"Kita adalah dua bintang dari rasi berbeda yang sayangnya memiliki luka yang sama."
-Altair Angkasa
🌻
Titik terlemah dalam hidup Luna adalah saat ini. Saat semua yang ia cintai, saat semua yang ia butuhkan dalam hidupnya pergi satu persatu. Mama, papa, bahkan Angkasa.
Meski ada Dito, Hanan juga Aksel yang tadi datang dan Luna yakin mereka masih berada di ruangan ini, tapi Luna merasa sendiri.
Semesta seakan sudah mengambil semua hal dalam hidupnya. Rasa sakit dan ketakutan yang mencekam itu menusuk langsung perasaan Luna hingga rasanya ia tak mampu lagi menangis, apalagi berteriak.
Tubuh Luna meringkuk dengan selimut yang menutupi sampai batas bahunya. Ia tidak menangis, matanya memejam erat. Ia berharap, ia bisa lepas, bebas dari segala beban yang harus ditanggungnya. Dari segala luka yang menghancurkannya.
Dapat ia dengar tirainya sedikit terbuka. Ingin sekali ia berteriak pada siapapun yang masuk untuk pergi. Namun, suaranya seperti sudah menghilang. Ia hanya merintih dan meminta orang tersebut pergi dengan mata yang terus terpejam.
Luna kini tersentak saat sebuah tangan hangat meraih pipinya dan mengelusnya lembut. Gadis itu enggan membuka mata, ia takut bahwa harapannya sia-sia. Tidak mungkin orang yang ia inginkan itu datang sekarang. Setahu Luna, Angkasanya sudah hilang.
“Maaf.”
Suara itu.
Luna membeku saat suara yang akrab di telinganya itu terdengar. Ia mulai berpikir bahwa ia memang sudah gila.
“Buka mata lo.”
Gadis itu hanya menggeleng sambil meremas tangannya yang tertutup selimut.
“Kata Aksel tadi, bidadari bulannya butuh Altairnya, ternyata Aksel bohongin gue.”
Mata Luna terbuka. Ia tidak menemukan apapun di depannya. Tapi tangan itu masih menempel di sebelah pipinya. Mata Luna menatap tangan itu lalu menemukan Angkasa yang terduduk di kursi roda dengan tatapan terluka. Sorot matanya menggambarkan kelelahan yang tidak terkira.
“Kak—“
Belum sempat melanjutkan ucapannya, Luna dibuat terkejut saat kepala Angkasa mendekat, sejajar dengan wajahnya yang menengadah ke atas, menghindari tubrukan dengan iris biru itu.
Jika dalam kondisi normal, mungkin wajah Luna sudah memerah sekarang. Bagaimana tidak? Angkasa tiba-tiba mengecup pipi sebelah kirinya dan berbisik, “Bintang Altair lo nggak pernah kemana-mana.”
Saat ini, Luna hanya bisa diam. Ia masih ingat bagaimana Ayu menggenggam tangan Angkasa dengan penuh kasih.
Tubuh Luna kini bangkit secara perlahan. Ia menghadapkan wajahnya pada Angkasa. Ia tatap pemuda yang ia rindukan itu dengan air mata yang entah kenapa mencair begitu saja, padahal tadi ia rasa air matanya sudah beku.
“Lo kenapa?” Pertanyaan bodoh itu nyatanya keluar dari mulut Angkasa. Ia sangat menyesal telah mengatakannya.
Luna tidak menjawab. Ia kini sibuk mengabsen setiap wajah yang masuk dari balik tirai. Wajah-wajah yang sempat Luna tolak kedatangannya.
Dito tiba-tiba berjongkok di depan Angkasa. Lalu menatap Angkasa dan Luna secara bergantian.
“Sekali lagi, gue minta maaf,” ucap Dito dengan mata berkaca-kaca. Kini posisi Dito lebih mirip seperti orang yang sedang berlutut.
KAMU SEDANG MEMBACA
LUNARIA [SEGERA TERBIT]
Teen Fiction[COMPLETED] Lunaria. Bukan seorang gadis pecinta bulan atau pendamba langit malam. Dia hanyalah bunga cantik bernama Lunaria yang sayangnya takut pada hujan. Bukan hanya takut, tapi masuk pada kategori phobia. Namun, setiap hal terjadi bukan tanpa...