'Semesta, mengapa begini?'

15 5 0
                                    

Mendegar kabar bahwa pesawat Aldo kecelakaan. Aku langsung mencari tahu dimana jatuhnya pesawat yang Aldo naiki. Aku pergi bersama Rena ke bandara dan berlari menuju meja informasi untuk memastikan kebenaran yang terjadi.

"Pak, apa benar ada kecelakaan pesawat hari ini?" ucapku dengan nafas yang tersenggal.
"Iya mbak, pesawat yang baru saja take off mengalami kerusakan mesin."

Tangisku pecah mendengar itu, "gimana bisa sih pak!? Kenapa sebelum take off nggak diperiksa semuanya!" ucapku penuh amarah.
"Tenang mbak, kami sudah periksa semuanya dan aman, kami juga masih berusaha mengumpulkan korban kecelakaan. Jika ada perkembangan, kami akan langsung memberitahu keluarga korban. Sekali lagi, kami minta maaf atas kesalahan yang sudah terjadi."
"Memangnya maaf dari kalian bisa kembaliin keluarga saya? Enggak, kan!"

"Udah udah, Sar. Sabar kamu. Kita kan belum tau pasti keadaan Aldo." ucap Rena sambil mengelus pundakku."
Aku hanya menangis, "Aall.."
"Hmm pak, terima kasih atas informasinya, kalau ada perkembangan langsung beritahu kami ya." ucap Rena, lalu kami meninggalkan bandara.

"Aldo, Ren.." ucapku dengan tangis.
"Sabar, Sar, kita banyak berdoa aja ya buat dia. Aku juga ngerasain kehilangan dia."
"Aku mau ke pantai, antar aku Ren."
"Iya-iya, yuk kita ke pantai."

"Rasa-rasanya baru kemarin aku bahagia, bisa ketawa lagi bareng Aldo dan nggak berduka lagi karena Jev."
"Sekarang? Aku harus nangis lagi karena ini."
"Mau semesta itu apa?"
"Nggak bisa ngeliat aku bahagia tanpa duka, apa?"

Aku terus berbicara sendiri di dalam mobil, dan Rena hanya diam. Dia paham, dengan keadaanku sekarang.

"Kamu di mobil aja, aku ke pantai bentar doang, tunggu disini." perintahku setelah sampai di pantai.
"Iya, kamu hati-hati, Sar."

Aku berlari menuju bibir pantai dan berteriak, "kenapa kamu ambil Aldo!"
"Disaat aku benar-benar udah mendapat bahagia baruku, disitu juga kamu ambil semuanya!"
"Orang yang aku sayang, bahagiaku. Bahkan sekarang, kamu cuma mengembalikan dukaku!"
"Kenapa semesta? Jawab aku!"

Apa yang semesta mau? Kenapa Tuhan? Apa yang salah? Semenjak bertemu Jev, hidupku penuh warna gelap, hanya setitik warna terang yang menggambarkan bahagiaku. Kalau begini, aku tidak ingin kenal dengan Jev. Karena hidupku yang dahulu terasa baik-baik saja sebelum bertemu dengannya. Saat aku tidak merasakan pahitnya jatuh cinta dan hanya menjadi kutu buku saja. Lebih baik, dahulu, aku tidak membuka hati untuk Jev. Seharusnya memang seperti itu, tidak perlu keluar dari zona nyamanku, tidak perlu menjelajah dunia terlalu jauh.

Bahkan Jev yang berkata ingin membantuku untuk lebih mengenal dunia, malah pergi sebelum memulai. Pergi sebelum menemani. Sekarang, aku harus apa? Merelakan manusia yang ku sayangi lagi? Ini sudah yang ke dua kalinya aku seperti ini. Hanya saja berbeda pada masalahnya. Begitu rumit untuk bahagia.

Aku menangis, terduduk di pinggir pantai yang sudah menyelimuti sebagian tubuhku dan membatin, "kenapa harus aku yang tertimpa masalah seperti ini?"
"Kesalahan apa yang sudah ku lakukan dulu sebelum bertemu Jev?"
"Aku butuh jawaban."
"Aku butuh penjelasan."
"Siapa yang bisa?"

"Eh gila lo ya, ombak gede tuh!" jerit seorang lelaki dari belakang.
Aku tidak menoleh dan tetap diam disana.
Tiba-tiba, ada tangan yang menarik tubuhku untuk berdiri dan menghindar. Spontan aku melihat siapa orang yang menarikku. Dan ternyata dia Jafra. Masih ingat? Ya, lelaki songong yang menghampiriku di taman dulu. Lalu aku menatap lurus kembali.
"Lo!?" ucap Jafra kaget.
"Aneh banget sih, dulu gue ketemu lo di taman lagi nangis,"
"Sekarang gue ketemu lo mau bunuh diri di pantai."
"Lo gila ya?" tanyanya.
Perlahan aku menoleh dan menatapnya dengan mata yang sembab, tapi tidak mengeluarkan sepatah kata-pun. Kemudian, Jafra mengajakku duduk, menjauh dari pinggir pantai, "Lo mau cerita lagi ke gue?" ucapnya dengan nada merendah.

J E V (TAMAT) (TAHAP REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang