Aku belum memberitahu Rena kalau sudah bertemu dengan Jev. Karena semenjak Rena pindah ke Bandung, kami jarang bertemu sampai lupa untuk saling memberi kabar.
Tringg..tringgg...
Handphoneku berbunyi, ternyata Rena. Baru juga di ceritain,"Whoyy apa kabar!?" ucapnya penuh dengan semangat.
"Baik dong! Kamu gimana? Baru juga mau aku telepon."
"Aku baik kok, ohiya Sar ada yang mau aku ceritain nih."
"Apa tuh, apa tuh.." jawabku dengan antusias.
"Aku lagi deket sama cowok, hehe." ucap Rena dengan nada malu-malu.
"Seriusan?! Siapa?"
"Namanya Dani, teman sekampus aku, sekelas juga, jadi tiap hari ketemu terus,"
"Ciyeeee! Selamat ya Ren, semoga kamu langgeng sama dia, dan yang terpenting, dia harus ketemu sama aku!"
"Buat?"
"Ya buat pastiin kalau dia pantas buat kamu."
"HAHA siap bos! By the way kamu gimana Sar?"
"Aku juga punya kabar baik buat kamu."
...
"Aku udah ketemu Jev.." ucapku dengan nada pelan. Entah kenapa aku seperti ingin menangis.
"Seriusan?! Gimana ceritanya?"
Rena tampak kaget setelah mendengar itu, aku menceritakan pertemuanku dengan Jev kepadanya. Dia menyimak dengan baik."Hah! Jadi selama ini Jev menghilang karena sakit?"
"Iya, Ren. Tapi aku bersyukur walaupun aku bener-bener hancur dengar dia sakit, tapi juga bahagia karena bisa ketemu dia lagi. Aku yakin kok dia bisa sembuh."
Ya, aku menangis karena hal ini untuk kesekian kalinya. Setiap menceritakan kondisi Jev yang sekarang, aku tidak bisa menahannya. Dada ku terasa sesak sekali."Kamu yang sabar ya, Sar. Aku ngerti gimana perasaan kamu. Tapi kenapa baru sekarang ceritanya?"
"Maaf ya, Ren. Aku terlalu sibuk ngurusin Jev. Sampai lupa sama kamu."
"Iya deh, aku ngerti Sar."
"Yang terpenting, sekarang kamu nggak boleh berlarut dalam kesedihan ya, aku selalu ber-do'a buat kebaikan kalian berdua dan aku nggak mau kamu nangis terus. Kamu harus bahagia karena sekarang kamu udah bisa ketemu Jev, oke?"
"Iya. Aku tutup dulu telepon-nya ya. Daa."Kedua tanganku menopang wajah sedihku saat ini. Entah kenapa, terkadang aku merasa bersalah, karena tidak bisa menemani Jev dari awal. Tuhan, pindahkan saja penyakit Jev kepadaku. Ini tidak adil, aku tidak sanggup melihatnya seperti itu. Biarkan dia bahagia, juga tidak merasakan sakit.
Pagi ini, aku bersiap untuk pergi ke Kampus. Aku masuk sekitar pukul sepuluh, ku lihat jam dinding diatas pintu kamarku, "masih jam delapan,"gumamku.
Aku melihat papan kayu impianku, memandangi satu per satu impian yang sudah ku tulis. Aku tidak menyangka bahwa harapanku selama ini untuk bertemu dengan Jev sudah terwujud. Haruskah aku menulis harapan untuk Jev agar bisa sembuh. Mungkinkah Tuhan akan mewujudkan impian baru ku ini?Terlalu banyak pengharapan tapi hanya itu yang bisa ku lakukan. Aku mengambil sticky notes milikku dan menuliskan, "Jev bisa sembuh,"
Aku beranjak keluar kamar dan melihat Papa dan Bunda sedang sarapan, "sayang yuk sarapan dulu,"ucap Bunda.
"Hmmm, Sara sarapan di Cafe dekat kampus aja deh Bun, sekalian mau ngerjain tugas. Sara pamit ya, Pa, Bun."
"Yasudah, hati-hati ya sayang."Aku mengeluarkan mobil dan menuju cafe untuk bertemu mas Kevin. Aku berniat memberitahunya bahwa aku sudah bertemu dengan Jev.
Sesampai di cafe aku melihat mas Kevin sedang merapikan kursi, "Mas!"
Mas Kevin menoleh ke belakang,"eh Sara, kok kelihatannya bahagia banget? Ada apa? cerita dong."
"sini sini duduk dulu Mas aku mau cerita!" ucapku sambil menarik tangan mas Kevin dan mengajaknya duduk.
"Aku udah ketemu Jev!"
"Wih serius nih! Kapan? dimana?!"
Mas Kevin terlihat bahagia juga haha.
"Udah sebulan yang lalu sih Mas, aku baru dateng nemuin Mas karena ketemu Jev mulu sepulang ngampus."
"It's okay, aku ngerti kok, namanya juga udah lama nggak ketemu."
"Tau nggak? Ternyata adiknya Jev sekelas sama aku di Kampus."
"Aku bisa ketemu Jev karena dia."
"Tapi..."
"Kenapa Sar?"
Aku menangis lagi. Jangan bosan mendengarku menangis ya. Aku juga tidak ingin seperti ini.
...
"Kok kamu nangis? Semua baik-baik aja, kan?"
