Shilla duduk termenung di sofa. Menatap ke arah pintu menunggu kedatangan Rio yang tadi katanya akan datang setelah pulang. Namun, sudah jam sembilan malam, Rio belum juga menampakkan diri. Bahkan, Rio juga sama sekali tidak menghubunginya. Dan yang membuat Shilla semakin menghelakan nafasnya, Rio tidak mengangkat panggilannya.
Sebenarnya, bukan hal baru Shilla menerima sikap cuek Rio. Karena memang dari dulu saat mereka berpacaran, Shilla lebih aktif dalam hubungan mereka. Hanya akhir-akhir ini saja Rio menjadi lebih perhatian. Tepat setelah pernikahan itu memisahkan mereka.
Dulu, Shilla bahkan sering meragukan perasaan Rio padanya. Tapi, Rio selalu bisa meyakinkan Shilla dengan sikap laki-laki itu yang selalu ada untuknya saat Shilla membutuhkan seseorang. Dan Rio, selalu melakukan apapun yang Shilla inginkan. Sehingga membuat Shilla yang terbiasa sendiri menjadi sedikit demi sedikit menjadi bergantung pada Rio.
Banyak hal yang Shilla rasakan saat bersama Rio. Bahagia dengan segala bentuk perhatian laki-laki itu. Ada kalanya Shilla merasa rendah diri mengingat status Rio yang sebenarnya. Takut jika suatu saat nanti kebersamaannya dengan Rio benar-benar akan berakhir. Lalu, sakit ketika mengingat hinaan kedua orang tua Rio yang melemparinya uang untuk membuatnya meninggalkan Rio. Demi Tuhan! Tidak munafik Shilla bahagia karena bisa mendapatkan seorang Rio yang pasti akan menjamin hidupnya kelak. Tapi, serendah apapun dirinya, Shilla masih tetap mempunyai hati nurani juga harga diri. Bukan keinginannya untuk menajdi selingkuhan Rio. Tapi, hati Shilla sendiri yang memilih untuk bertahan.
Lalu, mengenai Ify. Shilla tidak pernah bertemu dengan wanita itu. Tidak. Shilla tidak akan pernah mau menemuinya. Bukan karena merasa bersalah. Melainkan dia takut akan hilang kendali jika melihat wanit itu. Terima tidak terima, pada kenyatannya, menurut Shilla, Ify sudah merebut Rio darinya.
"Awas kesambet."
"Eh." Shilla mengerjap kaget. Dia melihat sekeliling yang ternyata dia tengah berdiri di depan pintu sambil melamun.
"Permisi." Shilla mengangguk hormat pada pemilik suara tadi. Berniat masuk lagi ke dalam apartemennya.
"Gue baru satu minggu tinggal di sini." Kata suara itu lagi. Mengurungkan Shilla membuka pintu dan memutar tubuhnya menghadap seorang laki-laki yang ternyata pernah Shilla abaikan kala itu.
"Terus?" Orang itu terkekeh seraya menggaruk tengkuknya.
"Maaf kalau gue buat lo nggak nyaman. Tapi serius, gue cuma mau kenal sama lo aja sebagai tetangga. Kali aja untuk ke depannya kita bisa saling membantu."
Shilla mengangguk paham. Memperhatikan sosok di depannya lebih teliti. Tubuhnya tinggi tegap. Hampir sama dengan Rio tingginya. Hanya saja, Rio lebih tampan. Tapi, senyum laki-laki ini lumayan manis. Tatapannya juga tenang dan tidak terkesan mengintimidasi. Berbeda dengan Rio yang selalu bertahan dengan wajah datar dan dinginnya. Shilla tersenyum mengingat kekasihnya itu yang kini membuatnya jadi rindu.
"Gabriel."
"Shilla." Shilla tersenyum mengangguk seraya menjabat tangan Gabriel tanpa ragu. Sebenarnya, Shilla bukan tipe orang yang mudah bersosialisasi dengan orang baru. Mengingat jumlah temannya lebih sedikit di banding jumlah musuhnya. Yah, menjadi pacar Rio tentu saja tak pernah membuat Shilla hidup tenang dengan gangguan beberapa gadis yang berusaha menggantikan posisinya. Tapi, karena Shilla termasuk orang yang tidak pedulian, jadi dia tidak pernah menanggapi serius saat dirinya berusaha di serang.
Dan untuk kali ini, entah kenapa Shilla merasa ingin mempunyai seorang teman.
❤❤❤❤❤❤
Di depan cermin Rio menatap dirinya yang bertelanjang dada. Dia baru selesai mandi dan hanya mengenakan handuk yang melingkar di pinggangnya. Rambutnya yang basah tampak berantakan dan kembali berantakan karena Rio mengacak-acaknya. Rio terlihat frustasi saat ini, dia masih terkejut mengingat tindakan Ify yang tadi memeluknya. Membelai dadanya yang tanpa sadar membuat Rio menahan nafas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sampai Kapanpun
Romance"Sampai kapan?" gumam Ify mendesis. Membungkam wajahnya dengan kedua tangan yang kini mulai basah karena air mata. Ify terduduk di tengah anak tangga karena kakinya tak sanggup lagi berjalan. Di sisi lain. "Sampai kapanpun itu, gue nggak akan pern...