Setelah periksa ke rumah sakit, ternyata benar jika Ify memang sedang hamil. Dan usia kehamilannya itu sudah menginjak pada angka empat minggu. Untuk awal pemeriksaan, Ify hanya di anjurkan untuk lebih banyak istirahat dan tidak melakukan pekerjaan yang berat. Terutama, Ify juga tidak boleh banyak pikiran yang pasti akan mempengaruhi perkembangan janinnya. Karena kebanyakan pada awal kehamilan anak pertama itu terkadang rentan. Jadi, untuk menghindari hal yang tidak di inginkan, dokter menyarankan pada Ify tidak mudah stres dan lelah.
Kiranya, hanya ungkapan umum seperti itu yang Ify dengar tadi. Selain itu, Ify juga di beri vitamin agar kandungannya selalu sehat. Ify cukup lega dan senang mendengar semua saran dokter. Ify belum mengalami mual berlebih dan nafsu makannya juga cukup baik. Sehingga tak ada yang perlu Ify khawatirkan mengenai kehamilannya. Oh, mungkin satu hal tentang Ify yang tidak akan selama bisa menyembunyikan kehamilannya ini dari Rio.
"Udah sampe, non." Ify segera kembali ke dunia nyata. Kemudian melihat argo dalam taksi yang ia tumpangi. Setelahnya, Ify memberikan uang sesuai dengan nominal yang tertera.
"Wah non, saya baru aja jalan. Belum ada kembalian." Kata sang sopir menatap lembaran uang yang di berikan Ify.
"Ya udah. Buat makan siang bapak aja kalau gitu."
"Aduh. Alhamdulillah. Makasih, non. Semoga non di berkahi hidupnya, sehat, umur panjang dan selalu dalam lindungan Allah."
"Amin. Terima kasih, pak. Itu mungkin udah rejeki bapak. Terima kasihnya bukan sama saya. Lagipula, itu nggak seberapa. Tapi sekali lagi terima kasih doanya, saya seneng dengernya." Kata Ify merasa tak enak mendengar pujian dan doa dari bapak ini. Padahal, Ify tidak melakukan hal yang cukup besar untuk mendapat perlakuan seperti ini.
"Iya non itu pasti. Bagi saya, berapapun itu, rejeki tetap harus di syukuri non."
Ify tersenyum lembut. Hatinya menghangat. "Ya udah, pak. Kalau gitu saya permisi." Ify mengangguk sopan seraya membuka pintu taksi.
"Oh iya, non. Mari-mari." Tanggap pak sopir masih mengamati langkah Ify yang berjalan menuju area pemakaman.
Ify memang tak ada niatan untuk mampir ke tempat ini. Dan tak ada kesiapan juga dengan pakaiannya. Tapi, tadi Ify sempat membeli satu bucket bunga baby breath. Bunga favorit seseorang yang sangat berharga untuknya.
"Hai," sapanya setelah meletakkan bunga yang ia pegang di depan sebuah nisan bertuliskan nama orang yang tak akan pernah bisa Ify lupakan.
"Kamu apa kabar? Pasti lagi bahagia ya di sana?" Ify mengusap lembut batu nisan itu. Dalam benaknya saat ini, tergambar jelas kenangan sudah Ify lalui bersama orang ini. Kenangan indah yang tak akan pernah bisa Ify lupa. Tidak akan pernah! Bagaimana mungkin Ify melupakan seseorang yang sudah berkorban demi dirinya. Akan menjadi sangat tidak tahu diri jika Ify melakukan hal itu.
"Aku seneng dengernya." Ify menunduk saat di rasa air matanya mengalir yang bahkan tanpa ia sadari. Rasa sedih menyelimutinya tiap kali mengingat kejadian masa lalu. Rasa yang membuat Ify ingin kembali pada masa itu untuk tidak membiarkan hal ini terjadi. "Aku baik-baik aja, kok." Ify berusaha menghapus air matanya. Mencoba menampilkan senyum manisnya.
"Sivia-" Panggil Ify mulai ingin menangis lagi. Karena sampai detik ini, hatinya masih lemah menyebut nama sahabat terbaiknya itu. "Aku kangen deh sama kamu. Pengen cerita banyak hal sama kamu. Pengen di peluk sama kamu juga." Air mata Ify kembali mengalir meski dia tidak menginginkan hal itu.
"Aku cengeng banget, ya, sekarang?" Ify terkekeh seraya menghapus air matanya. "Aku yakin kalau kamu di sini, kamu pasti bakal bilang. 'Berhenti nangis, Fy. Atau gue bakal patahin leher orang yang bikin lo sedih'." Ify berusaha menirukan gaya bicara sahabatnya yang berujung dengan isakan. Isakan yang tak lagi bisa Ify tahan. Hingga membuatnya kini pasrah menangis di hadapan makam sahabatnya. Ify tahu, tingkahnya ini tidak sopan. Tapi, Ify benar-benar tidak mengerti lagi harus mengutarakan kesakitannya pada siapa sekarang. Karena semenjak kematian Sivia, Ify merasa tidak ada lagi seseorang yang benar-benar peduli padanya. Bahkan kedua orang tuanya sekalipun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sampai Kapanpun
Romance"Sampai kapan?" gumam Ify mendesis. Membungkam wajahnya dengan kedua tangan yang kini mulai basah karena air mata. Ify terduduk di tengah anak tangga karena kakinya tak sanggup lagi berjalan. Di sisi lain. "Sampai kapanpun itu, gue nggak akan pern...