Rio duduk termenung di kursi taman rumah sakit. Ify sedang tidur setelah perdebatan tadi dengannya. Sampai detik ini, Rio masih belum rela jika harus menceraikan Ify. Dan tidak bisa begitu saja meninggalkan Shilla yang sedang mengandung anaknya. Meski Rio ingin, tapi Ify pasti akan semakin membencinya. Lalu, satu hal yang dapat Rio simpulkan, apapun keputusannya, dia harus melepaskan Ify dari hidupnya.
Jika seperti ini keadaannya, Rio merasa ingin kembali ke masa awal takdir mempertemukan mereka kembali. Pertemuan yang seharusnya membuat Rio sadar bahwa Ify tidak akan bisa menghilang dari hatinya. Bukannya seperti pengecut yang hanya bisa melampiaskan rasa kecewa dengan kemarahan. Terlebih lagi, mengingat perlakuan kasarnya yang menyakiti Ify lahir batin hanya karena ingin menunjukkan bahwa cinta untuk gadis itu sudah hilang sejak lama. Melampiaskan kekecewaan yang lama terpendam dengan bersembunyi di balik cinta yang berusaha ia ciptakan.
"Huft." Rio meniup pelan udara dari mulutnya. Menghalau air yang ingin mencair di kedua mata panasnya.
"Nangis aja kalau mau nangis. Mama temenin." Rio langsung membaringkan kepalanya pada pangkuan Amara yang baru saja duduk di sampingnya.
"Ify mungkin masih terpukul sama keadannya sekarang. Mama yakin, kalau perasaannya udah membaik, dia pasti lupa sama permintaannya."
Rio tak menyahut. Mama belum tahu saja keadaan yang sebenarnya. Karena jika tahu, mama pasti akan memecatnya sebagai anak.
"Mama belum cerita kemarin." Protes Rio teringat kemarin seusai makan, mama justru langsung pergi karena harus menemani papa ke sebuah acara. Sepulang acara mereka memang sempat mampir ke rumah sakit untuk memeriksa keadaan menantu mereka. Tapi, karena ada papa, mama tidak jadi bercerita. Terus esok harinya mama datang untuk menggantikan Rio menjaga Ify yang harus bekerja. Karena terlalu lama di tempat Shilla, membuat mama langsung pulang saat Rio tiba kembali di rumah sakit karena malam semakin larut.
"Ify pergi karena dia ngerasa nggak akan bisa nemenin kamu selamanya."
"Maksud mama?" Rio terlihat bingung dan tidak mengerti.
Amara menghela pelan. "Mama akan cerita. Tapi ini sebatas yang mama tahu aja."
"Iya." Sela Rio tak sabar.
"Waktu itu, mama lagi ada di butik. Lalu, tiba-tiba ada seorang gadis cantik dengan tubuhnya mungilnya mencari mama." Rio bisa membayangkan betapa lucunya Ify saat itu. Dia tersenyum, berusaha mengingat wajah mungil istrinya.
"Dia nyari mama dan ngenalin diri sebagai temen kamu."
"Kok temen, sih. Dia pacar aku, ma." Protes Rio. Yang membuat Amara langsung terkekeh.
"Mama mana tahu. Orang Ify bilangnya gitu. Mau di lanjut, nggak?"
"Lanjut."
Amara tersenyum sesaat sebelum melanjutkan ceritanya.
"Oh jadi kamu temennya Rio anak tante?"
"Iya tante. Kita pertama ketemu di panti asuhan tempat Rio ulang tahun dulu."
"Wah kamu anak panti?"
"Hehhe bukan sih, tante. Aku punya orang tua. Mama aku namanya, Siena dan papa aku namanya Alvyan."
"Astaga! Jadi kamu anaknya Siena?" Amara tampak terkejut namun juga senang luar biasa seolah baru saja mendapat undian berlian. Siena adalah sahabatnya yang selalu sibuk. Dan karena itulah, dulu Amara membuat acara pesta ulang tahun Rio di panti asuhan milik Siena.
"Dan waktu tahu dia anak temen mama. Kamu tahu nggak sih apa yang terlintas di pikiran mama?"
"Apa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Sampai Kapanpun
Romance"Sampai kapan?" gumam Ify mendesis. Membungkam wajahnya dengan kedua tangan yang kini mulai basah karena air mata. Ify terduduk di tengah anak tangga karena kakinya tak sanggup lagi berjalan. Di sisi lain. "Sampai kapanpun itu, gue nggak akan pern...