30. Waktu Berharga

1.4K 144 26
                                    

Shilla merasakan sebuah usapan di puncak kepalanya. Tapi, dia enggan bereaksi dan masih memusatkan pandangannya yang entah kemana. Saat ini, dia tengah berdiri di balkon apartemennya.  Menikmati pemandangan dari tempatnya yang cukup panas di siang hari seperti ini. Angin menyapu wajahnya yang tampak sendu.

"Salah nggak sih, Iel. Gue sedikit berharap Rio beneran jadi cerai sama Ify?" Shilla bermonolog. Meski terdengar dia sedang bertanya, tapi Shilla tahu Gabriel tidak akan memberinya jawaban. Karena dia sendiri juga tak menginginkan jawaban.

"Terkesan egois nggak sih gue?"

Gabriel mendengar. Tapi enggan memberikan tanggapan. Karena semua yang Shilla ucapkan menyakiti perasaannya.

"Gue tahu, Rio emang nggak pernah cinta sama gue. Tapi-" Shilla menunduk. Mengusap perutnya yang mulai sedikit membesar.

"Dia nggak tahu apa-apa. Dia berhak buat dapet kasih sayang dari Rio, Iel. Papa kandungnya."

Shilla menoleh, meminta Gabriel sedikit merespon ucapannya. Tapi Gabriel masih terlihat enggan bersuara. Hanya menatap Shilla dengan mata teduhnya.

"Gue ikhlas, gue rela meski Rio anggep gue nggak ada." Shilla menggigit bibir bawahnya. Belum saatnya dia menangis. Karena masih ada yang ini Shilla ungkapkan. Dia menggeleng pelan, menahan diri agar tidak terisak.

"Nggak apa-apa kalau Rio nggak cinta sama gue, Iel. Nggak apa-apa kalau Rio muak sama gue.  Asal dia bisa nerima anaknya. Asal dia nggak benci sama calon bayi di kandungan gue. ."

Gabriel menahan nafasnya yang terasa sesak. Air mata Shilla yang mengalir segera di usapnya. Lalu dengan lembut, Gabriel memeluk Shilla erat. Dan membiarkan perempuan ini menangis terisak dalam dekapannya.

"Gue harus gimana Iel? Ini kesalahan kita berdua tapi kenapa harus gue sendiri yang nanggung?"

Apa yang harus Gabriel lakukan? Apa?

Gabriel rela menggantikan posisi Rio karena dia benar-benar mencintai perempuan ini. Tapi, jika kebahagiaan Shilla bukan bersamanya, apa yang harus Gabriel lakukan sekarang? Memaksa Rio bertanggung jawab? Gabriel yakin itu bukanlah hal mudah. Jikapun iya Rio bersedia, apakah sahabatnya itu bisa memperlakukan Shilla dengan baik? Apakah Rio bisa sepenuhnya melupakan Ify dan memulai hidup barunya bersama Shilla? Bisakah Rio melakukan itu? Lalu, bagaimana dengan keadaan hatinya sendiri di kemudian hari?

Gabriel mengeratkan pelukannya. Mencium puncak kepala Shilla. Kedua matanya memerah, terasa panas seolah mengiringi suara tangis Shilla yang menyayat hatinya.

❤❤❤❤❤❤

Rio tersenyum bahagia. Ya, bahagia itu terlihat jelas di kedua matanya. Sekarang dia sedang terbaring di tempat tidurnya. Tentu setelah Ify menyuruhnya untuk membersihkan diri terlebih dahulu. Ify bahkan menyiapkan pakaian ganti untuknya. Dan sekarang, Rio merasa badannya lebih segar meski pusing di kepalanya belum juga mereda. Selama dia mandi, Ify ternyata juga memasak bubur untuknya. Sehingga kini, Rio kembali mendapatkan perhatian Ify. Istrinya itu kini menyuapi Rio dengan telaten dan bahkan membantu Rio meminum obat. Sumpah, Rio rela sakit berhari-hari jika Ify bisa tetap menemaninya seperti ini.

"Mau kemana?" Rio menarik pergelangan tangan Ify. Melihat  istrinya bersiap bangkit untuk pergi, Rio bergerak reflek. Tidak mau jika Ify pergi dari hadapannya. Tidak mau di tinggal karena Rio masih enggan untuk berpisah.

"Ke dapur, Yo. Aku mau cuci piring dulu. Abis itu ambil air sama handuk buat kompres kamu."

"Bener, ya? Kamu nggak akan tiba-tiba pergi, kan?" Tanyanya memastikan. Rio memang terlihat ketakutan. Dan dia hanya memastikan jika Ify tidak mencari alasan untuk pergi.

Sampai KapanpunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang