"Assalamualaikum," ucap Hafsa memberi salam kepada penghuni rumah.
"Waalaikumsalam," suara bariton itu menjawab salam Hafsa dari arah dapur. Hafsa sedikit terkejut mendengar suara itu menjawab salamnya.
Hafsa langsung berjalan ke dapur. Ia melihat sosok pria tampan dengan baju kaos oblong dan celana treningnya. Sedang membantu memotong wortel. Hafsa tersenyum. Ia juga melirik wanita yang lebih tua darinya sedang memasak.
Ini bukanlah rumahnya. Melainkan rumah sahabat ayahnya semasa SMA. Ia dititipkan oleh ayahnya sendiri, karena berdalih supaya ada yang mengawasi Hafsa sekaligus merawat istri sahabat ayahnya yang sakit-sakitan.
"Hafsa," tegur Naya kepada Hafsa yang berdiri di ambang pintu dapur.
"Eh, yah mbak?"
"Melamun Hafsa?" tanya Farhan, lelaki yang sedang memotong wortel.
"Tidak, cuma liati kak Farhan motong-motong wortel,"
"Iya ini mbak Naya. Orang baru sampai bukannya disuruh istirahat mala disuruh bantuin masak," protes Farhan kepada Naya, kakaknya. Naya hanya terkekeh saja. Hafsa meletakkan tasnya di atas meja makan. Lalu mencuci tangan.
"Sini kak, biar aku potongi saja wortelnya. Kakak istirahat saja. Pasti kakak lelah bukan?" Hafsa mengambil alih pekerjaan Farhan. Farhan mengangguk.
"Kamu juga pasti lelah Hafsa, habis pulang kerja? Biar Farhan saja!"
"Gak kok mbak,"
"Iya, Hafsa, kamu pasti lelah. Biar aku saja," Farhan mencoba ambil alih lagi kerjaannya. Hafsa menggeleng. Tetap memotong-motong sayur berwarna orange itu. Farhan menghela napasnya saja. Mendapat penolakan dari Hafsa. Sedangkan Naya, masih sibuk dengan kuali dan minyak panas.
Jarak yang tidak dekat, akan tetapi tidak terlalu jauh. Farhan memerhatikan tangan Hafsa yang sedang memotong-motong wortel.
"Makasih yah Hafsa,"
"Buat apa kak?" Hafsa tak mengerti dengan perkataan Farhan. Begitu pula Naya.
"Kamu suda menjaga ibuku, heheh,"
"Huu drama," ejek Naya. Hafsa tersenyum.
"Tidak apa-apa kok kak,"
"Iya. Syukur ada kamu. Mbak Naya kalau siang kerja, pulangnya magrib, begitu pula suaminya. Jadi syukur ada kamu. Ibu ada yang ngerawat. Begitu pula dengan ayah,"
"Kamu sih kerjanya jauh banget han. Coba kalau kerja di kota kita, kau pasti bisa menjaga ibu dan ayah. Kalau Hafsa sudah menikah bagaimana?" Farhan terdiam mendengar omelan Naya. Begitu pula dengan Hafsa.
"Oh yah kak, kakak jam berapa sampai rumah?" Hafsa mengalihkan permbicaraan.
"Seharusnya semalam aku sudah sampai di rumah. Cuma singgah dulu ke suatu tempat. Jadi tadi pagi baru sampai,"
"Lho, kakak ke mana dulu?"
"Eh, ke rumah seseorang,"
"Oh, urusan pekerjaannya?"
"Tidak,"
"Lalu?" Hafsa penasaran.
"Aku... melamar," kata Farhan sedikit ragu.
"Melamar? Siapa?" Hafsa tak menyangka bahwa lelaki itu pergi melamar seseorang.
"Seseorang. Sudah lama aku suka padanya. Cuma gak berani memgungkapkannya. Jadi aku memintanya kepada kedua orang tuanya, kedua orang tuanya setuju. Namun, mereka tidak tahu. Anaknya akan menerima lamaran aku atau tidak."
"Aku do'akan anaknya setuju kak. Menerima lamaran kakak itu,"
Farhan tersenyum. "I wish,"
Hafsa tersenyum. "Siapa dia kak?"
"Kamu,"
Hafsa berhenti memotong wortel, saat mendengar jawaban Farhan. Rasanya dunia berhenti berputar, kala ia mendengar kejujuran hati Farhan. Naya yang mendengarnya hanya diam. Ia tak sabar mendengar jawaban dari bibir Hafsa tentang kejujuran adiknya itu. Namun, sayang. Tidak ada jawaban dari Hafsa. Seketika dapur menjadi hening. Hanya terdengar helaan napas dari ketiganya.
"Kamu marah Hafsa? Karena aku telah lancang melamar kamu secara diam-diam?" Hafsa menggelengkan kepalanya saja. Farhan mengela napasnya lega. Namun, tetap saja ada rasa yang menyesak dadanya. Apalagi melihat diamnya Hafsa. Ia tak mengerti arti diam wanita itu.
"Hafsa sudah selesai mbak memotong wortelnya. Hafsa pamit ke kamar dulu!" Hafsa langsung berdiri dan meninggalkan dapur. Tak lupa ia membawa serta merta tasnya.
"Hafsa?" Hafsa berhenti saat suara bariton milik Farhan memanggil namanya. "Kamu... kamu berhak menolak atau menerima aku. Dan aku akan menunggu jawaban darimu. Aku tunggu jawabanmu!"
Dari ambang pintu dapur, tanpa bersuara atau membalikkan badan. Hafsa menganggukan kepalanya. Ia pun langsung berjalan ke arah kamarnya.
Hafsa mengembuskan napasnya berat saat berada di dalam kamarnya. Hari ini, dua kali ia dilamar. Dan itu membuat jantungnya hampir copot. Pertama lamaran seorang istri dari lelaki yang pernah ia cintai. Kedua, dari seorang pria yang sudah ia anggap saudara sendiri.
"Ya Rabb, bagaimana ini? Apa yang harus hamba lakukan? Jodohkanlah hamba dengan pilihanmu. Karena aku tahu, pilihan-Mu tak pernah salah buat hamba-Mu ini!" Pinta Hafsa ditengah rasa kebingungan yang mendera.
●●●
Hafsa tak sanggup harus memendam ceritanya sendiri. Akhirnya, ia meminta Cahaya dan Bella untuk berjumpa. Hafsa ingin menceritakan keresahan dan kebingungan yang tengah melanda dirinya.
Hafsa menunggu kedua sahabatnya di salah satu cafe favorit mereka bertiga. Hafsa dengan secangkir green tea, menunggu Cahaya dan Bella. Sambil menatap orang-orang yang berlalu lalang di jalan raya. Sesekali, wanita yang memakai khimar pink itu menghela napasnya.
Hafsa sempat mengintip awan dari jendela kaca yang berukuran raksasa. Ia tersenyum, melihat matahari dengan bahagianya memancarkan sinarnya.
"Assalamualaikum," ucap seseorang memberi salam. Hafsa tersenyum. Melihat Cahaya yang datang dan memberi salam.
"Waalaikumsalam, duh lu dateng juga Ay. Aku jadi gak enak deh,"
Cahaya menggeleng. Ia tersenyum lalu duduk di sebelah Hafsa.
"Gak apa kok ta eh umi Hafsa. Sorry, gue kebiasaan manggil lu Talita sih," Hafsa tersenyum mendengar ucapan Cahaya.
"Hmm iya deh. Ngomong-ngomong anak lu sama siapa? Mas Langit?"
Cahaya mengganguk "Iya, sama ayahnya," jelas Cahaya lalu menyeruput coklat hangat yang sudah dipesan oleh Hafsa untuk dirinya. Hafsa hanya mengangguk dan membaca pesan dari Bella yang mengatakan bahwa dirinya sedikit terlambat.
●●●
TBC
ADA YANG NUNGGU? :"
ADA YANG KEPO?
JANGAN LUPA TINGGALKAN JEJAK
MAKASIH :*
Sorry for typo
KAMU SEDANG MEMBACA
Takdir Cinta [TAMAT]
ChickLit❤❤ Daffa tak pernah habis pikir dengan permintaan sang istrinya, Jihan. Jihan meminta Daffa untuk menikah kembali. Tentu saja Daffa menolak permintaan sang istri. Namun Jihan bersikeras untuk menyuruh Daffa menikah kembali dengan Hafsa Nazrina Tali...