☘ ☘ ☘
"Budayakan VOTE sebelum membaca dan COMMENT setelah membaca."
• BAGIAN DUA PULUH TIGA •
"Teknologi mereka sangat maju, dan kami harus bisa memahaminya."
☘ ☘ ☘
Aku menatap ke Sams, tidak biasanya dia diam. Apa dia sedang menahan boker? Nggak, nggak mungkin si Sams nahan boker!
"Mungkin aku tau jawaban yang Anda perlukan, tuan Same."
Hah? Apa? What? Sams tau jawaban dari pertanyaanku ini?
"Seperti sebuah snow globe. Ruangan ini didesain mirip dengan benda itu. Di dalam sebuah kaca, benda-benda kecil tertata rapi. Sama halnya dengan ruangan ini. Di dalam tanah keras yang kuyakini adalah emas murni dengan tingkat kekerasan terbaik."
"Namun, sudah pasti tempat ini berbeda dengan snow globe dalam segi ukuran. Sang arsitektur pasti memiliki kemampuan mendesain dan membangun yang sangat hebat. Aku kagum dengannya."
"Kamu benar, anak muda. Para leluhur kami-lah yang melukis ruangan ini. Menggores tanah emas ini menjadi sebuah ruangan. Mirip dengan cacing. Melubangi tanah-tanah untuk bisa berlalu lalang di dalam tanah." Tuan Same menambahkan perkataan Sams.
"Tapi bagaimana kami bisa bernapas dengan sangat nyaman. Tuan Same bilang ruangan ini ada di dalam tanah? Apakah masih ada udara di dalam tanah?" Sherly bertanya kepadaku dengan bahasa bumi.
Tapi karena aku tidak tau, aku terpaksa mentransletnya menjadi bahasa negeri Samesa.
Tuan Same tersenyum, tertarik dengan pertanyaan yang baru saja kutanyakan. "Entahlah. Tapi menurut leluhur kami, ada sebuah benda yang tersembunyi di balik bebatuan. Dan benda itu membantu kami bernapas."
Sams terkekeh, kemudian bibirnya mulai bergerak, menjelaskan perkataan tuan Same. "Apakah kalian pernah masuk ke dalam ruangan tanpa fentilasi?"
Aku dan Sherly menggeleng kompak.
"Dan apakah kalian pernah masuk ke dalam ruangan ber-AC?"
Mengangguk bersama, kami menjawabnya lagi.
"Dan seperti itulah cara kerja ruangan ini. Jika di bumi, manusia menggunakan AC untuk mendinginkan dan mengeluarkan oksigen. Membantu penghuninya agar tetap nyaman dan tenteram. Sama halnya dengan penduduk di negeri ini. Hanya saja bentuk dan ukurannya yang berbeda. Hanya fungsinya saja yang sama." Dia kembali berkata.
"Tapi di negeri ini jelas berbeda. Teknologinya lebih canggih dan maju. Bahkan benda itu bisa mendinginkan ruangan dengan luas berkilo-kilo meter. Sangat mudah banginya untuk membuat benda tersebut."
"Sudahlah. Daripada kalian membahas hal yang tidak penting, sebaiknya kita langsung masuk ke dalam perpustakaan ini. Aku sudah tidak sabar menanyakan negeri kalian kepada si kakek kmi." Tuan Hap menghentikan pembahasan tentang ruangan ini. Toh, jika dijelaskan tidak ada faedahnya bukan?
"Tidak buruk juga. Sudah lama sekali penduduk negeri Samesa tidak mengunjungi perpustakaan tua ini. Mereka terlalu sibuk dengan hologram-hologram aneh itu." Kini raut wajah tuan Same terlihat tidak bersahabat. Dia tidak suka dengan kemajuan teknologi negeri Samesa. "Bahkan mereka sudah melupakan buku-buku yang menjadi awal perkembangan teknologi negeri ini. Tidak tau terima kasih memang."
Tuan Same mengembuskan napas. "Mari kita masuk. Ribuan bukuku sudah lama menanti kedatangan kalian."
Seketika mata kami berbinar. Gembira mendengar perkataan tuan Same. Ribuan buku? Dan hanya ada kami di sini?
Kami berjalan lebih dalam menuju halaman perpustaan tuan Same.
Namun, belum sepuluh langkah aku berjalan, sebuah benda berbentuk lingkaran berterbangan mendekati kami.
Bentuknya bulat dengan diameter tidak kurang dari 50 senti. Warnanya masih sama, emas. Benda itu berjumlah lima.
Benda tipis itu mendarat tepat di depan kaki kami. Mendesing pelan kemudian menempel di bebatuan marmer berwarna abu-abu itu.
"Ini apa, tuan Same?" Tanganku menunjuk benda lingakat itu.
"Ini gnirip, Anna. Benda inilah yang akan membawa kita masuk ke dalam perpus. Tidak mungkin kita berjalan kaki berkilo-kilo hanya untuk bisa sampai di lantai 1 bangunan ini." Tuan Hap langsung menaikinya. Begitupun dengan tuan Same.
Gnirip itu mendesing pelan, mulai terangkat dan wusss. Terbang menjauh dari pandangan kami.
Kini tinggal kami bertiga. Kami saling tatap? Kita mau naik? Apa kamu bisa? Mungkin pertanyaan itu yang ada di otak kami bertiga.
Iseng-iseng, Sams menginjakkan kakinya di benda emas itu.
Gnirip itu mulai bergerak, terbang beberapa senti di atas tanah.
Bugh. Tubuh Sams terjerembab ke batu marmer. Dia mengaduh pelan dengan tangan mengelus pantatnya yang menjadi tumpuan badannya.
"Benda sialan!" Sams memakinya. Dia masih kesal dengan benda ini.
Aku dan Sherly tertawa terbahak melihatnya. Rasakan! Dasar sok tau dan sok bisa!
"Mereka mulai menjauh, Anna. Apakah kita hanya akan menatap benda terbang ini? Atau kita mau berjalan?" Sherly bertanya.
Aku menggeleng. Berjalan kaki bukan solusi yang tepat. Bisa-bisa kakiku remuk karena berjalan kaki sejauh itu. "Kita juga harus mencobanya, Sher."
Aku menaiki gnirip itu. Meletakan kedua kaki di atasnya dan benda itu mulai terangkat. Namus nasib sial menghampiriku. Tubuhku juga terjatuh ke bawah. Kali ini nasibku lebih mengenaskan. Aku terjatuh di lantai marmer yang basah.
Sams tertawa. Da aku mendengus. Menatap kesal gnirip itu yang kembali turun dan mendarat di depanku.
"Dasar alat sialan!" Aku memakinya. Tapi yang namanya benda mati yang tetap benda mati. Tetap tak berkutik jika tidak digerakkan.
"Kita harus mencobanya lagi, Anna. Jangan mudah menyerah." Kini Sherly mulai mencoba, dengan caranya sendiri.
☘ To be Continued ☘
Sorry updetnya rada ngaret. Author baru selesai Pkl, jadi author sedikit sibuk. Harus ngurus ini dan itu.😥😥
Dan semoga kalian masih suka dan tetap menunggu cerita ini updet. 😂😂
Jangan lupa untuk VOMMENT. Thank you and see you..
Salam,
Nu_Khy
*Jangan lupa mampir ke work aku yang lain ya. Baca ceritaku yang lain. Judulnya Please Don't Forget ME. Cerita baru. Cuss langsung cek sendiri aja. Di jamin gak kalah seru.
KAMU SEDANG MEMBACA
Little Pierce [COMPLETED]
Fantasi[FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA, KARENA MEMFOLLOW ITU GRATIS] Ada sebuah legenda. Legenda tentang negeri yang penuh dengan kekayaan. Manusia mencarinya. Namun kami tidak menginginkannya. Karena kekayaan itu ada di sekitar kami. Tetapi ada sesuatu yang...