...
"Harusnya gitu, Mas."
"Tapi, sekarang Jev lagi sakit. Itu kenapa aku belum bisa kenalin dia ke Mas.
"Sakit? Sakit apa?"
"Kanker otak stadium 4,"
"Hah!" Mas Kevin kaget, seperti tidak percaya. Tapi inilah kenyataan-nya.
"Iya Mas. Selama ini dia menghindar dari aku karena dia sakit dan nggak mau ngeliat aku sedih. Aku nggak tau harus apalagi selain ngasih semangat ke dia juga diri aku sendiri. Ini berat buat aku."
"Sar, kamu yang sabar ya, aku yakin Jev-mu pasti bisa sembuh dan kamu bisa bawa dia kesini. Jangan putus asa, aku yakin Jev itu lelaki yang kuat."
"Aku berusaha buat ikhlas, Mas. Nanti, kalau Jev membaik aku bakal bawa dia kesini ya."
Mas kevin tersenyum, "aku tunggu."Setelah bercerita banyak dengan Mas Kevin, aku pamit untuk pergi ke Kampus. Sampai di kelas, aku melihat Arga sedang diam dengan pandangan kosong. "Dia kenapa?" batinku.
Aku menghampirinya, "Arga."
Dia memandangku. "Kamu lagi ada masalah?" tanyaku.
"Jev."
"Jev kenapa?"
Arga beranjak dari tempat duduknya dan mengajak-ku keluar kelas agar lebih nyaman untuk berbicara.
"Dokter bilang, kecil kemungkinan buat dia sembuh."
"Dokter bilang begitu?" tanyaku.
"Iya, gue nyesal sering ribut sama dia dulu."
"Jev tau soal ini?"
"Enggak, Mama bilang buat sembunyiin hal ini dari Jev."
...
"Aku tau ini berat buat kita, tapi aku yakin Jev bisa sembuh. Aku yakin dia bisa bahagia, tersenyum lagi kayak dulu. Aku yakin, ga."
"Belum terlambat buat kita, untuk bahagiain Jev. Sekarang aku minta sama kamu, buat sebisa kamu bahagiain Jev. Tolong, jangan ribut lagi." pintaku.
Arga hanya mengangguk sambil menangis. Suasana haru saat ini membuatku benar-benar bingung.Selesai kelas, aku pergi dengan Arga untuk menemui Jev.
"Kita beli buket dulu buat Jev ya." ucapku saat dalam perjalanan menuju rumah Jev. Arga meng-iya-kan.Ini buket buat kamu. Aku selalu berharap kamu tetap kuat seperti bunga Matahari ini.
with love, Sara.
Begitu isi note singkat yang ku sisipkan di buket-nya. Segera aku kembali ke mobil dan menghampiri Jev. Semakin hari, aku merasa semakin terluka melihat dia. Tapi jika aku lemah di hadapannya, Jev pasti juga akan lebih lemah, bukan? Itu sebabnya sampai detik ini aku selalu bersikap seolah-olah akulah manusia yang sangat bisa menerima keadaan-nya saat ini.
"Jev, aku bawain kamu buket." ucapku sembari membuka pintu kamarnya, Jev sedang berbaring dan menoleh,"Sara.."
Aku mendekat dan meletakkan buket itu di meja samping tempat tidurnya.
"Gimana kabar kamu?" tanyaku.
"Lebih baik dari kemarin."
...
"Karena kamu."
Aku tersenyum, Jev bisa sekuat ini karena aku, dan aku pun harus begitu. Harus kuat karena Jev.
"Kamu gimana, Sar?"
"Aku selalu baik setelah ketemu kamu kembali Jev."
"Makasih masih mau ketemu sama Sara, ya."
Jev memegang tanganku,"Sar, aku sayang sama kamu. Kalau nanti kita berpisah lagi, aku harap kamu bisa sekuat kemarin dan hari ini ya. Aku bakalan tunggu kamu. Mungkin, bakal ada bagian hidup lain yang sama kayak dulu, tapi kamu jangan takut. Ada aku, selalu."Maaf Jev, Saramu ini terlalu cengeng dalam hal apapun."Jev kenapa ngomong gitu?"
"Kamu jangan nangis," balasnya.Aku memeluk Jev, dan membatin," Tuhan, jangan pisahkan kami untuk yang kedua kalinya, Sara mohon. Kehilangan Jev nggak akan buat Sara lebih kuat dari sekarang. Sara mohon, untuk tetap jaga Jev buat Sara. Sara mohon."
Jev menepuk pelan pundak-ku,"kamu bisa peluk aku sepuasnya,"
"Nggak apa-apa kali ini nangis, aku izinin," ucapnya.Tangisku semakin pecah karena izinnya. Tempat ternyaman saat ini adalah pelukannya. Aku kehilangan pelukan ini hampir dua tahun, selama itu aku menunggu dan tidak akan ku lepas hingga nanti.
KAMU SEDANG MEMBACA
J E V (TAMAT) (TAHAP REVISI)
Teen FictionImpianmu mungkin boleh hancur karena seseorang. Tapi hidupmu harus tetap berjalan ada atau tidaknya peran pendukung lagi. Berdiri sendiri tanpa meminta bantuan orang lain adalah pilihan yang paling baik. Boleh juga bergantung pada mereka. Tapi sejat...