Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Dan Rio masih berada di kantor yang sekarang tengah menatap fokus pada layar laptop. Rio sedang meneliti beberapa file yang harus ia pelajari kemudian meminta untuk di revisi jika ada yang tak sesuai dengan proyek yang sedang di kerjakannya.
Rio memijat pelipisnya. Pusing menyerang tapi Rio enggan untuk berhenti. Dia tidak ingin beranjak dari kursi kerjanya. Karena sungguh Rio ingin sejenak beristirahat dari rasa sesaknya. Dari rasa sakitnya. Rio tidak ingin menginjakkan kakinya di rumah yang pasti berujung membuat bayang-banyang saat ia menyakiti Ify terlintas begitu saja. Dan hal itu, sangat teramat menyiksa batin Rio. Menyesal, tapi juga semua sudah tidak ada gunanya lagi.
Rio tersenyum lemah saat pikirannya masuk dalam dimensi yang ia ciptakan sendiri. Di sana, Rio melihat Ify muncul dari balik pintu. Perempuan itu tersenyum manis seraya berjalan mendekat ke arahnya. Berhenti tepat di depan mejanya. Duduk lalu menyanggah kedua tangannya di atas meja. Dengan posisi menangkup kedua pipinya sendiri.
Rio mengerjap. Melihat betapa menggemaskan sikap istrinya ini. "Pulang, Yo. Nanti kamu sakit kalau kerja terus." Begitulah dia berujar.
"Nggak mau. Aku takut pulang." Rio menyahut lemah. Dia mengikuti kegiatan Ify yang kini tak lepas menatapnya. Terserah, jika orang menganggapnya gila sekarang. Karena hanya dengan cara ini Rio bisa meluapkan kerinduannya.
"Takut kenapa? Nggak ada hantu kok."
Rio tertawa tanpa suara. Namun tidak dengan hatinya yang setiap detiknya semakin tercubit. "Karena nggak ada kamu." Sahut Rio melirih pelan.
Dalam bayangan Rio, Ify tampak tertawa kecil. Terselip ekspresi geli di sana. Dan itu membuat Ify semakin manis saja di matanya. Membuat dada Rio kian terhimpit perasaan rindu dan juga penyesalan. Membuat Rio enggan bangun dari kesadarannya agar bisa terus bersama sang istri meski hanya dalam bentuk bayangan yang ia ciptakan sendiri.
"Kamu kapan pulang? Aku kangen."
Ify tidak menjawab dan hanya bertahan dengan senyum manisnya. Karena Rio sendiri tidak tahu kapan Ify akan kembali padanya. Dan apakah Ify bisa kembali padanya juga Rio tidak tahu. Rio tidak bisa menebak apa yang akan terjadi pada hubungan mereka kedepannya.
Lelah dengan khayalannya sendiri yang justru semakin membuatnya sakit. Rio mengangkat jari telunjuknya. Ia angkat lalu ia arahkan pada wajah Ify. Menyentuh kening perempuan itu yang seketika hanya menyisakan uap tak kasat mata. Tangan Rio terhempas begitu saja di atas meja. Tenaganya seolah habis tak tersisa. Jika telinganya tak mendengar seruan Cakka dari luar, mungkin sekarang Rio sudah tak sadarkan diri. Oh lebih tepatnya, Rio hampir pingsan karena pusing itu menyerang kepalanya tanpa ampun.
❤❤❤❤❤❤
Ketika bangun tadi, Rio sudah mendapati sang mama berada di kamarnya. Bersama dengan dua asisten rumah tangga yang di tugaskan Amara untuk membersihkan rumahnya dari setiap sudut ruangan. Hal yang tentu mengusik pagi Rio. Rasa kantuknya masih belum hilang karena semalam dia baru bisa tidur jam tiga pagi. Ternyata dari kemarin obat tidur yang di berikan Alvin sama sekali tidak berefek padanya. Rio masih susah tidur bahkan meski tubuh dan pikirannya sudah terasa sangat lelah. Meski semalam Cakka mengantarnya dalam keadaan lemas, tetap saja Rio tidak bisa terlelap.
"Cepetan habisin sarapan kamu, abis itu anterin mama."
Rio menghela. "Rio ada meeting nanti siang, ma." Menyuapkan lagi satu sendok nasi goreng ke dalam mulutnya.
"Mama udah bilang sama sekertaris kamu buat kosongin semua jadwal kamu hari ini."
Rio sudah menduga akan hal itu. Makanya, dia tampak tak kaget. Kedatangan Amara yang tiba-tiba tentu saja sudah di persiapkan dengan matang oleh mamanya. Terlebih jika Rio sudah mendengar titah dia harus mengantarkan sang mama pergi, sulit bagi Rio untuk menolak dengan berbagai macam alasan. Karena mama pasti akan menangkis semua ucapannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sampai Kapanpun
Romance"Sampai kapan?" gumam Ify mendesis. Membungkam wajahnya dengan kedua tangan yang kini mulai basah karena air mata. Ify terduduk di tengah anak tangga karena kakinya tak sanggup lagi berjalan. Di sisi lain. "Sampai kapanpun itu, gue nggak akan pern...