yang tengah bersedekap dada itu.

"Alaa, mana ada maling yang mau ngaku. Aku gak percaya sama penjelasan kamu. Itu pasti karangan kamu aja. Untuk menutupi kebusukanmu," ucap Tania dengan sinis.

Hafsa mengambil napas dalam-dalam. "Terserah kamu mau percaya atau tidak. Saya tidak peduli. Yang penting saya sudah mengatakan yang sebenarnya," Hafsa membalas tuduhan Tania dengan tegas. Mendadak suasana kantor guru RA Ramadhani menjadi tegang.

Teng  teng  teng

Tak lama kemudian terdengar suara bell berbunyi.

"Ayo Umi-umi, bell sudah berbunyi. Mari kita ke lapangan!" ajak kepala sekolah RA Ramadhani di ambang pintu. Guru-guru itu pun langsung bergegas keluar dari kantornya. Terdengar decakan kesal dari Tania. Pasalnya, ini belum waktunya bunyi bell masuk sekolah. Kepala sekolahnya lagi lagi membela Hafsa. Membuat ia kesal saja. Ia pun dengan malas keluar dari kantor.

"Raut wajahnya Umi Tania," tegur kepala sekolah. Tania mengangkuk paham. Begitu ia keluar dari kantor guru, wajahnya berubah menjadi sumringah. Dan ikut bergabung di lapangan. Padahal di dalam hati masih kesal.

❤❤❤

Hafsa mendapatkan pesan singkat dari Naya. Melalui pesan yang ia kirim, ia memberitahukan bahwa orang tuanya rindu dengan Hafsa. Dan menyuru Hafsa untuk datang ke rumah mereka.

Hafsa pun membalas pesan dari Naya. Ia akan mampir ke rumah Naya, setelah pulang sekolah.
Ia juga rindu kepada seluruh keluarga Naya.

Bell pulang sekolah yang ditunggu-tunggu akhirnya berbunyi juga. Hafsa dan murid-muridnya langsung bersiap untuk pulang.

Setelah murid-muridnya pulang, dan ia membersihkan kelas. Barulah Hafsa menggandeng tangan Zahra pergi ke rumah Naya.

"Kita mau kemana Umi?" tanya Zahra yang berjalan di sebelah Hafsa.

"Ke rumah keluarga umi," beritahu Hafsa, Zahra hanya menganggukkan kepala.

"Assalamualaikum," Zahra dan Hafsa memberi salam ketika sudah berada di rumah Naya.

"Waalaikumsalam," Hafsa sedikit kaget dengan suara yang menjawab salamnya. Dan tak berapa lama pintu rumah terbuka, menampilkan sosok yang oernah menolaknya. Farhan. Lelaki itu berdiri di ambang pintu dengan senyum yang mengembang.

Takdir Cinta [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang