☘ ☘ ☘
"Budayakan VOTE sebelum membaca dan COMMENT setelah membaca."
• BAGIAN DUA PULUH •
"Dia tertarik dengan apa yang aku miliki. Begitu juga denganku yang tertarik dengan apa yang dia miliki."
☘ ☘ ☘
Kami kembali menaiki rednilis untuk bisa sampai di tempat tuan Same. Entah bagaimana bisa tuan Hap begitu tertarik dengan negeri kami. Padahal awalnya dia sama sekali tidak tau negeri kami. Aneh.
"Bisakah kalian menggambarkan bagaimana indah negeri kalian sebelum tuan Same menjelaskannya?" Tuan Hap menutup pintu rednilis dan mulai menekan tombol-tombol yang menempel di dinding benda tabung ini.
Sams yang semula sedang merapikan rambutnya kini menolehkan matanya ke arah tuan Hap. "Ten-tu tentu kami bis-sa menjelaskannya." Sams berkata sedikit gagap dan hal tersebut membuat tawaku muncul dengan tiba-tiba.
Sams mendengus karena aku terus menertawakannya. Dengan siku kanannya, dia menyikutku. "Bisakah kamu diam?!" tanyanya dengan nada dingin. "Tidak ada yang lucu!"
Aku meringis ketika lengan Sams mengenai perutku. "Bisakah kamu berbicara dengan normal, Mr. Samsudin. Tanpa gagap?" Bukannya menjawab, aku bertanya balik kepadanya. Mengejek.
"Kamu kira mudah mempelajari bahasa asing dalam satu hari? Tidak, Anna. Kamu sangat beruntung bisa langsung berkomunikasi dengan penduduk negeri ini. Tidak denganku dan Sherly. Kami harus belajar, dari nol. Dan apakah aku bisa menyebutnya sahabat, jika kamu terus menertawakan sahabat lainnya yang sedang belajar?" ujar Sams dengan serius. "Seharusnya kamu menyupport, bukan malah mengejek."
Aku merinding mendengarnya. Sangat jarang atau bahkan tidak pernah, lelaki bernama Sams berkata sepanjang itu. Dan ini adalah pertama kalinya.
Dan untuk kalimat yang dia ucapkan, memang benar, aku terlalu kelewatan. Menertawakan sahabatnya yang sedang belajar berkomunikasi? Sahabat macam apa aku ini?
"Aku, aku minta maaf, Sams. Aku tidak bermaksud demikian kepadamu. Jika perkataanku membuat hatimu sakit, aku minta maaf."
"Nggak perlu," jawab Sams tak acuh. Dia memalingkan wajahnya agar mata kami tidak bertemu.
"Sams, kamu nggak boleh seperti itu. Bagaimanapun Anna adalah sahabat kita. Dan kamu tau, kadang sahabat suka bercanda, dan tanpa sadar candaan itu sering melampaui batas." Sherly mencoba menengahi perdebatan kami.
"Cih sahabat. Sejak kapan aku sama Anna sahabat?"
Sakit. Rasanya seperti ada jarum yang menusuk di hati. Orang yang selama ini telah kuanggap sahabat, kini berkata demikian. Meskipun awalnya kami tidak akrab, tapi setelah kejadian ini, aku dan Sams lebih dekat. Dan tanpa sadar kami mulai akrab.
Mataku mulai memanas, namun dengan cepat aku mengedipkannya berkali-kali dan mengusapnya agar tidak menangis.
"Sams, apakah kamu marah kepadaku?" tanyaku tolol. Jelas-jelas dia marah dan kesal, masih saja aku bertanya begitu.
"Pikir aja sendiri," desisnya malas.
"Hey hey hey. Kalian sedang memperdebatkan apa? Apakah kalian sedang membicarakanku?" Di sela kemarahan Sams, tuan Hap bertanya. Maklum saja, dia tidak tau bahasa kami.
"Tidak, tuan. Kami tidak sedang membicarakan Anda. Apakah tempat tuan Same masih jauh? Atau kita bisa beristirahat dulu. Aku lapar, begitu juga dengan keduanya sahabatku." Lagi-lagi aku menyebut kata sahabat, kalimat yang baru saja aku benci karena perkataan Sams.
"Kalian lapar? Baiklah kita makan siang dahulu. Sepertinya sudah waktunya kita untuk makan," ujar tuan Hap dan jari tangannya mulai memencet tombol yang ada di dinding rednilis.
Aku yakin tuan Hap sedang merubah rute rednilis ini menuju restoran ataupun tempat makan negeri Samesa.
Dua menit dalam perjalanan setelah tuan Hap merubah rutenya, akhirnya rednilis yang kami naiki berhenti di sebuah ruangan.
Masih di dalam tanah, dan entah berapa kilo dari permukaan. Aku yakin letaknya kini lebih dalam dari tempat menjual baju milik tuan Sed.
Ngomong-ngomong tentang pakaian, aku dan ketiga temanku kini telah mengganti pakaian kami dengan pakaian khas negeri Samesa.
Memang rasanya sangat nyaman dan sangat enak digunakan. Ketika tubuhku terasa panas, maka dengan otomatis baju ini menjadi dingin begitupun sebaliknya.
Kami berjalan masuk ke dalam bangunan tempat makan ini. Dua langkah setelah masuk, aku dibuat tak berkutik oleh bangunan ini.
Lihatlah! Interior bangunan ini sangat menawan. Patung-patung para koki terdahulu terpahat sempurna dan diletakkan di setiap sudut ruangan.
Bukan hanya itu, lampu utama ruangan ini juga terlihat pas dengan penataan yang terkesan mewah.
Belum dengan meja dan bangku yang saling berterbangan di atas. Satu dua bangku sudah terisi oleh pengunjung. Mereka terlihat sangat asyik menyantap makanan ini, tapi tidak dengan raut wajah mereka.
Memang dentingan sendok dan garpu terdengar saling bersahutan. Juga dengan obrola itu. Tapi kenapa wajah mereka sangat datar? Tanpa ekspresi.
"Kita duduk di sana. Tempat yang sangat pas untuk menonton pertunjukkan di naroster ini." Tuan Hap segera melangkah di dinding, berjalan menuju kursi yang telah ia pilih.
Bukan restoran, melainkan naroster. Aneh namanya.
Kami mengikuti langkah kaki tuan Hap. Ngomong-ngomong tentang naroster, mungkin dalam bahasa bumi adalah restoran. Tempat untuk makan. Begitulah instingku berkata.
"Selamat datang di naroster negeri Samesa. Tempat makan dan berkumpul paling nyaman di negeri ini. Silakan nikmati hidangan pembuka yang telah kami suguhkan," ujar pelayan dengan menyuguhkan sepiring makanan mirip dengan biji jagung.
Pelayan itu juga memberikan sebuah tablet berisi menu di naroster ini.
"Baiklah, dan terima kasih."
☘ To be Continued ☘
Part ini nggak saya koreksi ulang. Mungkin kalo ada kalimat yang salah ataupun typo harap dimaklumi.
Thank you and see you :)
Salam,
Nu_Khy
*Jangan lupa mampir ke work aku yang lain ya. Baca ceritaku yang lain. Judulnya Please Don't Forget ME. Cerita baru. Cuss langsung cek sendiri aja. Di jamin gak kalah seru.
KAMU SEDANG MEMBACA
Little Pierce [COMPLETED]
Fantasy[FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA, KARENA MEMFOLLOW ITU GRATIS] Ada sebuah legenda. Legenda tentang negeri yang penuh dengan kekayaan. Manusia mencarinya. Namun kami tidak menginginkannya. Karena kekayaan itu ada di sekitar kami. Tetapi ada sesuatu yang...