2. Fake Feeling

3.2K 229 67
                                    

Kemarahan itu masih menyelimutinya. Wajah tegasnya semakin tergambar jelas tatkala mata itu menghujam tajam apapun yang ada di hadapannya saat ini. Dadanya bergemuruh penuh akan emosi juga amarah yang siap meledak kapan saja. Rio mendesah kasar, berusaha meredam segala bentuk macam perasaan yang bisa mengacaukannya. Kacau, hilang akal yang perlahan membuat Rio nyari gila dengan hal ini.

"Brengsek!" umpatnya entah karena apa. Yang jelas Rio ingin sekali menghancurkan apapun yang ada di hadapannya saat ini.

Dia baru saja mendapat sebuah pertanyaan kenapa kebencian itu ada dalam dirinya. Pertanyaan memuakkan yang justru semakin menambah kadar kebencian yang selama ini ia pendam. Membuat Rio susah mengontrol konsentrasinya yang mulai terpecah belah. Oleh karena itu, satu hari ini, Rio memasrahkan semua pekerjaannya pada Shilla. Sementara dirinya sendiri tengah beristirahat di apartemen kekasih gelapnya itu. Salah satu hal yang membuat Rio semakin jatuh cinta pada Shilla adalah wanita itu selalu bisa ia andalkan.

Ponsel Rio bergetar di atas meja. Dia yang semua duduk bersandar pada sofa seketika menegakkan punggungnya untuk mengambil ponsel. Helaan itu otomatis keluar saat melihat siapa yang menelponnya.

"Halo ma." Sambut Rio tak berselera.

"Sapaan macam apa itu? Kamu kayak nggak seneng gitu mama telepon?"

Rio mendengus. "Mending mama langsung bilang aja kenapa tiba-tiba nelpon Rio."

"Kurang ajar. Memangnya apalagi kalau bukan karena mama kangen sama anak laki-laki mama satu-satunya."

Jawaban mama membuat Rio terkekeh tanpa suara. "Ma, ada apa? Langsung aja, Rio tahu pasti mama mau minta sesuatu, kan?"

"Oke. Mama langsung aja kalau gitu." Terdengar seolah kecewa. Dan Rio tahu mama hanya pura-pura. "Malam ini, mama sama papa mau makan di luar. Dan mama harap, kamu juga bisa dateng sama Ify. Oke, see you dear."

Rio berdecak. Mama langsung menutup teleponnya hingga membuatnya tak bisa mengeluarkan protes atau memberi alasan untuk menolak. Ya, sepertinya mama sudah paham bagaimana dirinya.

Rio melihat jam di tangan kirinya yang sekarang menunjuk angka lima sore. Sudah lama dia ternyata tidur tidak jelas di tempat ini. Yang artinya sebentar lagi Shilla pulang. Rio segera bangkit, pergi dari apartemen ini dan pulang.

"Halo sayang. Maaf aku nggak bisa jemput kamu."

"Oh nggak apa-apa. Tapi kenapa? Kamu nggak apa-apa, kan?"

Rio tersenyum. Respon Shilla yang selalu mengerti akan dirinya membuat hati Rio menghangat.

"Nggak. Aku nggak apa-apa. Mama minta makan malam bersama. Jadi-"

"Oh gitu. Ya udah nggak apa-apa."

Rio mengusap wajahnya gusar. Terdengar jelas jika kekasihnya ini sedang kecewa. "Jangan marah, ya?"

"Nggak. Kenapa harus marah? Aku sadar kok gimana posisi aku." Masih dengan kecewa.

Rio memejamkan mata sesaat. Dia tidak suka mendengar nada sedih ini. "Shilla please! Jangan gini, kamu tahu aku cuma cinta sama kamu."

"Iya aku tahu, kok. Tapi, mau gimana lagi. Apa yang bisa aku lakuin selain ngerti gimana posisi kamu sekarang."

"Jangan sedih. Aku janji setelah acara makan malam selesai aku ke tempat kamu."

Terdengar Shilla tertawa pelan. Dan itu, cukup membuat Rio merasa lega. "Iya aku tunggu kalau gitu."

Saat panggilan terputus, Rio sudah berada di area basemant apartemen. Langkah kakinya berjalan cepat mencari mobilnya. Namun sebuah suara membuat Rio berhenti.

Sampai KapanpunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang