33. Ketakutan dan Kesedihan

1.5K 121 44
                                    

"Rio." Keluh Ify cemberut. Saat berusaha memalingkan wajah, Rio dengan cepat menarik dagunya. Sehingga kini, wajahnya telak menjadi pemandangan untuk suaminya.

"Aa-" Mengabaikan protesan Ify. Rio membuka mulutnya minta di suapi. Sikunya tertekuk bertumpu di atas meja. Dan menjadikan telapak tangannya untuk menyangga kepalanya yang kini tampak menikmati wajah sang istri.

"Nggak boleh lirik kemana-mana." Peringat Rio. Menangkap bola mata Ify bergerak gelisah saat menyuapinya. Kiranya, sudah hampir setengah jalan Ify menyuapi Rio. Dan selama itu, Rio meminta agar Ify terus menatapanya. Lebih tepatnya Ify harus membalas tatapan Rio yang enggan berpaling.

"Ih kamu mah." Ify mencebik. Menunduk sejenak guna memotong daging di piring lalu di campurkan dengan nasi untuk ia suapkan ke Rio.

"Aa-"

Ify menghela lalu menyuapi Rio lagi. Tak lupa, Ify membalas tatapan Rio yang memang tak pernah lepas darinya. Sungguh, Ify tidak bohong jika sekarang Ify gugup setengah mati. Terasa dia tengah di sidang oleh Rio dan siap mendapat hukuman atas apa yang sudah ia perbuat. Terlebih, Rio tampak menikmati sekali kegugupan yang kini Ify rasakan.

"Eh?" Ify tersentak kaget. Merasakan genggaman lembut dari telapak tangan Rio yang hangat. Dada Ify berdesir ngilu dan tubuhnya seperti tersengat listrik dengan daya kecil.

Sementara Rio yang menjadi tersangka utama memasang wajah santainya. Meraih tangan Ify yang gemetar karena salah tingkah di tatap olehnya, Rio menarik lembut pergelangan tangan Ify lalu di arahkan ke mulutnya.

"Ish Rio." Cicit Ify setelah bisa menguasai detak jantungnya yang sempat menggila. Bayangkan saja, sudah lebih dua puluh menit, Ify menyuapi Rio layaknya bayi. Dan selama itu pula, sedetikpun Rio tak berpaling menatapnya. Jika saja Rio mengajaknya bicara, rasa malu Ify bisa saja teralih. Tapi, dari awal hingga detik ini, Rio sama sekali tak mengajaknya bicara. Hanya merespon ketika melihatnya membuang muka. Sungguh menyebalkan.

"Hem." Gumam Rio di sela kunyahannya. Terlihat santai menikmati wajah Ify yang berusaha menahan malu. Rio bahkan sadar jika Ify seperti cacing kepanasan yang bergerak gelisah di tempat duduknya. Tapi, dia tidak peduli. Rio hanya ingin memandang lebih lama wajah istrinya. Tanpa ada yang menganggu bahkan jika itu suaranya sendiri. Itulah kenapa Rio enggan berbicara.

"Kamu makan sendiri, ya? aku capek, pusing mau tidur." Ify berusaha menampilkan wajah lelahnya. Sambil memijat pelipisnya yang menunjukkan dia tengah menahan sakit. Entah kenapa hanya ide itu yang terlintas dalam benak Ify untuk bisa kabur dari tatapan maut suaminya.

Rio mengangguk. Lalu menegakkan duduknya. "Oke kita tidur."

Ify membeo. Lalu menarik tangan Rio agar duduk lagi. "Ka-kamu makannya gimana?"

"Aku nggak mau makan kalau nggak kamu suapin." Kata Rio. Pelan dengan sorot mata yang serius.

"Ya udah aku nggak jadi pusing." Ify mengalah. Tersenyum semanis mungkin agar Rio tidak ngambek lagi.

"Oke." Rio mengangguk santai. Kemudian membuka mulutnya minta di suapi.

Ify menghela panjang. Menunduk, menatap makanan Rio yang hampir habis. Baiklah, sebentar lagi. Tahan Ify. Oke? Anggap saja Rio sedang merajuk dan abaikan saja tatapan datarnya yang menyebalkan itu.

Ify masih menunduk menyiapkan lagi suapan untuk Rio di sendok yang ia pegang. Lalu menggerakan tangannya ke arah mulut Rio. Saat itulah, Ify menyadari ada satu hal yang berbeda. Tatapan Rio tidak sedatar dan sesantai tadi. Tatapan yang justru kini ia benci. Membuat perasaan jengkel Ify memudar. Juga salah tingkahnya yang kian menghilang.

"Aku serius. Nggak akan makan kalau kamu nggak suapin."

Ify mengangguk. "Iya," sahutnya tenang.

Sampai KapanpunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang