WARNING 18+
Sudah tiga jam lebih Rio merenung sendiri di tempat ini. Setelah mengantar Ify kembali ke mobil, memastikan bahwa sopirnya dengan aman mengantar istrinya sampai hotel, Rio kembali menuju tempat tadi saat bersama Ify. Seperti tak punya tenaga, Rio duduk seraya menjulurkan kakinya. Kedua tangannya tertarik ke belakang. Ia jadikan untuk menyangga tubuhnya yang berusaha kuat menenangkan diri. Memikirkan berbagai kemungkinan yang terjadi. Kemungkinan terburuk yang harus ia lalui. Kemungkinan menyakitkan yang mau tak mau harus ia hadapi. Kemungkinan bahwa jika Ify pergi, apa yang harus Rio cari? Apa yang harus Rio cari untuk membuatnya bisa tetap berlari, di tengah hidupnya yang tak lagi berarti.
Rio berpikir, jika memang suatu hari nanti Ify pergi, dia hanya perlu melanjutkan hidupnya. Hidup tanpa Ify di sisinya. Harus terbiasa dan mampu untuk tidak melihat wajah menggemaskan istrinya ketika marah, kesal, ataupun bahagia. Rio tak akan bisa lagi mendengar ocehan istrinya. Rio tak akan lagi bisa menggoda istrinya. Saat lapar, Rio tidak akan bisa lagi merasakan masakan istrinya. Saat lelah, Rio tidak akan bisa lagi mengeluh manja pada istrinya. Saat rindu, Rio tidak akan bisa lagi memeluk istrinya. Saat malam, Rio tidak akan lagi bisa melihat Ify tidur di sampingnya. Tak akan ada lagi yang merajuk manja padanya. Tak akan ada lagi yang mengomelinya. Tak akan ada lagi yang menyambutnya saat pulang kerja. Tak akan lagi yang bisa ia ajak bercanda. Semua kebahagiaan sederhana itu akan hilang, detik di mana Ify sudah tidak bernyawa.
Rio menggeleng pelan. Raut wajahnya semakin terlihat pilu. Menandakan, dia merasa tidak sanggup melewati semua hal yang baru saja ia pikirkan. Membuatnya justru semakin di dera rasa ketakutan juga sesak yang semakin menghimpit dadanya. Tanpa Ify. Hidup tanpa Ify, bisakah ia?
Tidak! Rio tidak bisa. Tuhan, bisakah engkau mengabulkan permintaan pria malang ini? Biarkanlah istrinya tetap hidup, bersamanya hingga usia mereka menua.
Tanpa bisa ia tahan lagi, Rio mulai terisak pelan. Tubuhnya sedikit membungkuk dengan bahu yang mulai bergetar. Satu tangan kirinya ia gunakan untuk menutupi wajahnya. Sedang tangan kanannya, bergerak reflek mencengkeram kuat dadanya. Sesak sekali di sana. Hingga membuatnya hampir tak bisa bernafas. Di sana entah darimana batu-batu besar beruntun menghantamnya secara bergantian.
"AAAAHHHHHH!" Teriak Rio kencang. Berusaha mengenyahkan sesak di dadanya. Tangis yang sudah ia tahan beberapa hari pun sudah ia tumpahkan. Tapi tetap saja tak berefek apapun bagi hatinya. Masih sakit, masih sesak dan masih di liputi perasaan takut yang setiap detik tidak pernah berhenti menyiksa. Apalagi yang harus Rio lakukan?
Sementara itu, Ify yang sudah berada di hotel menatap resah pada pintu yang tak kunjung di buka. Lalu beralih menatap ponselnya. Ify mendesah kecewa karena ternyata Rio masih belum membaca pesannya. Sudah sejak jam lima sore Ify sampai di kamar hotel. Dan sekarang waktu sudah menunjuk hampir pukul sembilan malam. Apa yang Rio lakukan di sana seorang diri? Apa perasaan Rio sudah membaik? Kenapa juga tidak kembali? Pertanyaan itu terus berputar di kepalanya. Dan juga kesedihan di wajah Rio tak bisa Ify enyahkan dari pikirannya. Kesedihan yang membuatnya tidak tenang dan ragu akan keputusannya. Tapi, jika dia harus menjalani operasi lagi, organ hati siapa yang bersedia di donorkan untuknya? Ify tidak mau mengorbankan nyawa seseorang lagi untuk kesembuhannya.
Ify masih meyakini jika memang takdirnya harus seperti ini. Percaya bahwa mungkin umurnya tidak panjang lagi. Tuhan sudah memberinya kesempatan untuk hidup sejauh ini. Ify tidak ingin serakah jika harus memaksa keadaan berpihak lagi padanya. Ify bukannya tidak mau sembuh. Sangat mau. Tapi, untuk mendapatkan donor hati tidaklah mudah. Dan jalan satu-satunya untuk bisa hidup normal adalah dengan hal itu. Ify hanya tidak mau terlalu berharap lagi. Tidak mau memberi harapan pada orang-orang yang menyayanginya. Di saat dia tidak yakin bisa mewujudkan harapan itu. Tapi saat melihat kehancuran Rio tadi, Ify bingung harus bagaimana. Berat meninggalkan Rio. Tidak mudah bagi Ify yang juga ingin terus bersama suaminya. Menua bersama. Dan saling mencintai, berbagi kasih hingga usia senja nanti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sampai Kapanpun
Romance"Sampai kapan?" gumam Ify mendesis. Membungkam wajahnya dengan kedua tangan yang kini mulai basah karena air mata. Ify terduduk di tengah anak tangga karena kakinya tak sanggup lagi berjalan. Di sisi lain. "Sampai kapanpun itu, gue nggak akan pern...