Kenyataan menyadarkan Rio bahwa hubungannya dengan Ify belum bisa di katakan membaik. Meski mereka sempat bahagia saat bertemu seminggu yang lalu, tapi itu hanya bersifat sementara karena tepat jam tujuh malam Ify di jemput mamanya. Tepat ketika mereka selesai makan malam. Berat rasanya Rio membiarkan Ify pergi begitu saja. Tapi, mau bagaimana lagi jika Ify sendiri memilih pergi. Rio tidak bisa memaksakan kehendaknya. Itu akan membuat Ify merasa tidak nyaman padanya.
Bukan! Rio tidak menyalahkan Ify atau menyudutkan istrinya. Dia mengerti Ify pasti tidak ingin mengecewakan papanya. Lantas, apa yang harus Rio lakukan agar mereka bisa kembali bersama?
Selama seminggu ini Rio kembali menjalani aktifitasnya dengan sibuk bekerja. Meski tak seberat kala itu, tetap saja ada rasa di mana Rio sangat merindukan Ify. Istrinya. Terlebih, Ify sama sekali tak bisa ia hubungi. Mama Amara juga tidak tahu sebenarnya apa yang Ify lakukan. Rio jadi sedikit menyesal karena saat mereka bertemu, dia belum sempat meminta penjelasan Ify.
Mengenai surat gugatan yang Ify ajukan, Rio merobek kertas itu tanpa berniat membaca. Meski di kemudian hari surat itu muncul di meja kerjanya, Rio langsung membuangnya ke tempat sampah. Sampai kapanpun, Rio tidak akan menceraikan Ify. Apapun yang terjadi, Rio tidak akan melepas Ify dari hidupnya.
Rio memijat pelipisnya dengan tangan kirinya. Sementara tangan kanan masih bekerja memutar stir mobilnya. Ya, sekarang Rio dalam perjalanan pulang. Dia tidak lagi lembur di kantor hingga malam karena Ify melarangnya. Mengingat bagaimana Ify mengomel karena mendengar cerita dari mama Amara bahwa dia drop karena sibuk bekerka, membuat Rio tersenyum sendiri. Ify yang masih peduli padanya, benar-benar membuat Rio ingin melakukan apapun yang istrinya itu katakan padanya.
"Halo, ma." Sambut Rio mengangkat telepon Amara yang baru saja berbunyi. Senyum masih menghiasi wajahnya sampai kemudian menghilang. Berganti mendung yang teramat gelap. Ingin mengumpat marah tapi bagaimana bisa jika itu adalah suara ibu kandungnya sendiri?
"Nggak lucu, ma. Kalau mau bercanda nggak gitu caranya." Rio berusaha tertawa tapi entah kenapa rasanya hambar.
"Mama serius sayang."
"Tapi, terakhir kita ketemu dia baik-baik aja."
"Seminggu yang lalu. Keadaan seseorang bahkan bisa berubah hanya dalam waktu satu detik, nak."
"Tapi ini nggak masuk akal, ma!" Seru Rio kesal. Berharap sang mama memang benar mengerjainya saat ini.
"Percaya atau nggak terserah kamu. Mama udah kasih tahu kamu yang sebenarnya karena mama nggak mau mengulang kesalahan mama dengan diam kayak dulu."
Rio diam. Mencengkeram setir mobilnya kuat. Mamanya serius. Tidak bercanda. Mama serius dan tidak bercanda! Kata-kata itu terucap berulang kali dalam hati Rio. Terucap dengan nada penuh penekanan dan emosi yang meluap. Membuat Rio ingin berteriak sekarang namun sebisa mungkin ia tahan.
Rio langsung mematikan sambungan teleponnya setelah Amara menyebutkan nama rumah sakit. Dimana rumah sakit menjadi tempat Ify berada. Ify sedang kritis, itulah kalimat pertama yang Rio dengar dari mama. Kalimat yang membuat Rio tak bisa langsung percaya. Bagaimana Ify bisa kritis? Kenapa? Apa yang sebenarnya terjadi? Tuhan, apalagi ini?
Rio berusaha fokus menyetir. Menatap lurus pada arah yang ia tuju dengan mata tajamnya. Bibirnya terkatup rapat dan rahangnya kian mengeras. Meski dingin itu jelas terpancar di sana, tapi tetap Rio tak bisa menahan air matanya yang tiba-tiba mengalir. Mengetahui keadaan Ify yang sedang tidak baik-baik saja, bagaimana bisa Rio berpikir jernih? Hanya merindukan istrinya itu saja, Rio merasa kepalanya ingin pecah. Dan sekarang? Rio tak bisa menggambarkan bagaimana rasa sakit yang kini menjalar di hatinya. Sakit yang membuat Rio butuh oksigen lebih untuk membantunya bernafas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sampai Kapanpun
Romance"Sampai kapan?" gumam Ify mendesis. Membungkam wajahnya dengan kedua tangan yang kini mulai basah karena air mata. Ify terduduk di tengah anak tangga karena kakinya tak sanggup lagi berjalan. Di sisi lain. "Sampai kapanpun itu, gue nggak akan pern...