18+
Wajah dinginnya terasa kontras berkombinasi dengan sorot mata tajam yang kini menatap lurus ke depan. Seakan tak terusik dengan pandangan seluruh pegawainya, Rio melangkah pasti dengan tubuh tegapnya yang semakin terlihat sempurna dengan parasnya yang tampan. Tak ada yang berani membuka suara ketika boss besar mereka berjalan dengan kesan angkuh yang memang selalu melekat dalam diri laki-laki itu. Karena memang, sudah menjadi rahasia umum bagaimana tegas dan dinginnya anak dari pemilik perusahaan tempat para pegawai seperti mereka bekerja.
Meski begitu, tak ada yang berani mengkritik seorang Arion Ferdyan, karena nyatanya Rio terkenal sebagai boss yang cukup loyal. Walau sikap dinginnya yang tak pernah membalas sapaan para karyawan, sering menjadi berdebatan kecil di antara mereka tentang kepribadian buruk dari boss mereka itu.
Rio berhenti di depan pintu lift khusus untuk menuju lantai ruangannya. Tak butuh waktu lama, Rio melangkah masuk yang di ikuti oleh seorang perempuan di belakang. Wanita yang sudah lama bekerja menjadi sekertaris sekalis kekasihnya. Sesampainya di dalam, Rio langsung menarik pinggang wanita itu dan terjadilah ciuman panas di antara mereka yang seolah tak akan ada lagi hari esok. Rio mencecap buas setiap bibir wanita itu dengan sangat rakus. Sementara wanita itu berusaha mengimbangi permainan Rio. Dia bahkan menarik tengkuk Rio untuk memperdalam ciuman mereka. Meremas rambut rambut Rio yang membuat Rio semakin keras dan ingin menyalurkan segala hasrat yang telah bangun.
"Miss you." Bisik Rio serak. Menyatukan kening mereka dengan nafas yang saling terengah. Wanita itu tersenyum, kemudian memejamkan mata. Menikmati sentuhan ibu jari Rio yang kini membelai bibirnya.
"Malam ini di apartemen aku, ya?" pintanya merajuk manja. Melingkarkan kedua tangannya di leher Rio. Secara otomatis, Rio mendekap pinggang wanita itu hingga tubuh mereka semakin melekat.
"Oke. Tapi aku mau main sebentar di ruangan sekarang." Wanita itu mendelik tak percaya. Namun, belum sempat dia bersuara, pintu lift sudah terbuka. Rio dengan cepat menarik wanita itu menuju ruangannya.
Lantai yang memang khusus menjadi ruangan untuk Rio sebagai CEO di perusahaan ini, membuatnya lebih leluasa ketika ingin bermesraan dengan kekasihnya. Khususnya saat seperti ini, dia hanya tinggal mengunci pintu lalu meleburkan diri dengan kenikmatan dan kepuasaan. Saling beradu suara desahan yang semakin memacu gairahnya. Membuat Rio lupa akan semua beban yang di tanggungnya. Tentangnya yang masih tidak bisa bahkan tidak akan pernah bisa menerima wanita lain selain kekasihnya. Namun, keadaan memaksa dia harus menerima hal yang sangat di bencinya itu.
"Kapan kita menikah, Yo?" Pertanyaan itu tidak salah. Namun tetap terdengar tidak mengenakan di telinga Rio. Dia masih belum bisa memberi keputusan, karena Rio ingin menjadikan kekasihnya ini sebagai istri satu-satunya kelak. Bukan hanya menjadi yang ke dua.
"Yang sabar, ya, aku janji setelah semua masalah selesai. Kita langsung menikah." Rio mencium kening wanitanya yang kini masih bersandar pada tubuhnya. Setelah percintaan panas mereka yang baru saja selesai, keduanya duduk di sofa dengan posisi saling memeluk.
"Janji?"
"Janji sayang." Kata Rio menarik dagu wanita itu agar menghadapnya. "Nggak ada hal yang ingin aku lakuin selain menjadikan kamu istriku." Kalimat itu tentu terdengar manis di setiap telinga para wanita. Dan, Shilla beruntung bisa menjadi wanita yang Rio maksud. Sangat beruntung.
"Love you." Shilla mencondongkan wajahnya untuk menyatukan bibir mereka.
"Round two?" tanya Rio pelan, setengah berbisik dan tersenyum usil.
Shilla Diandra terkekeh menggeleng. "No, sir. Hari ini jadwal kamu padat bertemu beberapa clien dan investor. So, simpan tenagamu itu untuk kita nanti malam." Shilla mengerlingkan matanya. Kemudian bangkit seraya merapikan bajunya yang tadi di berantakan oleh Rio.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sampai Kapanpun
Romance"Sampai kapan?" gumam Ify mendesis. Membungkam wajahnya dengan kedua tangan yang kini mulai basah karena air mata. Ify terduduk di tengah anak tangga karena kakinya tak sanggup lagi berjalan. Di sisi lain. "Sampai kapanpun itu, gue nggak akan pern...