Warning 18+
"Harus berapa persen aku percaya sama kamu lagi?" Tanya Ify yang tampak sedang menahan tangis.
"Satu." Jawab Rio tersenyum lembut. "Sisanya kamu percayakan sama Allah yang mungkin udah jodohin kita berdua." Lanjut Rio mengubah kekesalan wajah Ify menjadi semburat merah menghiasi kedua pipinya.
Rio masih diam menunggu reaksi dan juga jawaban Ify mengenai semua penjelasan yang keluar dari mulutnya tadi. Wanita itu menunduk seraya memainkan ke sepuluh jarinya yang tampak gelisah. Menandakan bahwa Ify sedang berfikir keras saat ini. Hal yang cukup membuat Rio was-was bersamaan dengan debaran kencang jantungnya, seakan tak sabar menunggu.
"Fy-" Ujar Rio menangkup kedua tangan Ify yang masih bergerak gelisah. Posisinya yang masih berlutut, membuat Rio lebih mudah melihat wajah Ify yang saat ini menunduk.
"Kamu nggak perlu jawab sekarang," lanjutnya yang langsung mendapat sebuah respon dari Ify.
Rio gamang melihat istrinya menggelengkan kepala. Sesuatu mengusik hati Rio yang entah kenapa membuatnya ingin menghentikan waktu. Terlebih dengan Ify yang langsung menarik tangannya menjauh, membuat Rio benar-benar tak bisa bergerak sekarang.
"Tu-tunggu-" Kata Rio mengangkat tangan kanannya. Menghentikan Ify yang hendak bersuara.
"Nggak harus sekarang. Kamu istirahat dulu. Kamu masih ada banyak waktu buat mikirin permintaan aku." Rio sengaja menyela karena dia belum siap mendengar jawaban Ify. Dia hanya ingin menikmati kebersamaan dengan wanita ini. Wanita yang sudah sangat ia rindukan. Wanita yang tentu saja masih dan akan ia pertahankan untuk menjadi istrinya. Biarlah untuk malam ini saja, Rio merasakan kehadiran Ify tanpa adanya kegelisahan.
"Pengacara aku udah ngurus sidang perceraian kita."
Kalimat pelan Ify, menghentikan Rio yang hendak mengangkat tubuh istrinya. Kaki Rio terasa lemas seolah baru saja tertembak. Hingga kini, membuatnya kembali berlutut di hadapan Ify yang menatapnya dengan sebuah senyuman.
"Aku tetap mau kita cerai. Dan aku harap, kamu tepatin janji kamu sendiri buat lepasin aku."
Ify tetap dengan wajah lembut dan tenangnya, sementara wajah Rio tampak mengeras dengan pandangan tajam dan datarnya.
"Aku nggak mau egois, Yo. Gimanapun juga, ada calon anak kamu dalam kandungannya. Aku nggak bisa nutup hati aku buat anggep sepele masalah ini."
Rio masih enggan berkata. Hanya menatap Ify datar dengan segala emosi dan ketakutan yang di tahannya.
"Terutama, saat anak itu lahir nanti. Dia butuh sosok orang tua lengkap yang sayang sama dia. Gimana perasaan dia kalau suatu saat nanti tahu bahwa orang tuanya nggak pernah hidup bersama? Semakin dewasa, pemikiran nggak pernah di harepin itu pasti ada." Ify tersenyum sendu. Teringat pada beberapa anak panti yang dulu sering bermain bersamanya.
"Aku tahu gimana rasanya hidup tanpa kasih sayang orang tua. Aku tahu gimana tersiksanya anak panti yang ngerasa nggak di harepin sama orang tua mereka. Ngerasa gimana impian mereka yang setiap hari berharap bisa di adopsi. Ngerasa bingung sama statusnya sendiri, untuk apa mereka di lahirkan?"
Tangan Ify bergerak mengusap puncak kepala Rio. "Perasaan seperti itu, aku yakin kamu pernah rasain juga."
Turun beralih mengusap rahang Rio yang reflek membuat laki-laki itu memejamkan mata. Menahan tangan Ify agar diam di sana. "Dan kamu, nggak mau, kan? Kalau sampai anak kamu nanti ngerasain apa yang pernah kamu rasain?" Kedua mata Ify mulai memerah dan terasa perih.
"Maaf." Lirih Ify yang langsung membuat Rio membuka matanya. Hingga kini, dia bisa melihat melihat mata jernih Ify mulai berkaca.
"Hati aku nggak sesempurna itu buat bisa ngerawat anak hasil hubungan kamu sama dia."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sampai Kapanpun
Romance"Sampai kapan?" gumam Ify mendesis. Membungkam wajahnya dengan kedua tangan yang kini mulai basah karena air mata. Ify terduduk di tengah anak tangga karena kakinya tak sanggup lagi berjalan. Di sisi lain. "Sampai kapanpun itu, gue nggak akan pern...