(17) RAPUH

3.4K 132 1
                                    

"Meski terkadang kita memasang senyum palsu agar selalu terlihat baik-baik saja, ada suatu waktu dimana kita mengharapkan seseorang dapat melihat segala luka yang kita simpan sendirian."

-EWR

🌻



Luna kapok mendengarkan saran dari Tania. Sejak makan malam di rumah Angkasa lima hari lalu, Luna menuruti permintaan Tania untuk menonton salah satu koleksi drama korea kesukaan Tania. Awalnya biasa saja, tapi semakin Luna menekuni kegiatannya menonton drama itu, Luna benar-benar ketagihan, hingga lima malam sudah Luna habiskan untuk menonton aksi Park Hyung Sik bersama Park Bo Young dalam drama yang kata Tania adalah drama terbaik yang pernah ia tonton.

Benar saja, tadi malam Luna menonton tiga episode akhir dari drama itu sekaligus dan ia menangis sesenggukan saat melihat adegan Boong Soon berusaha menyelamatkan diri dari bom yang dipasangkan di tubuhnya. Sial, apa kata Mayang nanti jika tahu mata Luna sembab karena drama korea? Pasti Mayang akan berkata, “Tuh kan gue bilang apa, drakor tuh bikin baper” atau “Nanti nonton drama terbaru bareng gue ya.” Luna capek melihat drama, Luna lelah terus tertawa dan menangis pada hal-hal yang bersifat fiksi.

Baru saja Luna akan melangkahkan kakinya pada deretan kelas IPA, tangan seseorang mencekal  lengannya hingga ia tersentak.

Saat berbalik, ia menemukan wajah Aksel yang penuh memar. Ekspresi Aksel yang biasanya menyebalkan itu entah sudah hilang kemana. Yang Luna temukan hanyalah tatapan penuh luka dan sangat butuh pendengar. Maka dari itu, Luna menurut saja saat Aksel menyeretnya menuju UKS.

Meskipun menyebalkan, tapi melihat Aksel yang seperti ini membuat Luna merasa kasihan. Lagi pula, Aksel selalu baik padanya meski Luna tidak menerima ia sebagai pacarnya.

Tanpa diperintah, Luna mengambil kotak P3K untuk mengobati luka Aksel. Pagi-pagi begini, biasanya anak PMR belum berjaga, mereka baru datang ke ruang UKS saat jam pelajaran dimulai sesuai dengan jadwal piket masing-masing.

“Kak, aku obati lukanya dulu ya.”

Tanpa menunggu persetujuan, Luna mulai menyiapkan alkohol untuk membersihkan luka pada wajah Aksel yang bisa Luna tebak adalah luka baru. Atau mungkin Aksel berkelahi saat di jalan menuju sekolah tadi? Entahlah, Luna belum berani bertanya. Ia takut Aksel sedang mengalami sebuah permasalahan berat yang tidak boleh Luna ketahui.

“Lo pasti mikir gue abis berantem. Right?” tebak Aksel yang sepenuhnya tepat sasaran.

Luna mengangguk sambil menuangkan sedikit alkohol pada kapas. Perlahan, ia mengoleskannya pada wajah memar Aksel. Tapi pergerakannya dihentikan oleh Aksel.

“Bukan ini yang perlu lo obati.”

Aksel menurunkan tangan Luna dari wajahnya. Ia tidak merasakan sakit sedikitpun pada luka fisiknya. Tapi perasaannya sekarang benar-benar kacau. Ia tak tahu lagi, kata apa yang pantas mendeskripsikan kehancurannya sekarang.

“Lo pernah denger nggak ada seorang ayah yang memukuli anak kandungnya?”

Gadis itu hanya menggeleng, ia tidak pernah menyukai kekerasan, maka dari itu, ia tidak pernah menonton berita. Karena setiap presenter berita membawakan sebuah berita terkait kecelakaan, otak Luna seolah bekerja sangat solid untuk membawanya pada masa-masa kehilangannya itu.

“Orang yang selama ini gue panggil “papa” telah melakukannya.” Senyum miris tergambar dalam wajah Aksel.

Seperti yang Luna lihat sekarang, Aksel begitu rapuh. Sama sepertinya, meski dengan alasan yang berbeda. Tapi mereka sama. Sama-sama tidak ingin menunjukkan kerapuhannya pada siapapun. Jika dua kali Luna menunjukkan kerapuhannya di depan Angkasa, maka pagi ini, untuk pertama kalinya, seorang Aksel Reynand benar-benar lumpuh di hadapannya. Seperti raga yang kosong tanpa jiwa. Sorot matanya menggambarkan kekecewaan yang mungkin tidak akan pulih dalam hitungan hari.

LUNARIA [SEGERA TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang