Rio memulai aktifitasnya lagi, kembali pada titik awal seperti saat dulu ia kehilangan Ify. Perbedaan itu tentu saja ada, karena Rio jauh lebih berat menjalani harinya. Bahkan tak ada lagi gairah dalam dirinya untuk sekedar menikmati udara. Rio belum bertemu dengan Shilla sejak hari itu. Dia selalu mencari cara untuk menghindar, karena Rio sedang menyiapkan diri untuk mengatakan semua kebenaran pada wanita itu.
Seperti setiap pagi, Rio akan menghubungi Shilla melalui email untuk meminta jadwalnya setiap hari. Sehingga membuat Rio tidak perlu bertatap muka saat bertemu di kantor. Lalu, Rio akan sibuk menghabiskan waktu di luar untuk sengaja mengadakan rapat ataupun meeting dengan para klien. Yang biasanya, Rio lebih sering menggunakan fasilitas kantor untuk pertemuan semacam itu. Lain halnya jika ada klien yang meminta sendiri untuk bertemu di luar.
Atau, jika Rio tidak ada pekerjaan yang harus di lakukan dan tidak ada juga jadwal pertemuan, Rio akan mengurung diri di kamar. Mengabaikan semua pesan dan panggilan Shilla yang memang sengaja ia hindari.
Seperti saat ini, Rio tengah berada di dapur ingin membuat sesuatu. Seperti pula yang Ify katakan. Rio memang lebih suka masakan rumah di banding jajan di luar. Ya, Ify tidak tahu saja jika dulu itu hanya akal-akalan Rio yang minta di masakan oleh Ify. Karena, sebelum ada Ify di hidupnya, Rio itu lebih sering jajan di luar. Segala macam junkfood setiap hari tak pernah lepas dari perut Rio. Hanya setelah bersama Ify, Rio merasa pola makannya menjadi lebih sehat. Ify selalu memaksanya makan sayur. Meski Rio sering bilang tidak suka dan sering juga menolak, tapi Ify lebih sering memaksanya. Mau tak mau, Rio jadi mau. Karena kalau Ify ngambek dia juga yang pusing.
Dan setelah kepergian Ify kala itu, Rio kembali pada hidupnya yang ia jalani selama belum bertemu dengan Ify. Rio lebih sering jajan di luar. Atau bahkan sering lupa makan. Ucapan mama sering Rio abaikan. Karena entah kenapa, Rio hanya bisa mendengarkan keinginan Ify. Semua terasa beda. Katakan Rio durhaka yang lebih merasa butuh seorang Ify di banding ibu kandungnya sendiri. Bukan seperti itu, Rio sudah terbiasa hidup tanpa perhatian sang mama. Tapi, Rio belum bisa terbiasa hidup tanpa campur tangan Ify. Dan Rio berusaha menghilangkan sosok Ify dari hidupnya. Lalu hadirlah mama yang seolah berperan menggantikan Ify. Hati Rio menolak, karena dia tidak ingin lagi merasa hidup dalam bayang-bayang gadis itu.
Dan bersama Shilla, Rio tidak lagi menemukan sosok Ify. Shilla jauh berbeda dengan Ify. Wanita itu tidak bisa memasak. Tidak bawel. Tidak pernah mengingatknnya untuk makan. Setiap kali bersama mereka lebih sering kontak fisik menyalurkan nafsu yang tak terpuji. Shilla cenderung cuek dengan semua yang Rio lakukan. Bersama Shilla, Rio seperti melihat dirinya sebelum bertemu Ify. Karena hal itulah mungkin Rio merasa cocok bersama wanita itu. Rio merasa bebas dan tak terkontrol. Walau jauh dalam hatinya, Rio selalu berharap ada seseorang yang bisa mengatur hidupnya menjadi lebih baik seperti apa yang selalu Ify lakukan. Tapi, ketika mengingat penghianatan Ify kala itu, hati Rio menggelap. Dan berusaha menekankan dirinya bahwa dia tidak butuh gadis baik semacam itu namun hatinya busuk.
Shilla memang tidak pernah absen setiap minggu meminta uang belanja pada Rio. Wanita itu gila belanja dan barang-barang bermerk lainnya. Mungkin karena hal itu yang membuat Amara geram dan tidak menyetujui hubungannya dengan Shilla. Dan, Rio juga tidak peduli karena selama dia masih mampu membiayai Shilla, tak ada yang masalah baginya. Tapi, semua itu dulu, sebelum Ify hadir yang lagi-lagi mampu menjungkir balikkan dunia Rio.
"Kata papa, kamu jarang ke kantor?" Amara entah sejak kapan berada di dalam rumah yang Rio sama sekali tidak menyadari hal itu. Niatnya masak telur dadar terurung karena kehadiran mama yang sepertinya membawa sesuatu.
"Nih mama masakin ayam goreng sama sambal kemangi kesukaan kamu."
"Jujur boleh nggak, ma?" Kata Rio duduk di salah satu kursi meja makan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sampai Kapanpun
Romance"Sampai kapan?" gumam Ify mendesis. Membungkam wajahnya dengan kedua tangan yang kini mulai basah karena air mata. Ify terduduk di tengah anak tangga karena kakinya tak sanggup lagi berjalan. Di sisi lain. "Sampai kapanpun itu, gue nggak akan pern...