"Bumi terus berputar pada porosnya, tapi waktu terasa berhenti begitu saja. Lalu aku tersadar, bahwa di tengah keputusasaan ini, aku benar-benar sendiri."
-Zizi Prasiya
🌻
Seminggu setelah kejadian di gudang, Luna sudah nampak baik-baik saja dan beraktivitas seperti biasa. Begitu juga dengan Giovanni yang sudah keluar rumah sakit bahkan sudah berangkat ke Australia untuk menjemput Revita, sesuai kemauan Luna. Ia tidak mau terus menerus dilanda ketakutan akan kehilangan selanjutnya.
"Lo nggak bareng Angkasa?" Pertanyaan itu membuat Luna terhenyak saat ia sedang mengendap-endap di gerbang.
Bel sudah berbunyi saat Luna berada di depan gedung sekolah dan kebetulan gerbang belum dikunci atau mungkin sengaja tidak dikunci, karena tetap saja, setelah gerbang utama yang super megah itu masih ada gerbang selanjutnya yang dijaga guru piket.
Luna melirik hati-hati dan menemukan Hanan berdiri di sampingnya. Sepertinya laki-laki itu juga terlambat karena masih mengenakan tas.
"Lo bareng gue aja, biar nggak dihukum," ucap Hanan sambil berjalan menyamakan langkahnya dengan Luna yang terburu-buru.
"Emang gimana caranya, Kak?" tanya Luna heran.
Hanan tidak menjawab. Ia berjalan dengan santai menuju gerbang kedua yang merupakan gerbang menuju gedung lantai satu sekolahnya. Luna mengekori pemuda itu meski sedikit ragu.
Saat di depan gerbang selanjutnya, mereka berhenti karena gerbang itu memang dikunci. Di sana ada Bu Kamila, guru mata pelajaran kimia yang memang sangat akrab dengan Hanan.
"Hanan, kamu telat?" tanya Bu Kamila sedikit terkejut. Meskipun bukan murid pintar, tapi Hanan termasuk aktif di kelas Bu Kamila, tentu saja atas bantuan Angkasa yang memang jagonya.
Hanan memasang ekspresi lelah yang sejujurnya ingin sekali Luna tertawakan. Namun, ia memilih diam, siapa tahu Hanan bisa membantunya?
"Tadi Hanan kan bawa motor, boncengan sama Luna. Eh tiba-tiba bannya kempes. Padahal badan Luna cungkring gitu kan ya?" Pernyataan Hanan membuat Luna melotot. Cungkring? Ah, yang benar saja!
Bu Kamila menatap Hanan dan Luna bergantian. Sebenarnya wanita itu percaya dengan ucapan Hanan, karena dia sendiri pernah mengalami ban kempes dan belum ada bengkel yang buka pagi-pagi begini.
"Terus kalian naik apa?" selidiknya dengan mata menyipit.
"Naik taksi online, Bu. Uang saku Hanan sama Luna jadi berkurang," ujar Hanan setengah cemberut.
"Ya sudah kalian masuk cepetan. Mumpung guru-guru masih briefing tuh."
Setelah Bu Kamila membukakan gerbang, mereka berjalan memasuki kelas masing-masing. Untung saja Bu Kamila piket sendirian, padahal biasanya Bu Kamila jadwal piketnya bareng Bu Asti, wali kelas Hanan. Kalau ada Bu Asti, pasti Hanan akan diberi banyak nasehat hingga ia merasa telinganya panas.
"Kak Hanan, makasih ya," lirih Luna yang kini hampir sampai ke kelasnya, sedangkan Hanan akan menaiki tangga untuk ke lantai dua.
Hanan tersenyum sok cool sebelum menjawab, "Don't mention it."
"Lo kenapa bisa telat? Angkasa udah berangkat duluan?"
Luna kini teringat penyebab ia telat dan rasanya ia sangat kesal pada Angkasa yang tiba-tiba tidak bisa dihubungi.
KAMU SEDANG MEMBACA
LUNARIA [SEGERA TERBIT]
Novela Juvenil[COMPLETED] Lunaria. Bukan seorang gadis pecinta bulan atau pendamba langit malam. Dia hanyalah bunga cantik bernama Lunaria yang sayangnya takut pada hujan. Bukan hanya takut, tapi masuk pada kategori phobia. Namun, setiap hal terjadi bukan tanpa...