32. Tanggung Jawab

1.5K 141 91
                                    

Rio mengetuk-ngetuk meja dengan jari telunjuknya. Menunggu seseorang yang kini menjadi lawan bicaranya. Lebih tepatnya, mereka belum terlibat dalam pembicaraan panjang. Karena Rio baru saja datang menemui Gabriel di sebuah cafe yang lokasinya tidak jauh dari tempat Rio bertemu dengan salah satu klien nya tadi. Sebenarnya, Rio enggan bertemu dengan siapapun akhir-akhir ini. Ingin berusaha menenangkan diri setelah meluapkan amarahnya dua minggu lalu pada Ify.

Ya, sejak saat itu, hingga kini, Rio masih enggan menemui Ify. Dia hanya mendengar kabar dari Amara jika kondisi Ify kembali membaik dan sudah di perbolehkan pulang. Tapi kabar itu terasa percuma bagi Rio karena nyatanya Ify masih enggan memberinya kabar. Dan terasa percuma jika pada akhirnya Ify akan mengalami kesakitan yang sama. Oke, tidak seharusnya Rio berpikir seperti itu. Tapi Rio benar-benar tidak bisa berpikir jernih jika mengingat keadaan Ify yang sebenarnya.

"Lo tahu, Yo?"

Rio menggerakkan bola matanya ke atas sebagai respon. Kemudian menatap lagi asap yang mengepul dari secangkir kopinya di atas meja.

"Dulu-" pandangan Gabriel tampak menerawang. "Almarhum nyokap gue-" Rio tersentak mendengar ucapan Gabriel. Wajah datar dan dinginnya perlahan memudar dan tersirat sebuah penyesalan karena dia baru mengetahui hal itu.

"Tante Ratna? Kapan?" Sela Rio

Gabriel tersenyum tipis. "Setahun yang lalu."

Rio mengangguk kecil. "Sorry gue nggak tahu." Sesal Rio sungguh-sungguh.

"Kalau lo nyesel, lo mesti ke makam nyokap gue kalau ada waktu."

"Pasti." Angguk Rio yakin.

"Mama pasti seneng di samperin sama lo. Lo kan dari dulu selalu jadi anak kesayangan mama." Gabriel menggeleng kecil, dengan sudut bibirnya tertarik membentuk sebuah senyuman tipis.

"Tiap hari, kalau ngomelin gue, pasti di bandingin mulu sama lo. Rio yang pinter lah, nurutlah,   rapilah, rajinlah, tanggung jawablah." Gabriel tersenyum tipis, ekor matanya memperhatikan Rio yang masih bertahan dengan posisinya tanpa suara.

"Mama sering nanyain lo kenapa nggak pernah main lagi ke rumah. Gue jawab aja lo lagi sibuk. Bahkan, waktu sakit-sakitan, mama masih nanyain lo sama Alvin. Nyuruh gue hubungi kalian tapi gimana, kita udah lama banget nggak kontekan. Makanya, gue seneng banget waktu ketemu lo di apartemen dan nggak nyangka banget respon lo bakal gitu." Gabriel mengakhiri ceritanya. Meski Rio tak menanggapi dengan kalimat, tapi Gabriel tahu Rio pasti mendengarnya dengan baik.

"Yo." Gabriel menatap Rio serius.

"Hem." Rio menyesap kopinya tenang.

"Lo tahu kenapa gue cerita ini?"

Rio tak merespon. Meletakkan lagi cangkir kopinya di atas meja. "Jangan kecewain mama gue yang sampe akhir hayatnya masih anggep lo seperti anaknya sendiri, anak yang selalu mama banggain melebihi gue anaknya sendiri."

Rio semakin merapatkan bibirnya. Matanya terpejam. Rio sudah mengerti arah pembicaraan Gabriel. Karena itulah dia memilih diam. Meresapi penyesalan yang menyerap setiap tarikan nafasnya.

"Gue tahu, lo sama sekali udah nggak ada perasaan apapun ke Shilla. Gue tahu gimana rasa penyesalan lo ke Ify. Tapi Yo, di sini, Shilla juga turut menjadi korban dari keegoisan lo. Dia cuma orang luar yang nggak tahu apapun  tentang masalah kalian. Dia cuma cewek biasa yang berusaha berjuang mempertahankan perasannya. Dia cuma cewek biasa yang  berusaha berjuang mempertahankan hak nya."

Gabriel meneguk ludah. Memperlihatkan jakunnya yang bergerak naik turun. Tatapannya masih terpusat pada Rio yang tetap memasang wajah datarnya. Terlihat tak tersentuh, namun samar, Gabriel bisa melihat suatu ketakutan di sana.

Sampai KapanpunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang