Ini bulan ketiga, sudah selama ini aku merawatnya, melihat sakit yang di tutupi senyuman khas miliknya. Aku bangga, karena dia bisa sehebat ini, dan yang terpenting, dia masih milikku.
"Hai!" sapaku setelah membuka pintu kamarnya.
Dia tersenyum, dan ku letakkan buket bunga matahari yang sudah hampir tiga bulan ini memenuhi kamarnya.
"Kenapa kamu suka bawain aku buket ini?" tanya Jev.
"Sayang, aku selalu yakin kalau kamu itu kuat kayak bunga Matahari ini. Jadi, aku selalu bawa dia untuk temani kamu.."
Jev tersenyum, "Makasih ya,""Jev, aku yakin semesta dan pantai selalu dengar ceritaku tentangmu tanpa bosan. Aku selalu cerita bagaimana bahagia-nya empat hari kita dulu. Sampai sedihku kehilanganmu, mungkin semesta memahaminya. Aku benar-benar bersyukur bisa ada di sisi kamu lagi, Jev." ucapku sambil menyandarkan kepalaku di pundak Jev.
"Besok, kita ke pantai, ya. Dia harus tau kalau aku udah ketemu sama kamu!"
Jev tersenyum dan mengelus kepalaku.Keadaan seperti ini yang ku rindukan. Bahagia sekali. Ini yang aku inginkan, duduk di samping Jev dan saling diam menikmati rasa yang kami punya.
Hari ini, seharian, aku dirumah Jev. Tidak tahu kenapa, seperti ingin terus bersamanya. "Oh iya, kamu nggak masuk?"
Aku menggelengkan kepala,"enggak, mau disini aja sama kamu."
...
"Sar?" ucapnya sambil menatapku.
"ya?"
"Maaf, aku lebih banyak buat kamu sedih ketimbang bahagia selama kamu kenal aku,"
Aku membalas tatapannyabdan berkata, "Kamu tau nggak? Semua rasa sakit aku berubah jadi bahagia setelah ketemu kamu lagi, Jev."
"Jadi, jangan berfikir kamu pernah buat aku sedih ya, aku bahagia karena kamu, dan nggak ada alasan buat sedih."Sejujurnya, rasa sakit kehilangan Jev selama hampir 2 tahun, sudah hilang dan digantikan dengan rasa sakit yang baru. Keadaannya sekarang, membuatku patah kembali. Kenapa? Kenapa aku selalu merasakan sakit yang mungkin manusia lain tidak pernah merasakannya. Mulai dari kehilangannya Jev, lalu kepergian Aldo, dan sekarang Jev lagi, dengan keadaan yang bahkan lebih menyulitkan dari sebelumnya. Pergi atau menyerah bukan dua pilihan yang harus di pilih. Menetap mungkin lebih baik sembari menunggu keadaan membaik.
"Sar, di panggil Mama." ucap Arga setelah membuka pintu kamar Jev.
Aku menoleh, "sebentar ya," ucapku kepada Jev.Aku menghampiri Mama Jev di meja makan. Ku lihat Mama sedang duduk dan diam. Seperti ada hal penting yang ingin Mama bicarakan. Ada Arga juga disana.
Aku duduk di samping Mama, "Sar.." ucap Mama sambil memagang tanganku.
"Mama kenapa?"
"Kamu udah tau soal perkembangan Jev?"
"Belum, Ma."
"Keadaan Jev semakin memburuk, Sar. Dokter bilang kalau waktu Jev nggak banyak lagi." ucap Mama dengan air mata yang mulai membasahi pipinya.
Aku terdiam sejenak, "aku tidak boleh berfikir macam-macam, aku yakin Jev bisa sembuh." batinku.
"Ma, Dokter itu bukan Tuhan, mungkin dia bisa bilang begitu, tapi Tuhan belum tentu membenarkan omongannya. Kita harus terus berdo'a untuk kesembuhan Jev. Sara yakin Jev bisa sembuh. Jev bakal selalu ada buat kita, Ma."
"Bantu Sara, untuk yakin kalau Jev bisa sembuh."
...
"Mama lihat kamu benar-benar sayang dengan Jev. Setiap hari kamu datang buat ngurusin Jev. Mama kagum sama kamu Sar. Pasti kewdaan Jev sekarang buat kamu hancur sekali."
"Ma, Sara bisa kenal dunia ini karena Jev. Jev satu-satunya orang yang bisa buat Sara bahagia. Jadi, apapun bakal Sara lakuin untuk kebaikan Jev. Sara sayabg dia, Ma. Sara juga sayang Mama."
"Mama juga sayang kamu. Terus temani Jev ya sayang."
Aku mengangguk, kemudian Mama berdiri dari duduknya dan memelukku.Ya, memang hanya Jev satu-satunya alasan aku kuat hingga detik ini. Perjalanan rumit dan panjang yang ku lalui kemarin, juga membuatku yakin, bahwa ini bukanlah masalah besar. Aku sudah menempelkan banyak notes di papan kayu impian milikku yang berisikan harapan untuk kesembuhan Jev. Dan aku percaya bahwa itu bisa diwujudkan Tuhan. Hanya menunggu waktu yang tepat. Semua do'a baik, akan terwujud baik pula. Kejutan apapun yang Tuhan berikan di kemudian hari. Itulah yang terbaik walaupun berbeda dengan apa yang kita harapkan.
Aku tidak bisa lagi menjadi lemah untuk masalah yang sedang ku hadapi. Semakin aku lemah, maka semakin kecewa pula hati ini. Aku harus kuat untuk diriku, hati, dan raga yang selama ini aku kecewakan. Sudah cukup. Aku juga mengerti mereka lelah dan bosan melihat aku yang lemah.
Aku melihat ke arah jam dinding, sudah pukul delapan malam. Aku harus pulang agar tidak kemalaman sampai di rumah. Walaupun sebenarnya ingin tetap disini bersama Jev, menemaninya.
Setelah berbincang membahas tentang perkembangan Jev. Aku pamit ke Mama juga Arga dan Jev.
"Ma, Sara balik dulu ya, besok Sara datang lagi."
"Iya sayang, makasih ya.. kamu hati-hati di jalan."
"Mau gue anter?" usul Arga.
"Nggak, aku balik sendiri aja, lagian kan aku bawa mobil."
"Oke deh, hati-hati Sar."
Aku tersenyum dan berlalu menuju kamar Jev.
"Jev, Sara balik dulu ya."
"Jangan, disini aja." ucap Jev yang sedang tiduran.
"Nggak bisa dong, besok kan ketemu lagi."
...
"Sara janji besok bakal datang lagi." ucapku sambil mengecup kening Jev.Aku menyalakan mobilku dengan perasaan khawatir juga kalut. Aku menangis sejadinya. Tidak apa-apa kan? Di dalam mobil tidak ada yang bisa dengar kecuali si Jesa. Boneka kelinci kecil pemberian Jev barusan. Dia juga yang memberi nama Jesa, katanya Jesa itu singkatan untuk Jev dan Sara. Ada-ada saja anak itu.
Aku mencoba menenangkan diriku dengan tidak berusaha menangisi keadaan sekarang. Tapi sulit, aku benar-benar tidak sanggup jika harus kehilangan Jev lagi. Tidak ada yang bisa menggantikan Jev, tidak lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
J E V (TAMAT) (TAHAP REVISI)
Teen FictionImpianmu mungkin boleh hancur karena seseorang. Tapi hidupmu harus tetap berjalan ada atau tidaknya peran pendukung lagi. Berdiri sendiri tanpa meminta bantuan orang lain adalah pilihan yang paling baik. Boleh juga bergantung pada mereka. Tapi sejat...