3. Kekuatan Baru

2.5K 207 47
                                    

18+

Rio menarik paksa tangan Ify yang hendak membuka pintu kamar. Membuat tubuh Ify tersentak menghadapnya. Tatapan Rio masih tajam seperti biasa. Dan entah, ini perasaan Ify saja atau apa yang jelas saat ini tatapan Rio seakan menelisik dengan teliti menyusuri setiap jengkal  wajahnya.

"Bilang sama gue. Apa maksud omongan mama tadi?"

"Omongan yang mana?" Tanya Ify bingung.

"Nggak usah pura-pura bego. Gue yakin lo tahu apa yang gue maksud." Geram Rio menguatkan cengkramannya di lengan Ify.

"Lepas, Yo. Sakit." Rintih Ify berusaha melepas jemari Rio yang melekat kuat di kulit luarnya. Sungguh, lengan Ify terasa kebas namun juga sangat perih.  Ia yakin, jika jari Rio terlepas akan meninggalkan jejak di sana.

"Yo-" Lagi. Rio melakukan tindakan kasarnya. Menarik Ify agar wajah mereka berada dalam jarak lebih dekat. Rio tetap dengan hunusan tajamnya, sementara Ify dengan pandangan pasrah. Menerima apapun yang ingin Rio lakukan padanya. Karena Ify sadar, tak ada lagi celah baginya untuk bisa melawan.

"Nggak usah sok lemah di sini." Desis Rio tajam. Tepat di depan wajah Ify. Rio bahkan melihat dengan jelas air mata Ify yang mengalir. Gadis itu benar-benar kesakitan akibat cengkraman Rio. "Cewek munafik kayak lo, nggak akan bisa nipu gue." Lalu dengan sekali hentakan, Rio melepas sekaligus mendorong Ify yang hampir jatuh jika tidak segera menyeimbangkan diri.

"Sekarang bilang sama gue. Apa maksud omongan mama tadi?"

Ify menggeleng dalam tundukannya. Mengusap pelan lengan kanannya yang semakin berdenyut nyeri.

"Jawab pake mulut gue nggak nerima bahasa isarat."

"En-nggak apa-apa."

"YANG KERAS!" Bentak Rio memukul kencang pintu Ify dengan kepalan tangannya.

Entah sudah berapa kali Ify harus menahan jantungnya agar tetap sehat jika terus-terusan menghadapi sikap Rio yang seperti.

"Bu-bukan apa-apa. Dan kamu nggak perlu tahu."

"Sialan lo emang, ya?" Geram Rio menghujam Ify bengis.

"Apa susahnya bilang yang sebenarnya sama gue? Heh?" seru Rio. Tak bisa lagi menahan emosinya. Oh lebih tepatnya dia memang tak pernah menahan emosi saat berhadapan dengan Ify. Terlebih jika mengingat pertanyaan Amara tadi di sela mereka menyantap makan malam. Dan yang lebih membuat Rio emosi adalah tanggapan Ify yang hanya tersenyum seolah menutupi sesuatu.

"Karena emang kamu nggak perlu tahu."

"Oh gitu. Jadi lo mau ngerencanain sesuatu sama mama di belakang gue? Lo mau ngadu sama mama tentang sikap gue selama ini? Iya? JAWAB GUE DAN JANGAN NUNDUK, BITCH!"

Ify menggeleng pelan seraya mengusap pipinya yang tiba-tiba terasa basah. "Nggak. Apa yang kamu pikirin itu sama sekali nggak bener." Tanggap Ify tenang. Sikap yang justru semakin membuat Rio ingin meluapkan amarahnya.

"Emangnya lo tahu apa yang gue pikirin?"

"Apapun itu. Aku minta maaf."

"Fuck!" Ify memejamkan matanya. Menerima umpatan Rio yang terdengar keras hingga menembus ke dalam tubuh dan merobohkan hati Ify yang memang sudah lama hancur.

Kemudian Rio kembali mencengkeram lengan Ify. Dengan kasar, Rio membuka pintu kamar Ify dan menutupnya hingga menimbulkan bunyi yang cukup kencang.

"Yo, please! Jangan sekarang. Aku-ah!"  Rio menulikan telinga dari permohonan Ify dan langsung mendorong wanita itu hingga terjatuh di atas tempat tidur. Ify seketika bangkit, ingin melarikan diri. Sungguh, Ify takut. Dia belum siap jika harus menerima kesakitan ini. Fisik dan hatinya yang masih terluka saja, Ify belum tahu bagaimana cara menyembuhkannya. Dan Ify merasa tidak akan sanggup lagi menahan pemaksaan Rio yang benar-benar tanpa perasaan.

Sampai KapanpunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang