☘ ☘ ☘
"Budayakan VOTE sebelum membaca dan COMMENT setelah membaca."
• BAGIAN TIGA PULUH •
"Hal baru terus menghampiri kami. Terus berdatangan hingga kami bingung untuk memahaminya. Terlalu di luar nalar manusia biasa."
☘ ☘ ☘
"Wahai, siapa yang datang ke padang persawahan milikku?"
Kami berempat kompak menolehkan kepala kearah pemilik suara itu.
Seorang wanita tua berdiri di halaman rumah kayu milik tuan Pet. Rambutnya tergerai bebas sebahu dengan warna putih pekat. Keriput wajahnya sangat ketara walau dalam radius sepuluh meter.
Wanita itu mengenakan pakaian bumi. Mengenakan daster berwarna kuning mencolok. Motif bunga juga turut menghiasi pakaian wanita tua itu.
"Hey! Apakah itu kamu, si kecil Hap?" Wanita tua itu melangkahkan kakinya, menuju kami.
"Oh, hey Tan! Bagaimana kabarmu?" tanya tuan Hap dengan tersenyum.
"Seperti yang kamu lihat lima puluh tahun lalu." Wanita bernama Tan itu memperlihatkan tubuhnya.
Aku tidak heran mendengar umur penduduk negeri Samesa. Wajah dan umur sangat berbeda jauh, membohongi siapapun yang melihatnya.
"Anda semakin cantik, nona Tan. Apalagi gaya rambutmu, sangat cocok dengan wajahmu." Goda tuan Hap dengan mengedipkan sebelah mata. Dasar buaya! Sudah punya istri masih saja menggoda nenek-nenek!
"Tapi tidak dengan si tua itu." Nona Tan menunjuk pria tua yang sedang mencangkul tanah. "Pikirannya semakin lama semakin memudar. Kadang dia juga melupakanku. Bukan hanya satu dua kali, melainkan puluhan kali."
"Ah sudahlah. Lupakan dia, sebaiknya kalian masuk ke gubukku. Aku baru saja masak sup kesukaanmu, Hap. Dan hey!" Mona Tan memekik melihat kami bertiga. "Siapa anak-anak ini, Hap? Jangan bilang mereka adalah anakmu."
Hap menggeleng cepat. Tangannya ia gerakkan ke kanan-kiri dengan cepat. "Bukan. Tapi jika mereka mau menjadi anakku, aku tidak keberatan sama sekali." Tuan Hap terkekeh.
Dih. Apa-apaan! Enak saja mengklaim anak orang lain menjadi anaknya tanpa dipikir dulu.
Aku menghiraukan perkataan tuan Hap. Segera, aku memperkenalkan nama kami bertiga yang hanya dijawab 'oh' dan anggukan kepala oleh wanita itu.
"Sebaiknya kalian masuk dulu. Nanti supnya tidak hangat lagi," ujar nona Tan kemudian mengayunkan kakinya, kembali ke gubuk kayu miliknya.
"Nama kalian unik." Tiba-tiba, di sela perjalanan, nona Tan memuji nama kami.
Kami hanya senyum-senyum tidak jelas.
"Mari masuk, anak-anak. Maaf jika rumah ini terlihat aneh. Berbeda dengan rumah kalian yang melayang di atas." Nona Tan membuka pintu kayu dengan ukiran aneh.
Aku dapat melihat isi rumahnya, sangat mirip dengan pondok-pondok yang ada di bumi.
"Apakah kamu tidak pernah merapikan rumah ini, wahai nona Tan?" Tuan Hap menggerakkan kakinya melihat isi pondok ini. "Semuanya masih sama. Dan lihatlah! Debunya sangat tebal." Tuan Hap meniup lemari kayu dan debu-debu kecil langsung berhamburan.
"Aku terlalu tua untuk melakukan semua pekerjaan itu sendiri, Hap. Sekarang waktuku hanya untuk menikmati masa tua. Lagipula Pet sudah semakin lupa," sahutnya dengan melangkahkan kakinya menuju ruangan yang terletak di sebelah kiri. "Dan tidak pernah ada tamu yang mau datang ke tempat kami selain kamu, Hap. Jadi untuk apa aku membereskannya? Buang-buang tenaga saja."
"Mari anak-anak kita sarapan dulu."
Nona Tan menggiring kami untuk ke ruang makan. "Hey, Hap! Apakah aku perlu menjewermu agar ikut dengan kami?"
Tuan Hap yang sedang bermain mobil-mobilan dari kayu itu menghentikan aktivitasnya.
Dia berjalan dengan memanyunkan bibirnya, mirip anak kecil. "Selalu seperti itu."
Aku dan kedua sahabatku hanya bisa tertawa pelan melihatnya.
"Silakan duduk anak-anak. Dan jangan lupa dengan hidangannya. Maaf jika masakannya sangat aneh dengan masakan orang tua kalian." Nona Tan mengambilkan mangkuk dan sendok untuk menikmati sop buatannya.
Nampaknya nona Tan memasak sop ceker ayam. Dan semua sayuran masuk di dalamnya. Aku jadi bertanya-tanya, dari mana dia mendapatkan ayam itu?
Aku sedikit heran dengan semua peralatan dan benda-benda yang ada di rumah tuan Pet dan nona Tan ini. Semuanya sama persis dengan apa yang ada di bumi. Atau jangan-jangan mereka berasal dari bumi?
Aku menggerakkan kepalaku cepat. Tidak. Tidak mungkin mereka dari bumi. Manusia bumi tidak ada yang bisa berumur lebih dari dua abad.
"Na, masakannya enak," puji Sherly ketika mencicipi sup pada sendokan pertama. "Mirip masakan Ibuku."
Sams yang sedang di samping kananku ikut menyela. "Apakah kalian tidak merasa aneh dengan semua benda yang ada di sini? Tidak mungkin bukan, di negeri Samesa yang sudah maju ini, masih ada orang yang bercocok tanam. Juga alat yang digunakan di ruangan ini. Semuanya berasal dari bumi."
Aku mengangguk setelah mencicipi sop ini. Benar, rasanya enak. Bumbunya sangat terasa, berbeda dengan makanan berbentuk padi waktu itu. "Benar juga katamu, Sams. Aku juga curiga jika tuan Pet dan Nona Tan keturunan manusia bumi."
"Hey! Apa yang sedang kalian bicarakan? Apakah masakan nenek tua ini tidak enak?" Tuan Hap memecah perbicangan kami bertiga. Pasalnya kami berbicara menggunakan bahasa bumi dan tuan Hap tidak mengetahuinya.
Sedangkan di depanku, nona Tan hanya tersenyum melihat kami bertiga.
"Enak kok. Aku juga hampir menghabiskannya. Kalau boleh sih, aku mau nambah," sahut Sams dengan memperlihatkan isi mangkuknya yang hanya tersisa beberapa sendok.
"Hey! Kenapa kalian tidak mengajak aku makan?!"
Kami menolehkan kepala, dan ...
☘ To be Continued ☘
A/n : Sengaja aku buat nggantung, biar greget😂😂
Jangan lupa untuk bahagia. And see you on next chapter :)
Salam
Nu_Khy
*Jangan lupa mampir ke work aku yang lain ya. Baca ceritaku yang lain. Judulnya Please Don't Forget ME. Cerita baru. Cuss langsung cek sendiri aja. Di jamin gak kalah seru.
KAMU SEDANG MEMBACA
Little Pierce [COMPLETED]
Fantasy[FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA, KARENA MEMFOLLOW ITU GRATIS] Ada sebuah legenda. Legenda tentang negeri yang penuh dengan kekayaan. Manusia mencarinya. Namun kami tidak menginginkannya. Karena kekayaan itu ada di sekitar kami. Tetapi ada sesuatu yang...