Alhamdulillaah.. Setelah sekian lama aku tinggal di negeri ini. Ini kali pertama aku keluar rumah. Sekarang, aku bisa merasakan keindahan alam kembali. Meski aku tidak tahu, bagaimana keadaan teman-temanku di Palestina sana. Ku harap mereka selalu baik-baik saja dan selalu dalam lindungan Allaah Ta'ala, batin Aisyah mencoba untuk tersenyum.
Ini kali pertama Aisyah keluar rumah semenjak ia pindah ke San Francisco bersama Pamannya.
Aisyah kini berada di bibir danau yang terletak di dekat taman, di temani dengan buku diary dan sepeda kesayangannya. Dia begitu asik melihat burung-burung yang berterbangan kesana kemari, membuat Aisyah tersenyum simpul.
"Wahai burung-burung yang indah, terbanglah engkau setinggi yang kalian bisa. Jangan pernah berpikir untuk menyerah sekali pun kau terjatuh, teruslah terbang setinggi-tingginya. Hingga nanti, kau akan menemukan tempat dimana seharusnya engkau bermukim," gumam Aisyah seraya menuliskannya dalam buku diary.
Aisyah memiliki hobby menulis kata-kata yang tiba-tiba sering muncul dalam pikirannya. Sudah ada beberapa kata-kata yang ia rangkai dalam buku diarynya. Menurut pamannya, hobby tersebut turun dari ibunya.
"Hai?" sapa seorang wanita dengan rambut yang tergerai indah. "May I sit here?" sambungnya.
"Oh, yes. Of course." jawab Aisyah ramah.
"What's your name?"
"My name is Aisyah, and you?"
"I'm Naira".
Naira Christina Alexander
Seorang wanita yang pertama kali dikenal oleh Aisyah di negeri ini. Dia adalah sorang wanita dengan gaya stylish khas orang barat. Dia nonis dan merupakan anak blasteran antara San Francisco dan Indonesia. Namun, ia tetap menghargai Aisyah yang beragama Islam dan berpakaian serba tertutup.
Akhirnya mereka berdua saling berbincang satu sama lain mulai dari nama, tempat tinggal, dan yang lainnya. Ternyata, Naira ini mempunyai darah asli Indonesia. Hinnga pada akhirnya, mereka berbicara memakai bahasa Indonesia.
Aisyah merasa aneh, kenapa Naira bisa seakrab ini, bahkan dia mau berteman dengannya. Sedangkan dia tau bahwa mereka sangat berbeda.
Aisyah yang sangat tertutup, dan hanya matanya saja yang terlihat. Sedangkan Naira, ia adalah wanita yang stylish khas orang barat. Padahal selama di perjalanan menuju danau tadi, banyak orang-orang yang melihatnya aneh, sinis, bahkan ada juga yang mencibirnya.
"Oh iya, Syah. Kain yang menutupi wajahmu itu, apa?" tanya Naira dengan jari telunjuk yang terarah pada cadarnya. "Soalnya ku baru pertama kali melihat kain itu selama tinggal di sini, karena selama disini aku belum pernah melihat seorang wanita yang wajah nya di tutupi kain seperti itu."
"Oh ini?" tanya Aisyah memegang ujung cadarnya. "Ini tuh namanya Niqab kak, kenapa kak? Aneh yah?" sambung Aisyah.
"Hah.. Mmm.. I-iya, Syah," jawab Naira gugup. Ia takut, jika pertanyaannya akan menyinggung perasaan Aisyah.
"Tidak usah gugup, kak. Santai aja," ujar Aisyah dengan kekehan kecilnya.
Melihat respon Aisyah yang terlihat biasa saja, membuat hati Naira sedikit lega. "Takut nyinggung perasaan kamu aja. Boleh tahu kenapa Isyah pake kain penutup seperti itu? Emang wajah Isyah kenapa?"
