9. Bukan Pilihan

2.6K 210 97
                                    

Hari ketiga setelah Rio mendengar tentang kehamilan Shilla. Selama itu, Rio lebih banyak diam dan menyibukkan diri dengan pekerjaan. Shilla mengambil cuti dan Rio menyetujuinya. Selama tiga hari itu, Rio kembali bersikap dingin pada Ify. Tapi juga tidak melarang atau menuntut Ify untuk melakukan apa yang dia mau.

Rio justru lebih menyerah pada Ify dan membiarkan istrinya itu melakukan apapun yang ingin di lakukannya. Sementara Rio, hanya mengikuti apa yang Ify ingin dia lakukan. Semisal setiap pagi, Rio akan memakai pakaian pilihan Ify. Membiarkan Ify memasang dasi untuknya. Lalu sarapan bersama di meja makan. Selama kegiatan itu berlangsung, Rio hampir tidak mengeluarkan suara sedikitpun. Dan saat pulang kantor, Rio akan makan di rumah menikmati masakan Ify. Setelah itu, Rio memilih menyibukkan diri di dalam kamar. Membiarkan Ify juga melakukan aktifitasnya yang memang suka sekali menggambar di taman belakang.

Shilla? Rio belum berani menemui wanita itu. Namun, Rio tidak pernah mengabaikan Shilla sepenuhnya. Sesekali Rio menelpon atau mengirimi Shilla pesan sekedar untuk menanyakan kabar wanita itu.

Rio menghentikan ke sepuluh jarinya yang bergerak di atas keyboard laptop. Lalu menajamkan pendengarannya di luar kamar. Setelah cukup yakin, Rio bergegas keluar dan benar dia mendapati Ify berjalan menuju pintu kamarnya.

"Kenapa tidur di sana?"

Ify yang tidak sadar jika Rio ada di belakangnya seketika berjingkat tanpa menolehkan kepalanya.

"Fy." Panggil Rio karena Ify tak kunjung menjawab pertanyaannya. Detik itu juga Ify langsung memutar tubuhnya menghadap Rio.

"Setelah aku pikir. Lebih baik kita tidurnya terpisah aja."

Rio memasang wajah datarnya setelah tadi tampak bingung menunggu reaksi Ify. Apa lagi ini? Kenapa wanita selalu saja memperumit keadaan. Jika ada wanita yang mengatakan laki-laki itu mudah sekali mempermainkan hati wanita. Maka Rio akan membelikan kaca yang besar untuk mereka.

"Kenapa? Bukannya dari awal kamu yang mau kita berperan jadi suami istri beneran?"

Ify mengangguk-angguk kecil. "Iya, sih. Tapi-" Ify menggigit bibir bawahnya.

"Tapi apa?" tanya Rio menuntut Ify agar segera meneruskan kalimatnya. Siapapun itu paling tidak suka kalau di gantung. Selain sakit, akan berujung pada kematian hati. Rio memang selalu tak bisa berpikir jernih jika berhadapan dengan Ify. Tak bisa menebak yang akhirnya membuatnya kadang stres sendiri. Dari dulu selalu begini.

"Tapi, aku takut nanti jadi kebiasaan. Setelah aku melahirkan, kita otomatis pisah. Aku nggak mau ketergantungan sama kamu."

"Emang kamu mau kita pisah?" tanya Rio spontan.

"Emang kamu nggak mau pisah?"

Rio berdecak. "Kalau orang nanya tuh di jawab bukannya balik nanya," sewotnya.

"Lha aku kan jawab pake pertanyaan. Sama aja, kan?"

Dan begitulah Ify. Selalu bisa menanggapi Rio dengan kalimat tak masuk akalnya.

"Serah lo."

Ify mendengus. "Ya udah. Aku mau tidur. Ngantuk."

"Bukannya kemarin-kemarin kamu cuma bisa tidur sama aku?" Seru Rio mencegah Ify masuk ke dalam kamar. Kesel dia melihat Ify jadi menjauh begini. Padahal beberapa hari ini, Ify sendiri yang maunya nempel-nempel mulu. Meski Rio cuekin juga Ify terlihat bodo amat. Ah, apa mungkin Ify kesal karena Rio bersikap tidak peduli ya beberapa hari ini? Ya bodo amat, kan? Mau kesal atau tidak, sama sekali tak ada urusannya dengan Rio. Tapi Rio sudah terlanjur tak bisa menggunakan topeng tidak pedulinya. Tapi kalau Rio berusaha menunjukkan rasa pedulinya pada Ify? Gimana kalau Ify justru tidak mengacuhkannya?

Sampai KapanpunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang