"Bagaimana pun, aku harus berhati-hati dengan perasaan nyaman ini. Karena yang membuat nyaman tidak mesti akan tetap tinggal."
(Lagunya cocok buat friendzone kan😂)🌻
Revita, 42 tahun.
Ruang Mawar No 2.Dahi Riani mengernyit saat menemukan sebuah amplop putih di depan pintu rumahnya dengan tulisan tersebut di bagian depannya. Ia merasa tidak asing dengan nama itu. Kemudian saat dibuka amplop yang memang tidak diberi perekat itu, Riani ingat, Revita adalah nama di bawah foto yang pernah dikirim lewat paket beberapa waktu lalu.
Jika waktu itu ia menemukan foto seorang wanita yang sedang di rawat di rumah sakit, maka dalam foto kali ini, seseorang yang Riani duga bernama Revita itu sedang berkutat dengan mesin jahit. Terlihat lebih muda dibanding foto yang pernah Riani lihat sebelumnya.
“Loh, Mama belum berangkat?”
Buru-buru Riani menyembunyikan amplop tersebut dalam saku blazer-nya sebelum Luna melihatnya. Untuk kali ini, Riani ingin menyelidikinya. Dan ia tidak ingin siapapun tahu.
“Ini mau jalan, Na.”
Luna mengangguk dan menyalami tangan Riani.
“Luna juga mau berangkat, Ma. Kak Angkasa udah dateng tuh,” ucap Luna sambil mengarahkan wajahnya pada mobil Angkasa yang baru saja tiba di depan rumahnya.
“Pagi, Tante,” sapa Angkasa sambil menyalami tangan Riani dengan sopan.
“Pagi, Angkasa,” balas Riani dengan sumringah.
“Tante berangkat ya,” ucap Riani yang dibalas anggukan sopan oleh Angkasa. Tatapan Riani beralih pada Luna.
“Na, nanti Mama agak malem pulangnya. Pintunya dikunci aja ya, Mama udah bawa kunci juga kok.”
Gadis itu mengangguk, lalu ia berjalan menuju mobil Angkasa.
Seperti biasa, Angkasa kini rutin berangkat bersama Luna. Bukan tanpa alasan. Orang tua Luna yang super sibuk itu tidak menyewa jasa supir pribadi. Jadi, Luna sering menunggu Giovanni menjemput hingga sore. Kalau pagi, Luna biasanya berangkat dengan Mayang, kalau tidak, Luna berangkat bersama Marissa, tapi mereka terkadang tidak membawa kendaraan sehingga Luna terpaksa naik ojek online atau taksi. Jika cuaca sedang cerah, Luna merasa baik-baik saja, tapi jika keadaan langit sedang mendung, gadis itu merasa khawatir.
Untuk seorang penderita astraphobia, berada di luar rumah saat langit mendung adalah hal yang cukup menakutkan. Itulah yang membuat Luna sering ketakutan hingga badannya gemetar.
Tak lama berada di dalam mobil Angkasa, mereka sudah tiba di parkiran SMA Gemilang yang sudah mulai dipadati kendaraan, baik roda dua maupun roda empat.
Terkadang Luna menggerutu dalam hati, jika kendaraan yang terparkir di sekolahnya saja sebanyak ini, bagaimana Jakarta tidak macet? Jumlah sekolah di ibu kota saja tidak mampu Luna hitung, ditambah dengan pengendara lainnya yang jumlahnya bahkan berpuluh-puluh kali lipat dari milik murid sekolah menengah.
Kemacetan adalah salah satu hal yang terkadang membuat Luna gelisah saat langit mulai mendung. Ia seringkali merasa cemas saat terjebak dalam kemacetan, karena yang Luna inginkan saat hujan datang adalah kehangatan dalam rumahnya. Yang saat ini belum mampu Luna temukan di tempat manapun.
“Makin nempel aja kalian, nggak sadar ya si Aksel ngejauhin lo sekarang?”
Nada bicara sinis itu keluar dari mulut Aura saat mereka baru saja turun dari mobil. Meskipun Luna meyakini bahwa orang yang Aura tuju adalah Angkasa, tetap saja ia merasa tak enak hati. Seolah ialah yang menyebabkan renggangnya pertemanan Aksel dengan Angkasa.
“Terus apa urusannya sama lo?” balas Angkasa tak kalah pedas. Bahkan nada bicara Angkasa terdengar lebih menusuk.
Aura tersenyum remeh, matanya sesekali melirik Luna yang hanya diam, tanpa berani menatapnya.
“Bukannya lo seneng kalo gue sama Luna makin nempel, kan lo bisa deketin Aksel lagi.”
Tertohok.
Aura benar-benar tertohok dengan ucapan Angkasa. Memang benar, Aura mengakuinya, ia senang Aksel tidak lagi mengejar-ngejar Luna, tapi ia tidak rela jika Luna bersama Angkasa setelah Luna mencampakkan Aksel begitu saja.
Angkasa tersenyum penuh kemenangan, lantas segera menggandeng Luna untuk berjalan meninggalkan Aura yang masih terpaku dengan pernyataan Angkasa barusan.
Beberapa siswa mencoba mencuri pandang ke tangan Angkasa yang mencengkram lengan Luna dengan posesif. Seolah takut Luna akan diambil orang lain. Ya, memang Angkasa mengakui, ia mulai takut jika tiba-tiba Luna memiliki seorang kekasih dan hal itu membuat mereka menjadi jauh. Angkasa sudah nyaman berada di dekat Luna, ia juga ingin melindungi Luna layaknya seorang kakak yang selama ini selalu dirindukan kehadirannya dalam hidup Luna.
🍓
“Luna, jangan keterusan, ntar lo dijambak Zizi loh!”
Teriakan super cempreng itu berhasil membuat Angkasa dan Luna menoleh bersamaan pada rumah dengan cat abu-abu tepat di samping rumah Luna.
Disana, seorang Aretina Marissa sedang menikmati es krim sambil berselfie ria di kursi yang ada di terasnya. Saat Luna dan Angkasa menoleh pun, gadis itu sedang tersenyum menghadap ke kamera.
“Abaikan,” perintah Angkasa tanpa mengalihkan perhatiannya dari Marissa yang kini sedang bergaya memamerkan jari telunjuk dan tengahnya di udara, membentuk huruf “V” dengan senyum lebar.
“Alay banget tetangga lo, Luna! Makan es krim aja foto mulu, kaya nggak pernah makan es krim aja!” Angkasa sengaja menyeru demikian agar Marissa tersindir. Sedangkan Luna hanya geleng-geleng kepala saat Marissa kini melotot tajam ke arah Angkasa.
“Ngaca deh! Lo makan kepiting aja pamer!” sentak Marissa mengungkit foto yang diunggah Angkasa beberapa hari lalu. Bukannya tersinggung, Angkasa justru tersenyum senang karena Marissa membuatnya mengingat memori pada hari itu.
Luna pun demikian, gadis itu kini tengah menahan semburat merah di pipinya karena Angkasa melempar senyum ke arahnya. Senyum yang seolah mengatakan 'kamu masih ingat?' pada Luna.
“Gue pulang dulu ya,” pamit Angkasa yang sudah mulai merasakan perasaan aneh saat bersama Luna.
Gadis itu hanya mengangguk lantas mengucapkan terima kasih.
Tepat setelah mobil Angkasa meninggalkan pekarangan rumah Luna, gadis itu membuka pintu rumahnya. Tapi gadis itu mengernyit saat melihat sebuah mobil fortuner berwarna putih berhenti di jalanan depan rumahnya.
Setelah memandang sejenak mobil yang baru saja berhenti itu, Luna mengangkat bahunya acuh. Ia memasuki rumahnya dan melemparkan tubuhnya ke atas sofa ruang tamu. Tas di bahunya sudah ia lempar ke atas meja. Ia merasa sangat lelah hari ini.
Tadi, selepas bel pulang, ia harus mengikuti ekstrakurikuler jurnalistik selama dua jam. Dan untungnya, jadwal ekstrakurikuler jurnalistik dan futsal sama, sehingga ia bisa tetap pulang bersama Angkasa. Entahlah, Luna sudah benar-benar merasa aman bersama Angkasa. Selain orang tuanya yang sudah percaya pada Angkasa dan ia juga sudah mengenal keluarga Angkasa, ia juga yakin, Angkasa adalah sosok laki-laki yang bisa dipegang omongannya.
Baru saja Luna akan melangkah menuju kamarnya, ia harus dikejutkan dengan sesuatu yang berusaha menutup hidungnya. Ia sempat menoleh ke belakang dan yang ia lihat hanya lengan kekar yang sedang berusaha membekap hidung dan mulutnya. Setelah itu, Luna tak sadarkan diri dan digendong oleh sosok bermasker hitam ke dalam mobilnya.
🌻
Hayooo sosok bermasker hitam siapa tuh?😱 Ada yang bisa nebak?😁
Maaf up telat banget😭
Tunggu kelanjutannya besok ya! Semoga masih penasaran sama cerita ini :)
See you,
KAMU SEDANG MEMBACA
LUNARIA [SEGERA TERBIT]
Ficção Adolescente[COMPLETED] Lunaria. Bukan seorang gadis pecinta bulan atau pendamba langit malam. Dia hanyalah bunga cantik bernama Lunaria yang sayangnya takut pada hujan. Bukan hanya takut, tapi masuk pada kategori phobia. Namun, setiap hal terjadi bukan tanpa...