"Wajah Isyah tidak kenapa-napa, kak. Cuma dari yang aku pelajari dalam agamaku, wanita dianjurkan untuk menutupi wajahnya dari laki-laki yang bukan mahram. Semua itu bukan untuk mengekang seorang wanita dari kebebasan dunia, justru sebagai bentuk kemuliaan. Dengan kita tertutup seperti ini, kita tidak akan mudah di goda oleh laki-laki yang tidak dikenal," jelas Aisyah.
"Oh begitu, Syah. Tapi, emangnya kamu gak gerah apa? Kak Nai aja yang terbuka seperti ini masih suka gerah karena cuaca yang terkadang panas." tanya Naira menunjuk dirinya sendiri.
"Awalnya pasti gerah, Kak. Waktu Isyah pertama kali pakai niqab juga, Isyah sering mengusap-usap wajah Isyah karena basah oleh keringat, rasanya tuh pengen cepet-cepet di lepas. Tapi, lama-kelamaan karena sudah terbiasa. Jadinya, yaa biasa aja Kak walaupun cuacanya sangat panas."
"Oh gitu ya, Syah" jawab Naira dengan anggukan kepala.
Akhirnya keadaan menjadi hening kembali, di antara keduanya tidak ada satu pun yang mau membuka suaranya. Mereka terlalu sibuk dengan pemandangan disekitar, terutama Aisyah.
Aisyah sangat senang sekali karena masih ada orang yang mau berteman dengannya. Ia pikir, dirinya tidak akan bisa mendapatkan teman di negeri ini, karena negeri ini bermayoritas orang-orang nonis.
Drrt.. Drrt...
Suara telepon Aisyah membuyarkan lamunan keduanya, ia langsung bangkit dan mulai melangkah menjauhi Naira. "Sebentar ya, Kak. Isyah mau angkat telepon dulu."
---
"Wa'alaikumussalam warahmatullaahi wabarakaatuh. Iya Paman, ada apa?" jawab Aisyah kepada seseorang di seberang sana.
"..."
"Isyah hanya main di danau dekat taman saja, Paman."
"..."
"Iya, Paman. Sebentar lagi Isyah pulang."
"..."
"Wa'alaikumussalam warahmatullaahi wabarakaatuh."
Setelah selesai menelepon dengan Pamannya, Aisyah kembali lagi ketempat di mana ia duduk dengan Naira.
"Kenapa, Syah?" tanya Naira setelah melihat Aisyah sudah duduk di sampingnya.
"Oh itu, tadi Isyah di suruh pulang. Soalnya, Aisyah baru pertama kali keluar rumah. Jadi orang rumah merasa khawatir."
"Oh, emang kamu belum pernah keluar rumah sebelumnya? Emang gak bosen dirumah terus?"
"Belum pernah, Kak. Biasa, Isyah orangnya introvert," jawab Aisyah cengengesan. "Ya sudah ya, Kak. Isyah pamit pulang dulu." Setelah mendapat jawaban dari Naira ia langsung menaiki sepedanya dan berlalu pergi.
Sebelum Aisyah pulang, mereka sempat saling menukar nomor handphone terlebih dahulu untuk bisa saling kenal via komunikasi lewat handphone.
Dalam hati Aisyah ia gelisah sendiri, karena tadi suara Pamannya terdengar seperti orang yang menahan amarah. Ia tahu dirinya salah karena keluar rumah begitu saja tanpa pamit di saat Pamannya sedang bekerja.
***
Assalamu'alaikun warahmatullaahi wabarakaatuh.. 🌹🌹
Marhaba semuanya.. 👋👋👋
Selamat membaca yaa, semoga kalian suka.. 😊😊
Koreksi juga ya, jika ada kata-kata yang salah..
See you next time semua... 😊😊❤️❤️
KAMU SEDANG MEMBACA
Aisyah ✔ (End)
SpiritualSEQUEL HAMMIERA (Revisi✔) Aisyah. Seorang gadis yang trauma akan masa lalunya di Palestina. Kini, ia tinggal bersama pamannya di negeri bermayoritas kristen San Francisco. Selama tinggal di sana, ia banyak sekali dibenci orang-orang hanya karena dir...